Sunday, September 30, 2012

1 Oktober 2012, Dua Lembar Pattimura Siap Dijadikan Tumbal

oleh Hasan Al-Jaizy

Dan saya harus bilang WOW atas keputusan PT KAI Commuter Line Jakarta yang menetapkan kenaikan harga karcis Kereta Commuter Line sebesar Rp. 2000 mulai 1 Oktober 2012. Kuantitas ditekankan untuk para penumpang, sementara kualitas tidak dinaikkan. 

Saya lebih harus bilang WOW lagi ketika seakan memang ada pengalihan pandangan. Apa itu? Isu Gender. Jadi, ada penetapan jadwal kereta khusus untuk Wanita. Kemarin hari sudah saya lihat pengumuman jadwalnya di Stasiun Pasar Minggu Baru. Ridiculous menurut saya.

Seakan-akan wanita adalah satu-satunya kaum yang 'disiksa' oleh PT KAI ketika terhimpit di sela-sela 'tumpukan hewan' dalam gerbong. Padahal di antara tumpukan tersebut, ada saya juga. Dan bukan sebuah kebetulan saya adalah pria. Pria pun ingin KENYAMANAN dan sesuatu yang SESUAI dengan harga. Jika harga karcis 6.000, maka jangan sampai para penumpang merasa dimasak di atas kompor, mendidih bermenit-menit disebabkan AC yang kualitasnya tak memadai. Percampurbauran keringat manusia, apakah tidak dilihat oleh mereka? Belum lagi nafas-nafas saling berpagutan. Dan unyu-unyu-nya, esok akan menjadi 8.000? Bijak sekali sungguh terlalu.

Suara saya takkan didengar. Karena tentu bapak-bapak tersebut sudah bulat keputusannya. Alasan bapak-bapak: "kenaikan tarif ini demi meningkatkan sarana dan prasarana transportasi kereta api yang ada saat ini."

Bukankah tahun 2011 kemarin sudah ada semacam kenaikan? Adakah peningkatan kualitas? I dunno. Kelihatannya justru seperti mencari sebab serta mencari alasan supaya tercapai kekayaannya.

Tapi, untuk sementara ini, saya percaya kok dengan kenaikan tarif dan ketentuan beberapa set kereta khusus untuk kaum hawa tidak akan menunjukkan dan tidak akan mencerminkan sebuah upaya untuk memanusiakan penumpang di jam pergi kerja dan jam pulang kerja. Memang, kadang penumpang bertingkah tidak manusiawi; tapi biasanya itu disebabkan ketidakberperikemanusiaannya bapak-bapak. You've got it!


http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/446270722080985

Logikanya Gus Su'aid


oleh Hasan Al-Jaizy

Rupanya, kebiasaan ngeritik orang yang dimiliki oleh Purnomo adalah turunan karakter bapaknya, yaitu Gus Su'aid. Gus Su'aid adalah orang terkenal; karena berprestasi dan jenius. Banyak hafalan, dapat gelar akademik di negeri padang pasir, pintar bicara dan 'nyelekit'. Kalau Purnomo suka sekali mengkritik orang2 atasan, seperti mudir, direktur, ketua organisasi dan lainnya, Gus Su'aid lebih suka mengkritik aliran-aliran yang menurut dia keras dan tidak sesuai pemikiran kelompoknya.

Mungkin ada yang bertanya, Sketsa II kemarin kok ga ono terusane? Malah buka lapak baru. Nah, yang bertanya begitu dalam fikirannya, berarti kena jebakan batman. Anyway....

Gus Su'aid ini dongkol sekali dengan ajaran dari pondok sebelah. Bukan karena ia dulu punya kenangan pahit bersama pengurus pondok tersebut, melainkan sekadar sebal karena pondok sebelah dia pandang begitu keras dan kaku. Dulu, terorisme yo ga ono. Sekarang, sikit-sikit tersiar kabar bom, tawuran, pelecehan pemeluk aliran lain dan sebagainya. Nah, Gus Su'aid ini kepingin semua orang tidak ekstrim dan harus sesuai pemikirannya. Bagi Gus Su'aid, semua aliran dalam Islam yo podo mlebu surgo; cuma caranya ya different-different [beda-beda...wkwk].

Akhir-akhir ini Gus Su'aid diwawacandai oleh beberapa wartawan utusan dari koran Terjajah. Kesempatan emas. Terlebih topik wawacanda mengenai ekstrimisme dan radikalisme yang terjadi. Berikut cuplikan singkatnya:

--> Terjajah: "Gus, sampeyan pernah bilang, pondok sebelah itu radikal dan ekstrim. Dasarnya apa?"

--> Gus Su'aid: "Dasarnya ya ga berdasar. Cuma sebal aja. Mosok pondok saya ngadain marawisan, langsung dibilang bid'ah. Pondok saya ngadain ziaroh ke makam Wali Band, langsung dibilang syirik atau pro-maksiat. Ntar jangan-jangan kalau saya ikut tawuran SMA, dibilang khowarij pula."

--> Terjajah: "Kalau dari sisi ilmiah atau dari tinjauan histroris?"

--> Gus Su'aid: "Ini cuma sisi perasaan saja kok. Kita kan sesama manusia kudu jaga perasaan antar kota antar provinsi. Kalau memang mereka beda kota beda provinsi secara adat atau ideologi, mbok yo jangan seudele ngecap kami bid'ah dan syirik gitu. Kalau tinjauan historis, se'...tunggu 2 hari lagi. Saya belum tahu jawabannya gimana. Ntar tak tanya anak sulungku, Purnomo. Dia lebih mahir soal merekayasa histroi. Sekarang dia lagi rapat di Forum Tahdzir Islamy [FTI]."

--> Terjajah: "Adakah kaitan radikanya mereka dengan luar negeri?"

--> Gus Su'aid: "Ada. Ya, karena dana pembangunan dan segalanya mereka dari negara padang pasir yang memiliki aliran air keras. Jadi, pendanaan juga memberi influence pada ideologi. Belum lagi, lulusan negeri minyak banyak yang ngajar dan mengajari faham radikal."

--> Terjajah: "Bukannya sampeyan juga ambil gelar doktor di negeri minyak?"

--> Gus Su'aid: "Itu dhulluuu..."

--> Terjajah: "Apakah Anda juga melabeli Raja Minyak sebagai pendana ekstrimis?"

--> Gus Su'aid: "Oh, tentu tidak. Harus dibedakan. Saya cuma melawan radikalisme, bukan individu tertentu terlebih Raja Minyak. Saya menghormatinya kok. Kamu tahu sendiri toh, saya dulu lulus di sana? Jangan sampai nanti ada pemberitaan bahwa saya mencaci Raja Minyak lho!"

--> Terjajah: "Tenang, Gus. Kira-kira, ada berapa pesantren beraliran ekstrimis radikal di negeri ini?"

--> Gus Su'aid: "Yang baru terdata, ada 12. Di antaranya: Al-Amak, Al-Jabar, Al-Kalin, Al-pukat, Al-Umni, Al-Asan dan lainnya. Biasanya ustadznya memakai nama Abu-abu gitu."

--> Terjajah: "Apakah di pondok yang Anda asuh sekarang ini, ada ustadz atau santri yang berpaham condong pada radikalisme?"

--> Gus Su'aid: "Ada, tapi jangan kasih tahu siapa-siapa ya. Ini rahasia! Jangan direkam. Saya bisiki saja."

"Namanya Suyuthi. Dia pintar membantah kami-kami para senior dan sesepuh. Makanya, kami berusaha buat dia tidak betah dengan cara memotong gajinya dengan alasan rasional."

Falsafah

oleh Hasan Al-Jaizy

Tidak semua orang diberi kemampuan mendeteksi keberadaan falsafah dari segala sesuatu dan segala peristiwa. Terlebih, tidak semua orang diberi kemampuan mencerna falsafah meskipun telah ketahui keberadaannya.

Dan jikalau ada orang-orang yang diberi kemampuan memahami falsafah di balik segala, tidak semua mampu mengambilnya sebagai pelajaran atau menerapkannya.

No doubt: Semakin terhimpit dan teruji manusia, semakin dekat ia akan falsafah; sehingga kans untuk menjadi bijak lebih besar. Sebaliknya, semakin melapang dan bermegah manusia diberi, semakin jauh ia dari falsafah; sehingga tak heran keluasan dan kemegahan sebabkan kufur.

Falsafah = Hikmah 
Hikmah = Kebijakan/Kebijaksanaan

Falsafah

oleh Hasan Al-Jaizy

Tidak semua orang diberi kemampuan mendeteksi keberadaan falsafah dari segala sesuatu dan segala peristiwa. Terlebih, tidak semua orang diberi kemampuan mencerna falsafah meskipun telah ketahui keberadaannya.

Dan jikalau ada orang-orang yang diberi kemampuan memahami falsafah di balik segala, tidak semua mampu mengambilnya sebagai pelajaran atau menerapkannya.

No doubt: Semakin terhimpit dan teruji manusia, semakin dekat ia akan falsafah; sehingga kans untuk menjadi bijak lebih besar. Sebaliknya, semakin melapang dan bermegah manusia diberi, semakin jauh ia dari falsafah; sehingga tak heran keluasan dan kemegahan sebabkan kufur.

Falsafah = Hikmah 
Hikmah = Kebijakan/Kebijaksanaan

Enakan Nyalahin Orang Besar

oleh Hasan Al-Jaizy

Lebih enak adalah orang kecil menyalahkan orang besar dan orang besar menindas orang kecil. Main salah-menyalahi, kita adalah jagoannya. Padahal belum tentu penyalah-nyalahan kita itu tidak salah.

Seperti halnya ada dari kita menyalahkan pak Mendikbud hanya karena diksi atau kalimat tanya yang dia anggap tidak sesuai untuk pelaku kejahatan, yaitu seorang siswa SMA. Pak Nuh, begitu namanya, bertanya, ' bagaimana, Mas, puas sudah membunuh orang?' yang kemudian dijawab oleh si anak muda,' puas!' Jawaban itu sempat membuat kekagetN tercermin di wajah Pak Nuh.

Konyolnya, ada yang mempermasalahkan kekagetn wajah tersebut. Juga kosakata puas dipermasalahkan penggunaannya. Lebih konyol lagi, sebutan Mas juga dipermasalahkan.

Yang harus dipermasalahkan seutamanya bukan pak Menteri. Tetapi penerap pendidikan dan penghancur didikan. Yaitu pihak orang tua terutama ibu. Juga lingkungan dan tayangan tv. Atau langsung saja tudingan tertuju ke :

Saturday, September 29, 2012

Sketsa II

oleh Hasan Al-Jaizy

...dan usahlah berlebihan dalam sukai seseorang; karena terkadang suka-menyuka butakan hati bermata. Sehingga aib tak terjumpa, yang ada hanya suka. Seperti Suyuthi yang ketika masih sekolah di pondok penuh prestasi dan gemilang nan cemerlang, betapa berhamburnya para santriwati mengantri. Duhai....rupanya mereka sedang mengantri ambil jatah buka puasa.

Zaman Suyuthi masih mengenyam kitab kuning bersama Pak Kyai, HP belum dikenal. Istilah 'telepon genggam' juga majhul murakkab. Santri-santri hanya mengenal goda-menggoda di perempatan depan pondok ketika santriwati lewat menuju asramanya dari pasar. Atau titip-titip surat, entah surat kabar atau surat kaleng. Ku tak tahu persis? Kamu tahu gak? Ga tahu pasti, kan? Wong yang bikin ceritanya saya kok!

Kala itu ada seorang santriwati cantik rupawati nan jelita, sebut saja namanya Qomariah [panggilannya Mariah, itu kalau pagi. Semoga malamnya bukan Qomar]. Ia anak orang berada, selama kedua orang tuanya masih ada. Dikenal sebagai gadis tercantik sepondok. High Quality. Rupanya ia pula kepincut dengan kemasyhuran Suyuthi yang namanya terombang-ambing di angkasa kabupaten dari mulut ke mulut. Dan rupanya Suyuthi pun rupawan, selera pedas.

Tak tahulah bagaimana bisa, namun orang tua Mariah fahami segala gejala keterikatan batin anaknya. Suyuthi pun tak bisa mengelak karena desas-desus selalu menuding dirinya yang punya hubungan gelap; padahal sungguh ia adalah santri alim yang tak berani macam-macam. Namun apa daya, bermulut-mulut membahana. 

Friday, September 28, 2012

Beberapa Point


oleh Hasan Al-Jaizy

Beberapa point yang prakteknya sulit sekali:

[1] Sebagaimana kita mampu menjatuhkan semangat diri sendiri atau orang lain, kita juga harus mampu membangkitkan semangat diri sendiri atau orang lain. Gambaran: Mas Purnomo yang mampu menahan temannya dari semangat berlebihan dalam suatu perkara, ia seharusnya juga mampu memberi motivasi pada teman lain yang tidak punya semangat atau patah semangat. 

[2] Sebagaimana kita mampu meruntuhkan sesuatu, kita juga harus mampu membangun sesuatu yang semacamnya atau lebih baik darinya. Gambaran: Mas Purnomo yang mahir meruntuhkan opini temannya yang salah atau sesat, seharusnya ia juga punya kaedah-kaedah atau prinsip terbangun sehingga melahirkan opini yang benar atau sempurna.

[3] Sebagaimana kita mampu men-tahdzir orang karena sebuah kesalahan, kita juga harus mampu memberi contoh yang tidak salah. Gambaran: Mas Purnomo yang bisa sekali men-tahdzir dan menentang kesalahan temannya, seharusnya ia juga bisa membentangkan sesuatu yang bisa mengganti kesalahan tersebut.

[4] Sebagaimana kita mampu mengingkari, kita juga harus mampu memberi solusi.
Iya kan, Mas Purnomo?

Dan praktek keempat point di atas tidak mudah. Karena kita ini sangat mampu menjatuhkan, meruntuhkan, men-tahdzir dan mengingkari, namun mengganti sesuatu yang jatuh, runtuh, ter-tahdzir dan teringkari dengan sesuatu yang sempurna, belum tentu kita termampu akannya.

Nah, nasihat pun berlaku untuk pemilik status terutama dan pembacanya.

Thursday, September 27, 2012

Intinya Kan Sama Saja!

oleh Hasan Al-Jaizy

Walaupun tidak sama di semua sisi:

-> Candu FB, Candu BBM, Candu Nge-blog, Candu Tweeting, Candu SMS atau semacamnya untuk zaman ini. Intinya sama: CANDU

Kenapa candu FB, tweeting dan SMS seperti dikelas-rendahkan? Karena memang terdengar seperti komunikasi kelas rendah, standar, ga mutakhir.

Kalau BBM, kenapa seperti kasta di atas ketiganya? Karena alat yang digunakan terkesan lebih 'bergengsi' dan mutakhir. Padahal, banyak kondisi, pecandu-nya sama saja. Bicara omong kosong, ketawa-ketiwi sana-sini, cuma untung dapet maklumat dan info mutakhir nan cepat.

Kalau Blogging, kesannya karena 'Wah, dia punya blog; berarti suka nulis.' yang mencerminkan orang berpendidikan dan berkelas. Kalau blog-nya cuma curhat, gosip, bertopik duniawi semata, tetap lebih keren kali ya dari SMS-an?

Intinya Kan Sama Saja!

oleh Hasan Al-Jaizy

Walaupun tidak sama di semua sisi:

-> Candu FB, Candu BBM, Candu Nge-blog, Candu Tweeting, Candu SMS atau semacamnya untuk zaman ini. Intinya sama: CANDU

Kenapa candu FB, tweeting dan SMS seperti dikelas-rendahkan? Karena memang terdengar seperti komunikasi kelas rendah, standar, ga mutakhir.

Kalau BBM, kenapa seperti kasta di atas ketiganya? Karena alat yang digunakan terkesan lebih 'bergengsi' dan mutakhir. Padahal, banyak kondisi, pecandu-nya sama saja. Bicara omong kosong, ketawa-ketiwi sana-sini, cuma untung dapet maklumat dan info mutakhir nan cepat.

Kalau Blogging, kesannya karena 'Wah, dia punya blog; berarti suka nulis.' yang mencerminkan orang berpendidikan dan berkelas. Kalau blog-nya cuma curhat, gosip, bertopik duniawi semata, tetap lebih keren kali ya dari SMS-an?

Kritik Norak


oleh Hasan Al-Jaizy

Al Imam Al Hasan Al Bashry pernah berkata, yang maknanya:

""Jangan kalian duduk-duduk dengan ahlul ahwa' (dengan segala jenis hawa) dan jangan mendebati mereka., dan jangan pula kamu mendengar sedikit pun dari mereka." (inet)

Di antara sifat ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu) adalah yang mudahnya mencederai nama dan martabat para ulama disebabkan perbedaan kesimpulan hukum dalam pekara ijtihadiyyah atau furuiyyah. Tidak peduli ia mengatasnamakan diri atau kelompoknya apa; karena soal klaim, semua orang mampu melakukan.

Sedangkan menikam nama orang bisa bernilai nasihat selama berhujjah beretika, namun bisa juga sebagai gambaran ghuluw (berlebihan) dan pengaruh nafsu sensasional dalam jiwa yang ber-cover nasihat atau tahdziir.

Duduk dan bermajelis mereka justru bisa menumbuhkan semangat fanatisme manhajy; karena prinsipnya adalah : "Guru dan teman ngaji gue pasti bener."

Dan berdebat dengan mereka sama saja dengan mengibas asap ke mata sendiri. Karena akan memerihkan, menyulut panas hati dan takkan tertemu titik perdamaian maupun sikap lapang dada. Meskipun ucapan 'barakallahu fiik' atau semacamnya terlantunkan.

Betapa banyak yang menggunakan 'barakallahu fiik' tanpa bermaksud mendoakan, melainkan sekadar pelumas untuk melicinkan anggapan orang bahwa dadanya berlapang atau sekadar 'formalitas'.

Wednesday, September 26, 2012

Jangan Ngamuk Dulu!

oleh Hasan Al-Jaizy

Sebenarnya JANGAN NGAMUK dulu jika ada yang mempertanyakan pada Anda:

--> Ketika kasus penggerebekan Abu Fahd, kok pada semangat sekali membela, hingga ada grup 1.000.000 membela-bela?
--> Ketika kasus penghinaan Rasulullah, mungkin lagi kelelahan membela saudara kita, sehingga tidak sempat membentuk grup 1.000.000 membela Rasulullah [!?]
--> Ketika kasus 'salah-pasang' foto Ust. Muhammad Arifin Badri [yang sedianya adalah jebolan pondok ane juga], kok pada semangat membela? Walau sudah ada konfirmasi permohonan maaf dan klarifikasi online, kok masih mau 'menekan'? Syukur-syukru tidak membuat grup 1.000.000 lagi.

Jangan ngamuk dulu...jangan marah dulu...karena justru ngamuk dan marahnya itu => dipertanyakan

Atau, mungkin karena Rasulullah sudah ma'shum dan tentu saja penghinaan terhadapnya takkan berdampak buruk padanya. Sesuai dengan fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan yang disebar-sebar. Itulah usaha 'maksimal' [selain doa, mungkin] untuk melawan atau me-respond penghinaan terhadap Rasulullah.

Dan tentu saja, kalau ustadz 'gue' atau temen 'gue' yang dihina, karena kita ce-es-an, ya kita bela dan siap kerahkan dana serta pasukan. Kalau perlu, kutukan, hinaan, kata plesetan dan segala keburukan kita lempar untuk 'Justin Habibers' dan 'TV One'.

Gali lubang tutup lubang
Menutup pintu fanatisme di selatan, lalu masuk ke pintu fanatisme di utara...

dan...berdalil...tentu saja

Jangan Ngamuk

Captain Pattimura di Tanggal Senja

oleh Hasan Al-Jaizy

Yaitu ketika 1000 rupiah masih ada harganya. Bagi mayoritas pekerja yang sedang mengundi peruntungan dan nasib, Captain Pattimura mewakili perasaan mereka. Kalau dahulu, jika uang kertas 500-an masih banyak ditemukan, Orang Utan menjadi wakil dari kondisi ekonomi. Sejak 1992 [uang kertas 500 bergambar Orang Utan tercetak] hingga diakhiri masa aktifnya di beberapa tahun lalu, Orang Utan yang santai nangkring itu menjadi teman curhat.

Di tanggal senja, Orang Utan terasa dekat sekali. Di tanggal fajar, ketika mayoritas pekerja sudah terima gaji, sebagian melupakan orang utan, namun sebagian lagi menziarahi Orang Utan di Kebun Binatang, sebagai ajang 'memperingati jasa orang utan di tanggal senja'.

Kini, setelah harga-harga naik, padahal kualitas pun tak naik, 500-an hanya untuk membeli 1 bulatan somay. Dan jika kita membeli hanya 1 biji, tukang somay akan mencibir. Mukanya tak secerah orang utan 500-an. Kini, Captain Pattimura masih berlaku dan exist. Mulai tanggal 1 Oktober nanti, tarif kereta AC Commuter Line dinaikkan senilai dua lembar muka Pattimura. Padahal, kualitas tidak didongkrak ke atas. Karena tak hanya sekali dua kali, justru naik kereta AC lebih panas dibanding naik kereta Ekonomi. Tanya kenapa? Kenapa harus bertanya?

Dan...Captain Pattimura di tanggal senja. Sebagian kita mungkin masih punya uang biru atau merah. Namun, sebagian mahasiswa sudah mulai terjulur lidahnya. Ada yang karena menunggu kiriman dari ortu di desa; ada pula yang menunggu dead time untuk menerima gaji, bagi yang bekerja dengan gaji per bulan. Ada yang tidak memikirkan masalah itu; entah karena pulang-pergi sudah dijamin bonyok [bokap-nyokap], atau memang dalam sebulan mereka dihujani uang saku berjuta-juta adanya.

Captain Pattimura, sahabat pedagang kecil, sahabat orang kere dan bidikan remeh orang gedongan.

Tuesday, September 25, 2012

"Jangan Terlalu Menggeneralisir!"


oleh Hasan Al-Jaizy

"Jangan TERLALU Menggeneralisir"

Cuma ingin menulis cuapan singkat saja, bahwa kalimat di atas sendiri sebenarnya terkesan 'lucu' bagi saya [pribadi]. 

Biasanya pemilik kalimat tersebut adalah orang yang:

1. Berusaha meminimalisir sesuatu yang dia anggap terkesan 'generalisir' secara negatif. Atau:
2. Merasa golongannya atau jenisnya 'tertuduh', sehingga ia angkat suara dan protes dengan cara menulis kalimat tersebut.

Terlalu Menggeneralisir berarti: Over-Generalize atau berarti: BERLEBIHAN dalam menyamaratakan dan mengumumkan.

Nah, pemilik kalimat "Jangan TERLALU Menggeneralisir" sendiri sebenarnya tidak sadar bahwa dirinya juga BERLEBIHAN dalam menanggapi porsi makna generalisasi. Dan biasanya memang seperti itu. Penyebab asasinya seringkali adalah 'merasa' tersinggung atau tersindir.

Kalau dia melarang orang untuk TERLALU menggenerailisir, maka otomatis dia membolehkan orang untuk menggeneralisir. Hehe.

Teori Generalisasi/Generalisir itu penting dan digunakan untuk mengungkap sifat atau hakikat dari suatu hal. Dalam ilmu Logic, atau ilmu Argumentasi, generalisir itu merupakan salah satu alat [tool] untuk pengungkapan. Begitu pula dalam Ushul Fiqh, yang dikenal dengan nama Ta'miim [mengumumkan/menggeneralisir].

Jadi, ketika saya katakan:

[1] "Orang Indonesia itu ramah"; adalah sebuah kalimat yang generalizing; karena memang itu gambaran mayoritas. Meskipun ada di antara orang Indonesia yang mudah marah, kita tidak perlu mengatakan: "Kamu jangan terlalu menggeneralisir ah!"

[2] "Orang Indonesia itu suka telat"; adalah sebuah kalimat yang generalizing; karena memang itu gambaran mayoritas. Kita juga mengakui, bukan? Tapi, generalisir tersebut TIDAK BERARTI menggambarkan setiap kepala dan persona seperti itu. 

"Ini yang harus difahami dari para tukang comment!"

Nah, kalimat di atas juga bernafas generalizing, yaitu dua kata: 'Tukang Comment', karena mencakup semua orang yang suka mengomentari. Apa kemudian harus ada kalimat rendahan seperti ini:

"Jangan terlalu menggeneralisir, ah!"

?

Low and funny to me

Pembahasan Itu Banyak Sekali!

oleh Hasan Al-Jaizy

Sesuatu yang bisa dibahas itu berbuih banyaknya di samudera. Ketika Anda ingin menulis sesuatu yang masih majhul (belum diketahui tepatnya mau menulis apa), Anda akan berusaha menggali memori untuk membangkitkan kembali ide-ide keramat atau wacana-wacana yang pernah mampir di fikiran. Jika seseorang sudah merasa lumpuh dalam menentukan wacana global yang akan dibahas, maka lebih beku lagi dengan perincian wacana.

Itu karena Anda tidak sadar bahwa wacana brjubel-jubel banyaknya sementara pandangan Anda hanya mentok satu senti ke depan atau ke samping. Apa yang Anda lihat sekarang bisa menjadi sebuah topik perbincangan, bukan?

Seperti: Anda menyaksikan seekor, eh....seorang bayi di sebuah taman mawar bersama ibunya. Bayi tersebut sedang belajar berdiri, namun selalu gagal terjatuh. Namun ia tetap berusha kembali berdiri dibantu dan disemangati oleh ibunya.

Nah, dari scene sederhana dan potongan realita tersebut, ANDA BISA...YA...ANDA BISA...membuat 10 pilihan wacana atau lebih. 

Membacalah!


oleh Hasan Al-Jaizy

"Membaca dalam pemahaman luas tentu saja tidak sekedar membaca tulisan (teks) yang sudah ada. Membaca bisa dimaknai dalam bentuk memahami apa yang terlihat dan apa
yang terdengar di sekitar kita. Seorang
sastrawan terkenal, A. A. Navis bahkan
menyebut seluruh alam ini pada hakikatnya adalah bacaan terbaik. Dari apa yang terlihat, terpahami dari alam itulah timbul pandangan dan tindakan lainnya." (M Rasyid Nur, penulis)

Nah, jangan mengira membaca itu berkaitan dengan teks semata. Bisa saja alam dan situasi memintamu untuk menterjemahkan bahasa mereka. Semilir angin adalah bahasa yang bisa kau baca; andai kau punya kepekaan dan peduli.

Dan bahkan acapkali bahasa non tekstual lebih mendalam dan sarat akan siratan makna tak bersurat. Mereka tidak memperkenalkan padamu abjad-abjad ataupun hijaiyyah. Namun mereka tampakkan padamu gejala; yang hanya mereka yang berhati, berfikir dan cermati mampu menafsirkan.

Banjir adalah bahasa isyarat; sebuah peringatan alam agar kau berlaku padamu baik baik dan segerakan diri berhenti dari lezatnya kesombongan.

Ingat pula bahwa bahasa tubuh (body language) bisa mewakili taburan kalimat atau lafadz yang justru lebih dalam dan mengena dari keduanya. Bahasa tubuh istri Anda misalnya, ketika kemahuannya dibelikan sesuatu yang khusus dari Anda secara khusus untuknya selalu tertunda dan tak dipenuhi berzaman. Apapun gerakannya, sebagai seorang suami yang sehari-hari beratap tinggal bersamanya, tentu bisa terfahami. Dan yang lebih membuihkan buih tanya lebih banyak: sang istri seringkali mempresentasikan rasa dengan kebisuan yang sifatnya multitafsir. Bisa saja suami menafsirkannya sebagai ngambek tingkat kecamatan, atau sebagai puasa bisu, atau dikira menahan sakit perut.

Maka jangan salahkan ibu mengandung dan kafilah pun berlalu.

Beberapa Point

oleh Hasan Al-Jaizy

Beberapa point untuk pagi ini:

[1] Kebersamaan dan kehangatannya itu begitu indah; sehingga ketika keduanya hilang untuk sementara atau untuk selamanya, bekasnya masih terkenang.

[2] Lalu kau berharap segala cerita indah kembali tertulis ulang di halaman-halaman kehidupan setelah kini, entah esok atau lusa atau sedepannya. Namun, sungguh wajib kita ingat bahwa tidak segala yang terharap adalah terjadi.

[3] Seram. Bisa saja di antara teman-teman yang sungguh pun ramah dan damai bersamamu, namun ada yang menyimpan bara dengki dan benci di hatinya padamu. Sementara yang kau kenal darinya adalah persahabatan. Dan senantiasakan doamu terujar pada Yang Maha Mengetahui sirr dan alaaniah, yang tersembunyi dan yang tampak.

[4] Mimpi itu ada ketika kau tertidur; dan kala terjagamu, maka itulah saatnya kau tegakkan jasad dan bergerak tuk hadirkan mimpi sebagai kenyataan. Jadi, ketika kita bermimpi, itu berarti kita berada dalam keterkulaian lemah bahkan tidak sadar. Dan jangan selamanya bermimpi. Melainkan terbangunlah, berdirilah tegak dan berjalan setelah merajut mimpi. Maka bisa kau temukan mimpi itu esok atau lusa atau mungkin sedepannya menyapa.


Monday, September 24, 2012

Berdagang Herbal, Memangnya Rendahan?

oleh Hasan Al-Jaizy

Saya punya kenalan, seorang mahasiswa lulusan sebuah kampus ternama di negeri ini, berbicara mengenai kemajuan ekonomi masyarakat. Ada satu pemikiran darinya yang membuat saya harus membantahnya. Kira-kira begini kesimpulannya: "Kita harus membangun sektor perekonomian yang kuat agar bisa menyaingi kedigdayaan orang non-muslim. Yaitu dengan bisnis [trading/berniaga/berdagang atau semacamnya]. Tapi BUKAN dengan cara menjual HERBAL seperti mereka-mereka itu."

Kalimat terakhir tentu saya fahami mengarah ke mana atau ke siapa. Untuk saat ini, penjual herbal biasanya digambarkan di benak sebagai seorang berjenggot dan bercelana unik serta terkesan kurang 'maju'. Saya fikir, pemahaman anak ini agak sempit. Dan saya tengok rupanya anak ini memiliki latar belakang keluarga yang berpenghasilan tinggi. Ah, wajar pula ia berfikir begitu. Tapi, harus ada bantahannya [dan sudah kita bantah/nasihati baik2].

Sebelumnya, di kampus saya sendiri, ada beberapa mahasiswa yang mencari peruntungan rizki dengan cara

Sketsa I


Suyuthi pulang ke kampung. Sorenya ia tiba di ambang pintu rumah. Terucap salam darinya; ibunya sedang terduduk di kursi...sendirian. Karena memang tidak punya apa-apa ia selain Sayuthi dan adiknya yang sedang mondok. Sayuthi pun adalah seorang ustadz di sebuah pondok.

Bermenit berlalu bercengkrama, Suyuthi mulai mengucurkan isi hatinya. 'Bu, aku mau berhenti ngajar di pondok.' Sang ibu kaget bukan kepalang, 'Kenapa mau berhenti, nak?'

'Gajiku terlampau sedikit, Bu. Padahal bertahun sudah ku mengabdi pada santri. Aku merasa miskin dan malu. Teman-teman lamaku sudah menikah dan berbangga; sementara aku di sini hanya berlumuran jengah dan papa.'

Ibu terdiam...

'Bukankah guru di manapun harus bergaji kecil? Tidakkah fikirmu akan pahala dan jasa mendidik anak manusia?' Ibu bertanya tiba-tiba.

'Aku tahu itu, bu...sudah berdalil-dalil ku hafal untuk itu. Aku hanya ingin kaya sejenak dengan usahaku mengajar. Aku malu dengan keterbatasanku sendiri, Bu.'

Ibu secepatnya berkata, 'Kamu benar, Suyuthi. Jika memang inginmu gaji tinggi dari pengabdianmu, maka berhenti sekarang tentu lebih baik.......'

Sayuthi terdiam....
Ibu juga terdiam...
Ibu terdiam dengan kebutaan mata bertahun-tahun lamanya dan kesendirian setiap hari.
Sedangkan Sayuthi terdiam berfikir sebagaimana selalunya ia berfikir akan umur yang terus berterus sementara miskinnya ia tak tersembuhkan.

GURU: Hanya Bermodal Ikhlas?

oleh Hasan Al-Jaizy

Oemar Bakrie di zaman inie sulit ditemuie. Yaitu, goeroe yang ikhlas lillahi ta'ala. Rela capek berletih-letih mengayuh sepeda butut demi mengasah generasi bangsa. Bandingkan dengan guru sekarang, terutama guru sekolahan [dalam beberapa kasus; guru SD] yang kerjaannya jadi kuli LKS atau pemungut pajak/bayaran ekstra. Yang jadi guru anak SD jangan tersinggung, karena Anda secara individu tidak dibahas di sini.

Tapi, masih ada kok guru yang memiliki modal keikhlasan mencukupi. Hanya saja, zaman sekarang banyak hal serba cepat. Semuanya dituntut untuk maju dan melakukan renovasi sana-sini. Terlebih wali murid, yang sebagian hobinya menuntut dan mempertanyakan. Selagi menyalah-nyalahkan metode ngajar sang guru, mereka lupa diri kalau sebenarnya mereka sebagai orang tua, justru menyerahkan anak pada orang lain soal pendidikan. Di rumah, boro-boro mereka mendidik baik. wkwkwk

Karena kemajuan dan 'kemanjaan' generasi sekarang, maka guru-guru dituntun untuk memiliki skill mencukupi dan berkembang. Yakni: tidak gitu-gitu doanks. Yang paling disorot adalah berbicara. Guru harus bisa menjelaskan pada murid materi pelajaran dengan bahasa lisan yang bagus dan lancar. Saya tidak bisa membayangkan dengan rapih di otak jika Aziz Gagap menjadi guru bahasa Indonesia.

Nah, yang sedang digencari oleh para ahli edukasi [atau para penulis di bidang edukasi] adalah wajibnya para guru untuk mengasah skill menulis mereka; sebagai contoh terbakti bagi para murid. Toh tidak bisa diingkari juga bahwa guru bahasa Indonesia di tingkat SD belum tentu pandai membuat karya tulis yang patut ditiru murid-murid.

Guru ngaji juga begitu. Maksudnya: guru pengajian [seperti ustadz atau kyai]. Jangan mengandalkan penampakan keikhlasan saja. Bagi sebagian, upayakan [semampunya] untuk tidak menjadi tukang dongeng sebelum tidur dalam mengajar pengajian. Volume suara dan equalizer serta tone nya juga layak diperhatikan.

Intinya: Jangan bermodal keikhlasan thok. Paling wuelik yo ngene: sudah ga ikhlas, bicaranya ngadat-ngadat plus emosian.

Sunday, September 23, 2012

Berpecah Belah

oleh Hasan Al-Jaizy

Pertanyaan: 'Apakah sama berpecah belah [tafarruq] dengan berbeda [ikhtilaf]?'
Jawaban: Tentu saja tidak. Untuk pembuktian logika, saya bertanya: 'Ketika Anda mengatakan A dan saya mengatakan B, apakah itu berarti Anda dan saya berpecah belah?' 

Nah, Anda sudah ketemu jawabannya. Sekarang, kita membahas masalah perpecahan di tubuh umat ini dan penyebab terbesarnya. Tentu bukan hal yang aneh ketika kita melihat adanya gontok-gontokan, saling tinju argumen, saling melempar bata tuduhan dan ujung-ujungnya adalah stempel atau cap kaki di jidat.

Perpecahan itu dilarang dalam agama Islam; karena hal tersebut menunjukkan tidaknya bersatu umat ini dalam kebenaran dan jauhnya dari petunjuk Allah. Sebagaimana terfirmankan:

وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًۭا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai" [Q.S. Ali Imran: 103]

Dari ayat tersebut kita bisa dengan mudah menyimpulkan bahwasanya

Akal Santri dan Rohis


oleh Hasan Al-Jaizy

Untuk sementara ini, anak santri sepertinya lebih 'berakal' dari anak rohis. Anak rohis sedang terkejut dan mengalami masa 'euphoria' yang gagap disebabkan tudingan [secara tidak langsung] bahwa di kerohanian Islam, terdapat cikal teroris. 

Kadang kita ingin memaklumi, anak santri disantrikan ketika masa sekolah, pula anak rohis dirohiskan ketika masa sekolah. Sama-sama mengalami di masa remaja. Bedanya, tuduhan cikal bakal teroris yang tertunjuk langsung pada pesantren itu sudah lama, sementara untuk rohis, baru kemarin sore ada tuduhan. Itu pun kalimat tuduhan masih muhtamal atau multi-tafsir. Cuma, karena media membesarkan, mental masyarakat terlebih mental anak mudanya yang dalam beberapa kondisi suka kambuh penyakit lebay-nya, maka jadilah dianggap 'tuduhan' langsung.

Tapi, santri-santri sebenarnya tidak suka berdemo. Itu bukan adat atau kegiatan kesantrian. Jika mereka dicaci dan dituduh, mereka langsung ambil tasbeh, baca kitab kuning lalu ruwatan. wkwkwk. Bukan, bukan seperti itu, kawan.

Beda dengan anak rohis, yang memang atmosfir pendidikannya tidak boarding. Anda bisa bedakan sendiri lah antara lingkungan pesantren dengan lingkungan sekolah umum.

Kembali ke permasalahan 'berakal'. Berakal di sini maksudnya: berfikir dan mengambil kesimpulan, langkah dan tindakan dengan berfikir. Bukan dengan perasaan semata, emosi semata, kebanggaan berkelompok dan identitas semata, juga bukan pamer jumlah atau otot semata. Jadi, dari 'akal' tersebut, santri-santri menahan diri mereka untuk turun ke jalan atau teriak-teriak, 'Saya anak pesantren....turun ke jalan biar nge-tren.'. Bukan seperti itu, kawan.

Daripada capek-capek seperti itu demi menzahirkan perasaan yang tersinggung, bagi sebagian santri: lebih baik menggaruk kulit. Karena kegiatan garuk menggaruk lebih nikmat dan menjanjikan gelora klimaks dibandingkan mandi keringat di jalanan. Makanya, budaya gatal dan garuk itu seperti kewajiban alam untuk ada di pondok.

Intinya:
--> Santri bisa menahan diri dari demo, tetapi sulit menahan rasa gatal di paha dan sekitarnya.
--> Rohis kurang bisa menahan kegatalan emosi, tetapi demi harga diri: mereka bisa menahan kegatalan kulit sehingga tidak garuk sembarangan di depan umum layaknya yang biasa santri lakukan.

Kedua belah pihak silahkan tersinggung, selama tidak garuk sembarangan.

Saturday, September 22, 2012

At Least Jangan Direndahkan


oleh Hasan Al-Jaizy

Setidaknya, DIAM atau HARGAI Selama Itu Positif

Cobalah Anda baca buku atau suatu artikel baik-baik. Setelah selesai, cobalah mempresentasikan kepada teman atau siapapun secara oral. Bincangkan apa yang Anda baca dan hembuskan opini Anda. Susah atau mudah? Bagi Anda yang terbiasa membaca asal-asalan atau yang memang sedianya jarang membaca, pasti bakal menemukan kesulitan atau bisa bicara namun point penjabaran Anda begitu miskin.

Sekarang yang kedua, cobalah Anda baca 4 buku yang bersatu genre-nya. Anggaplah itu semua buku antropologi. Ambil bab-bab yang berkaitan dengan pengaruh kultur terhadap kemajuan peradaban suatu bangsa. Setelah melahap semuanya yang terkait, coba susun dan tuangkan segala yang Anda fahami lewat tulisan. Susah atau mudah? Tidak mudah. Susah. Bahkan bagi sebagian orang yang memang sedianya malas membaca dan malas memegang pensil/pena, hal tersebut bagaikan memindahkan gunung ke tengah samudera.

Karena itu, ketika Anda mendengar presentasi seseorang, baik itu

Beberapa Point

oleh Hasan Al-Jaizy

Beberapa point untuk sore Ahad kali ini:

[1] Pencari ilmu muda yang tergesa-gesa dalam menuntut ilmu, menandakan adanya penyakit yang menyusup pada niatnya. Ia ingin cepat dapat ini dan itu, seperti gelar atau posisi di mata manusia. Inilah kengerian yang menjamur ada di zaman sekarang. Mari, kita melihat pada diri kita kemudian.

[2] Nah, sebagaimana pula yang terpaku pada dua hal: 'Khilafah' dan 'Penegakan Syariah', TANPA mengerahkan dan menyerahkan diri untuk belajar tekun bermasa-masa mendalami syariah. Ada juga yang sekadar menjadi ekor ikut kemana-mana sembari mempromosikan ide penegakan Syariah dan Khilafah [dua pencapaian yang mulia], namun sendirinya tidak menerapkan syariah pada dirinya dan tidak mampu menjadi khalifah bagi jiwa-nafsunya.

[3] Menunjukkan adanya kedangkalan pemahaman, atau kecacatan niat. Ketergesaan menyebabkan terhalangnya penggagas dari tujuan. Meskipun semangat membadai [hamasah] dan kekuatan gemuruh membahana [voice], tapi jika tidak diimbangi dengan isi [ilmu] dan penerapan [praktek], berarti itu seperti mengharapkan kucing jantan bertelur. Orang yang tak punya takkan memberi.

[4] Kalau begitu, jangan heran ketika idealisme gagap yang bergaram namun tanpa sayur-mayur, menghambarkan rasa. Sebenarnya kekosongan yang didapat. Jikalau ada sesuatu yang didapat, maka itu hanyalah sensasi semu semata. Terlihat seperti melihat oase di tengah padang pasir, namun setelah berlari semangat membunuh haus, haus kembali menjadi sebuah momok kekosongan yang menyebabkan asa mati, juga merasa semuanya sia-sia dan menganggap diri terkhianati.

You percaya atau tidak, tidak akan mengubah kepercayaan saya.

Friday, September 21, 2012

Tus-Tus-Tus...Jut-Jut-Jut...Mil-Mil-Mil...Bisnis Deh

oleh Hasan Al-Jaizy

Kalimat tersebut saya dengar dari lisan seorang aktor sebuah sinetron di SCTV tadi selepas Isya. Kebetulan melirik sedikit pada TV yang sedang on di rumah teman. Kalimat tersebut seharusnya menjadi sindiran yang super sarkastik bagi ustadz-ustadz komersil yang ilmunya hanya dibayar oleh uang ataupun pamor. Tidak cukup untuk ustadz, tapi untuk seluruh artis yang memainkan peran saleh ataupun bejat di film, yang konon dianggap sebagai dakwah dan berhikmah, namun sebenarnya bertujuan cari duit.

Bapak saya pernah menyimpulkan sebuah kesimpulan setelah melihat beberapa kejadian di bumi ini: 'Seorang yang awalnya idealis, ketika disuguhi duit, atau pamoritas, idealisme nya akan teruji dahsyat. Dan rata-rata akan terkikis.' Benar saja, mungkin sample seperti itu berkali-kali terlihat oleh mata kita. Seseorang yang dulunya keras dalam melawan arus, namun akhirnya lemas ejakulatif setelah ditodong oleh tuntutan uang dan kemasyhuran.

Uang dan Kemasyhuran 
Kenapa Uang? Karena kita membeli apa yang dibutuhkan atau yang tidak dibutuhkan dengan uang, meskipun dalam beberapa kondisi, kebahagiaan dan rasa sayang tidak akan bisa dibeli dengan uang. Dan sifat manusia umumnya tidak cepat puas. Jikalau ia puas, maka itu

Miyabi di LKS

oleh Hasan Al-Jaizy

Foto Miyabi nampang di sebuah LKS untuk SMP kelas 3 di Kota Mojokerto, Jawa Timur. Siapakah Miyabi? Bagi Anda yang sudah tahu, tidak perlu saya kasih tahu siapa dia. Tapi, bagi yang belum tahu, saya kasih tahu bahwa Miyabi adalah mie ayam basi yang seronok, hot dan bisa dipakai berkala-kala. 

Yang dipermasalahkan dalam-dalam adalah, foto tersebut ditaruh di dalam soal yang menyuruh murid untuk mengidentifikasikan siapa [nama] pemilik muka tersebut. Tentu saja, untuk mengetahuinya, anak SMP perlu nanya ke 'orang-pintar'. Dan ketika tahu siapa namanya, maka akan safar ke Google untuk mencari tahu apakah benar dia bernama Miyabi atau bukan.

Kemudian, Anda pasti bisa menerka hasil dari search engine itu seperti apa. Akhirnya dari situlah murid-murid yang lugu dan ndeso mengetahui. Tumbuhlah bibit-bibit 'parno'.

Yang penulis ketahui, soal tersebut masuk ke bidang English; karena ada pertanyaan: 'What do you think about it?' dan 'How beautiful is it?'. Apa mesti begitu belajar English, dengan mencantumkan foto Miyabi? Tidak adakah muka lain selain dia yang bisa diterima? Foto Habib Kuncung misalnya, yang fotonya dipuja dan tersebar di kalangan berakal tidak full. Atau foto lainnya!?


http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/442942232413834

Lebur


oleh Hasan Al-Jaizy

Di sini...
di desa ini...di pematang sawah ini...
kala itu kau berjalan riang
tetumbuhan padi, menampar-nampar paha kita
berjalan susuri petak-petak

Yang kemudian
kita rehat sejenak
di naungan pohon bertaburan bebatuan
di hadapan akar-akar
lalu kau tuliskan namaku
juga namamu
di muka datar sebuah batu nan halus
dengan batu apung yang kemudian melebur
dalam keherananku

Maafkan aku yang
menghapus kedua nama itu kemudian
Kukira kala itu kau tak perlu tuliskan keduanya
Yang kini kembali ku coba mengukir
sisa-sisa
dari hapusan itu

Ternyata kau hanya ingin
mengabadikan rasa
berharap kekal hingga kita berpisah
dan ternyata tidak kekal
karena kini kita sudah sungguh terpisah

Ku coba kembali ukir
kedua nama dengan batu apung
namun lebur ia
dalam isak tangisku

Maafkan aku...

Sudah Bukan Jamannya Lagi

oleh Hasan Al-Jaizy

Lha, ini khusus untuk lulusan pondok [kalo wong Jowo menyebut pondok: pondhuok]. Yang saya maksudkan: sudah bukan zamannya lagi lulusan pondok masih terlihat culun, kumel, kucel, ga elok dipandang, jelita [jerawat lima juta] ga diurus, rambut kriwel-kriwel, sarung dipake dua bulan dan seterusnya.

Sudah ga nge-trend lagi lulusan pondok cuma bisa ngaji Qur'an dan kitab kuning, sementara skill lainnya 'nothing' [dengan mimik dan pelafalan ala Wendi Cagur]. Tahu ga sih kalau kita ini dituntun oleh zaman untuk banyak tahu dan banyak bisa? Bukan berarti kalau sudah mahir melantunkan Surat Yasin, lalu suci begitu saja. Atau jangan merasa jumawa sendiri kalau sudah bisa membaca kitab kuning yang botak tak berharokat bahkan kadang terlihat pitak karena salah cetak.

Sekarang ini people tidak mudah terkesima karena

Thursday, September 20, 2012

Kalau Dianggap Sudah Baik..


oleh Hasan Al-Jaizy

Kalau sesuatu sudah dianggap sebuah kebaikan, maka penganggapnya baik tidak akan terima jika sesuatu tersebut dianggap buruk dan mengganggu. Contoh globalnya: Jika seseorang meng-hasan-kan [menganggap baik] suatu ritual dan teman lainnya mem-bid'ah-kan ritual tersebut, maka sang muhassin [yang menghasankan] tetap berteguh pada ritual hasan nya. Dan sang mubaddi' [yang membid'ahkan] tetap bersikukuh pada anggapannya. Kedua pihak merasa benar pada masing2 anggapan.

Boleh jadi, dengan saling gontok menggontoki, maka perpecahan [semakin] terjadi. Lalu, yang pertama tertuduh siapa?

Tuh kan, nyari tuduhan lagi. Baiklah. Sekarang real saja; kita menoleh ke lukisan kenyataan di masyarakat. Sebelum Subuh adalah masa sunyi dan momen tertepat untuk bermunajat, berdzikir dan shalat sunnah. Tapi, mulai jam 4, di banyak spot di kota Jakarta, masjid-mushalla menjadi tempat yang begitu ramai.

Kemenangan Jokowi-Basuki Adalah Kemenangan Etnis Tionghoa, Kaum Nasrani, Kaum Sepilis [Sekuler-Pluralis-Liberalis] dan....

oleh Hasan Al-Jaizy

Segala puji bagi Allah yang memberikan kita ujian dalam kehidupan dan pujian bagi yang bertahan dalam ujian. Setelah berhari-hari menelaah dan membaca beragam artikel atau opini Kompasioner di Kompasiana, banyak sekali faedah dan kesimpulan yang ada di benak. Salah satu kesimpulannya adalah judul tulisan ini.

Kompasiana adalah sebuah media atau istilah barunya: 'Blog Keroyokan' yang berisikan ribuan tulisan para kompasioner. Di dalamnya seakan ada segala berita yang rata-rata dibungkus dengan opini. Topik mengenai Pilkada DKI 2012 putaran kedua sangat banyak, sehari bisa mencapai 50 artikel lebih. Jika dihitung seminggu, mungkin bisa mencapai 400.

Karena mayoritas penulis di Kompasiana adalah orang berfaham sekuler atau yang mendekatinya, maka tentu maklum akan hadirnya opini-opini sekuler dan terkesan ingin mengenyahkan bau agama dalam dunia perpolitikan. Yang saya temukan,

SEDEKAH TERBAIK!

oleh Hasan Al-Jaizy

SEDEKAH TERBAIK

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

"Dan dari apa yang kami beri [rizki-kan], mereka menginfakkannya." [Q.S. Al-Baqarah: 3, Al-Anfal: 3, Al-Hajj: 35, dan di lain tempat dalam Kitab yang suci nan mulia]

Termasuk di antara rizki teragung adalah ILMU, yaitu ilmu syar'i yang berfaedah untuk siapapun, di manapun dan kapanpun.

Wednesday, September 19, 2012

Sehingga Kita Peduli Kelak

oleh Hasan Al-Jaizy

Dia berikan kita ketersendirian atau perasaan sepi; agar kelak ketika kita tak lagi sendiri, atau berkeluarga, kita ingat masa lalu terkurung dalam penjara sepi. Atau ketika kita melihat siapapun yang bernasib semisal, kita tak bergegas menertawai, melainkan meresapi dan berbisik, 'Itu adalah aku dahulu.'. 

Dia berikan kita kefakiran; agar kelak ketika semua telah tertopang, kita ingat masa-masa celana kita berdebu, atau baju yang terpakai begitu pudar saking lama terpunyai. Atau ketika kita melihat siapapun yang tertakdir semisal, rasa iba lebih mendahului kita dibanding picingan mata, atau bahkan tawa. Lalu kita menunduk dan berbisik, 'Aku takkan lupakan aku yang dahulu.'

Tiada tepat seseorang merasakan suatu kenyataan terjadi pada orang lain, kecuali jikalau ia benar-benar pernah merasakan tepat sepertinya sebelumnya.

Jika kita diberi sesuatu yang sebenarnya tidak kita sukai, ketahuilah itu hanyalah titipan hikmah untuk kita; agar nanti....nanti ketika kita diberi sesuatu yang kita harap-harapi, kita ingat masa lalu dan menjadikan orang senasib sebagai cermin masa lalu...sehingga tidak sombong dan menjadi peduli.

Memaknai Makna Dewasa


oleh Hasan Al-Jaizy

Mencoba untuk memahami makna kata 'dewasa' atau maksudnya, TANPA langsung menjadi hero dadakan dengan cara mengetik kata 'Dewasa' di search enginer seperti Google, atau melihat KBBI.

Beberapa makna dewasa dari beberapa orang dewasa:

a. Dewasa adalah kepribadian yang tinggi

b. Dewasa adalah kemapanan dari segi emosional dan keseimbangannya

c. Dewasa adalah kemandirian dan ketidakmain-mainan

d. Dewasa adalah yang tidak menganggap orang lain lebih kekanak-kanakan [rendah] dari dirinya

e. Dewasa adalah kebijakandan budi pekerti

f. Dewasa adalah ketika kamu tahu sikap apa yang layak dan yang tidak layak

g. Dewasa adalah 'jawa' [jaga wibawa]

g. Dewasa adalah 'gue banget gitoh...secara lu sendiri kan tau gue orangnya apa adanya baanget. Gue tu orangnye care, tau ga sih lo? Plis deh...gue tu cape' bangeeet ngurusin beginian. Gue ude anggep ni semua berakhir.'

Yang manakah yang menurut Anda tepat?
Jika tidak ada yang tepat, yang manakah yang menurut Anda mendekati kebenaran?
Jika tidak ada yang mendekati kebenaran, apakah Anda merasa sudah paling benar? Itu menunjukkan ketidakdewasaan Anda! [lho...lho]

Tuesday, September 18, 2012

KEGALAUAN 'ILMIAH' PELAJAR MUDA ILMU SYAR'I [Risalah Kecil Untuk Pelajar Muda]


oleh Hasan Al-Jaizy

 Kegalauan ILMIAH Pelajar Muda Ilmu Syar'i    [Studi Subjektif Akan Realitas, Kausalitas dan Solusinya]

Kegalauan yang termaksud adalah kegelisahan, entah terukur kecil maupun besar. Dan sifat 'ilmiah' yang tersemat di judul menunjukkan bahwa kegelisahan tersebut berkaitan dengan ILMU syar'i, yang menggaung di dada pelajar muda. Tulisan ini hanyalah pandangan subjektif yang berdasarkan pengamatan realitas, kausalitas [penyebab] dan mencoba menawarkan sedikit dari solusi untuk menanganinya.

Kegelisahan semacam ini belum tentu keburukan, namun bisa pula bibit kebaikan. Seorang pelajar yang mempunyai impian dan cita-cita tinggi, ia akan terbakar rasa iri melihat guru atau temannya yang mengagumkan dari segi ilmu, entah karena kuantitas hafalan atau kualitas pemahaman atau penjabaran jempolan. Dan rasa iri yang menggelisahkan semacam ini bukanlah keburukan; karena ini adalah sinonim 'kecemburuan ilmiah' dan terjemahan dari uluwwul himmah [high desire] untuk ilmu.

Dalam posisi dan juga ketika merasakan gelombang hati seperti ini, seorang pelajar perlu menyeimbangkan [balancing] diri agar tidak terjerumus pada kedengkian, namun juga jangan sampai mematikan impian. Layak ia ketahui bahwa semua ustadz atau syaikh yang ia kagumi, pernah merasakan gelombang ini di fase belajar dahulu. Karena ini adalah kelaziman, modal dan perkakas penting untuk bangkit berdiri dan naik meninggi.

  Bentuk Kegalauan Dalam Realitas   

Karena berkenaan dengan realitas, penulis akan memberikan contoh yang benar-benar terjadi. Meskipun tidak terjadi pada semua pelajar, tapi setidaknya pernah terjadi pada sebagiannya. Inilah di antaranya:

Manusia Akhir Zaman


oleh Hasan Al-Jaizy

Prophecy Sang Prophet tercermin sudah di muka zaman ini. Kejahilan, perzinahan, kefasikan bertebar di mana-mana. Yang dianggap kuno wajib disingkirkan, meskipun kekunoan itu adalah kunci sukses membuka gerbang kebahagiaan dan kewarasan. Sementara manusia banyak yang menjadi anjing dadakan yang liar mengejar-ngejar mangsa, dengan lidah terjulur dan nafas tersengal. Dunia...keterbalikan dunia.

Keterbalikan itu kini jamak tertemukan di pandangan mata. Tatkala kebancian merupakan sebuah kelaziman tontonan dan hiburan. Ketika suatu kesalehan adalah wacana yang layak ditertawakan. Lihatlah lelaki dan perempuan di ujung zaman.

Jika dahulu, ketika perawannya ibumu, selalu kau dikisahi bahwa kakek-nenekmu begitu pantang melihat ibumu di luar rumah selepas Maghrib, kini kau saksikan perawan-perawan bergentayangan dari selepas Maghrib, hingga entah kapan masanya. Di sebagian mereka tertata rias rona pelacur dan berlenggak-lenggok seperti anjing bisul.

Jika dahulu, ketika perjakanya ayahmu, selalu kau diceritakan banting tulang kerja ayahmu. Sedari muda ayahmu adalah prajurit jantan yang giat memburu cita-cita dan....perawan. Yang kini kau saksikan, lelaki akhir zaman seperti koala-koala dungu dan pemalas. Yang mereka ingin gapai bukan cita-cita, hanyalah perawan.

Saksikan Lelaki dan Perempuan Ujung Zaman 

Tidak sedikit kau temukan lelaki muda sekarang, bermain gitar di jalanan, mengamen, menjadi penjaga gedung, mengatur jalanan, game-online player, generasi bobo pagi...hidup tak teratur. Sebagian mereka menitikberatkan hidup pada sekedar hobi, olahraga atau seni. 

Dan banyk kau temukan nona-nona muda sekarang, dengan keberanian mereka meramaikan jalan raya malam-malam, bis-bis kota berdesakan, mereka mencari uang dan penghasilan. Seakan mereka oleh agama atau keluarga atau budaya dibebani mencari nafkah. Dan mereka kelak melaju maju jauh di depan lelaki yang sebagiannya telah bertransformasi menjadi koala atau keledai dungu.

Isa Alimusa [seorang penulis] berkata:

"Ada semacam pergeseran. Kaum pria semakin feminin, sebaliknya wanita semakin maskulin. Batasan lelaki dan perempuan menjadi amat tipis. Sepertinya, kita tidak puas dengan pembagian peran tradisional pria dan wanita. Dulu, pria adalah pencari nafkah dan wanita pengayom rumah tangga. Kini, perempuan sudah lazim jadi penopang keluarga dan laki-laki pun tak merasa tersingkir atau 'dipermalukan' dengan situasi ini."

If it is true, don't make a shame to deny the truth

Setidaknya...Punya Alasan!

oleh Hasan Al-Jaizy

Seseorang berkata: 'Membaca buku banyak-banyak itu ga wajib. Toh tidak sedikit pembaca buku yang candu namun tidak berakhlak mulia dan beragama baik.' Biasanya yang berbicara seperti ini adalah orang yang memang asalnya malas membaca buku. Membaca sedikit langsung down. Dan kalimat di atas sebenarnya adalah 'alesan' buatnya.

Seseorang berkata: 'Ngarabic itu toh gak wajib. Banyak kok orang bisa berbahasa Arab, tapi manhajnya tidak baik. Aqidahnya tidak selamat. Sehari-hari tidak mencerminkan akhlak mulia. Bukannya negara Arab penduduknya memahami bahasa Arab? Tapi, banyak yang manhaj dan aqidahnya tidak lurus, kan?' Nah, kalimat di atas sangat mungkin terucap dari lisan orang yang memang sudah terlanjur tidak mau belajar bahasa Arab [meskipun tiap hari 'berdakwah' dan mengupas masalah bid'ah selali]. Dan juga, sangat mungkin ia berkata sembari berbisik: 'Lihat saja saya, tidak menguasai bahasa Arab tapi manhaj dan aqidah saya insya Allah tidak sebengkok mereka yang menguasai bahasa Arab.'

Kalau memang sisi-sisi eksternal negatif seperti itu dijadikan alasan untuk tidak melakukan sesuatu yang positif, maka semua orang bisa begini:

"Ga mesti muslim itu jadi salafy. Toh yang kita lihat sebagian saudara dari kalangan salafy, meskipun tiap hari baca Al-Qur'an-Hadits, tapi ucapan mereka 'nyelekit' atau 'ngenye'', bikin loro ati. Wes ngono, semuanya disalahi. Juru kunci surgo, po?"

Nah, tentu saja itu bukan alasan yang benar untuk tidak melakukan sesuatu. So, jika memang tidak suka akan sesuatu, maka berikanlah alasan ketidaksukaan dari diri sendiri, jangan berdalil dengan kesalahan orang lain yang berkaitan dengan hal tersebut.

Tapi, setidaknya....punya alasan...mencari sebab serta mencari alasan, supaya tercapai hajatnya.


http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/441883599186364

Setidaknya...Punya Alasan!

oleh Hasan Al-Jaizy

Seseorang berkata: 'Membaca buku banyak-banyak itu ga wajib. Toh tidak sedikit pembaca buku yang candu namun tidak berakhlak mulia dan beragama baik.' Biasanya yang berbicara seperti ini adalah orang yang memang asalnya malas membaca buku. Membaca sedikit langsung down. Dan kalimat di atas sebenarnya adalah 'alesan' buatnya.

Seseorang berkata: 'Ngarabic itu toh gak wajib. Banyak kok orang bisa berbahasa Arab, tapi manhajnya tidak baik. Aqidahnya tidak selamat. Sehari-hari tidak mencerminkan akhlak mulia. Bukannya negara Arab penduduknya memahami bahasa Arab? Tapi, banyak yang manhaj dan aqidahnya tidak lurus, kan?' Nah, kalimat di atas sangat mungkin terucap dari lisan orang yang memang sudah terlanjur tidak mau belajar bahasa Arab [meskipun tiap hari 'berdakwah' dan mengupas masalah bid'ah selali]. Dan juga, sangat mungkin ia berkata sembari berbisik: 'Lihat saja saya, tidak menguasai bahasa Arab tapi manhaj dan aqidah saya insya Allah tidak sebengkok mereka yang menguasai bahasa Arab.'

Kalau memang sisi-sisi eksternal negatif seperti itu dijadikan alasan untuk tidak melakukan sesuatu yang positif, maka semua orang bisa begini:

"Ga mesti muslim itu jadi salafy. Toh yang kita lihat sebagian saudara dari kalangan salafy, meskipun tiap hari baca Al-Qur'an-Hadits, tapi ucapan mereka 'nyelekit' atau 'ngenye'', bikin loro ati. Wes ngono, semuanya disalahi. Juru kunci surgo, po?"

Nah, tentu saja itu bukan alasan yang benar untuk tidak melakukan sesuatu. So, jika memang tidak suka akan sesuatu, maka berikanlah alasan ketidaksukaan dari diri sendiri, jangan berdalil dengan kesalahan orang lain yang berkaitan dengan hal tersebut.

Tapi, setidaknya....punya alasan...mencari sebab serta mencari alasan, supaya tercapai hajatnya.


http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/441883599186364