Wednesday, October 31, 2012

GADIS 23


oleh Hasan Al-Jaizy

Gadis berusia sekitar 23 relatif rentan dengan perasaan menggebu untuk segerakan tersampainya jodoh padanya. Ini wajar; tersebab jiwa keibuannya. 

Cukuplah waspada jika bermuamalah dengan gadis seumur itu; ditakutkan salah kata sedikit, yang terbayang di benaknya kemudian hanyalah gaun putih. Atau, jangan pernah sedikit pun menyenggolnya. Takutnya: Senggol sedikit, berarti membeli....perhatian.

Makanya, jangan engkau heran melihat sebagian gadis2 seumuran itu memasang status2 yang jika kita cermati:

--> Sebagai representasi atau ekspresi batinnya yang sedang menunggu colekan, codetan dan ulekan dari seorang pendekar.
--> Secara tidak langsung mengatakan "I'm single; in the waiting of a man to come" dengan bahasa khas mereka yang bertalu-talu mengumandangkan beberapa teori tentang jodoh.
--> Adalah harapan-harapan berbunga mekar; selagi memilih-memilah kata dan kalimat tuk pulihkan lagi semangat yang tadinya layu, mereka selalu berfikir bagaimana caranya agar manusia tahu ia sedang panas menunggu teduhan.
--> Ungkapan2 tentang kesendirian, harapan dan masa depan.

SALATIGA, SELALU DALAM KENANGAN : [5] "Sepak Takraw"


oleh Hasan Al-Jaizy

"Sepak Takraw adalah jenis olahraga campuran dari sepak bola dan bola voli, dimainkan di lapangan ganda bulu tangkis, dan pemain tidak boleh menyentuh bola dengan tangan." [Wikipedia]

Benar sekali. Di pondok ada lapangan khusus voli, yang setengahnya masuk ke area lapangan sepakbola. Sepakbola + voli = takraw. Namun, kami tidak punya lahan khusus takraw. Akhirnya jadilah lapangan bulu tangkis sebagai lahan bermain takraw.

Saya mengenal takraw di pondok ini. Di masa calon siswa baru, saya suka menikmati pertandingan sepak takraw. Tepatnya menonton di pinggir lapangan bulu tangkis, di depan kamar tidur calon santri baru. Saya teringat seorang santri bernama Siradjuddin, senior jauh, lulusan SMA/I'dad Mu'alimin tahun 1999. Beliau seangkatan bersama Ust. Rijal Yuliar Putananda, Ust. Agung Wahyu Adi dan lainnya. Beliau berasal dari Bogor.

Yang membuat saya teringat akan beliau adalah kaosnya. Sore itu ia memakai kaos Bologna, sebuah klub papan tengah Serie A Italia. Baju Bologna mirip Barcelona. Merah-biru. Bertuliskan di depan: Granarolo. Bologna adalah tim jagoan teman saya di SDIT dulu. Namanya Farhan Islami, adiknya teman sekelas saya. Di bagian belakang tertera nama 'Signori'. Wah, Giuseppe Signori ketika itu adalah salah satu pemain masyhur dari Italia. Terkenal akan kaki kirinya yang tajam. Tajam di klubnya [Bologna], namun kurang tajam di timnas Italia. Ciri khasnya adalah menendang penalti hanya dengan satu langkah.

Yang juga menarik perhatian saya adalah seorang santri lama bertubuh kecil dari Semarang. Namanya Abdurrahman Al-Ghifari. Suaranya selaras dengan ukuran tubuhnya. Lumayan cempreng. Dia sering sekali saya lihat menjadi wasit. Saat saya sudah menjadi santri beneran, dia suka meledek-ledek. Tapi, ledekannya itu adalah candaan ala Tengaran. Oh ya, sebenarnya anak-anak Tengaran suka sekali melucu [ketika di pondok]. Serius dikit, tapi lucunya banyak. Akan dikupas kapan-kapan insya Allah.

Terkadang kita dapatkan santri-santri bermain takraw memakai sarung; sehingga ketika menendang tinggi, mereka harus memegang sarungnya. Mau lari-lari mengejar bola malah ribet sendiri. Atau ada yang memakai peci/kopiah; sehingga ketika bola di atas dan harus menyundul, mulut mereka menganga lalu des. Menyundul. Peci dan bola sama-sama terbang. Bayangkan saja sendiri.

Ketika saya masih SMP, sepak takraw sangat populer. Namun, kemudian pamoritas takraw terkikis di era 2002 ke sininya lagi. Ketika saya masih kelas 1 SMP, santri-santri kelas 3 SMA [3 Mua'limin] mempopulerkan sepak takraw di kelasnya. Tapi, yang ini unik. Karena bukan memakai bola takraw, melainkan kok untuk badminton. Jadi, mereka bermain di kelas. Mengatur meja-meja kelas. Tanpa modal jaring, namun jaring bisa diganti dengan deretan kursi-kursi atau sekadar taruh sapu panjang di antara dua meja. Mereka bermain itu dengan asyiknya. Dan banyak di antara kami, anak-anak SMP meniru-niru kemudian.

Di antara pemain takraw pondok masa lalu adalah Yasir Abdul Hakim atau Achink [Jakarta, lulusan 2000], Kudus [Balikpapan], Aso [Makkah-sar], Fathullah atau Atul [Sinjai Sulsel, lulusan 2004], Muhammad Haekal Aula [Pontianak, lulusan 2000], Abdurrahman Hamzah [Balikpapan, lulusan 2001], Muhammad Kholis [Balikpapan, lulusan 2002] dan sebenarnya masih banyak lagi.

Di zaman saya SMA/Mu'alimiin, sepak takraw sudah redup. Bulutangkis masih populer. Juga voli tak senyaring dulu lagi suara dentuman bolanya.

http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/457768877597836

SALATIGA, SELALU DALAM KENANGAN : [4] "Mas Boy, Dai Teladan"


oleh Hasan Al-Jaizy

Status ini adalah episode selanjutnya tentang Mas Boy. Ada cerita yang bertahun-tahun terkubur tak tersiar di telinga manusia tentang perjalanan dakwah Mas Boy yang one in a million. Jarang ditemukan orang seperti beliau. Rela berkorban, ikhlas dan diridhai manusia.

Saya pribadi 'menganjurkan' pembaca, jika bisa men-share cerita ini, agar tidak berat hati untuk men-share nya. Jika bisa meng-copas nya ke blog atau apapun wadahnya, agar ringan hati untuk men-share-nya. Dan saya meminta para pembaca, jika sedianya ada yang bisa ditiru dari beliau dari metode atau inspirasi, maka MOHON DOAKAN beliau. Semoga Allah meninggikan derajat beliau. Tulisan ini dibuat tanpa sepengetahuan beliau sama sekali. Dan mungkin beliau sudah lupa akan penulis ini.

MAS BOY, DAI TELADAN YANG TERKENANG

Tahun 2000, Mas Boy dikirim oleh pondok saya untuk mengabdi di MTS Al-Irsyad desa Wonosari, Kabupaten Ngawi. Letaknya di kaki Gunung Lawu. Di pondok saya, tiap santri yang lulus akan kena jatah mengabdi, yaitu menjadi dai. Disebar atau dikirim ke pondok-pondok atau daerah-daerah untuk mengajar apapun yang dibutuhkan di sana. Namun,

GELAP TANPA LISTRIK : [3] "Arungi Gelap Demi Ular"


oleh Hasan Al-Jaizy

Dulu, ketika masih di Salatiga dan Pontianak, berjalan susuri tempat gelap dan kurang baik untuk kesehatan, merupakan 'amalan' yang sudah biasa. Tapi, ketika saya kembali tinggal di Jakarta, malah memperkecut hati. Mungkin karena Jakarta ini ramai. Jadi terbiasa dalam keramaian. Andai terbiasa hidup di lingkungan sepi dan gelap, maka biasalah. Tidak heran, jika orang-orang Jakarta diminta berjalan sendiri di tempat-tempat sepi pedesaan, mereka bakal terguncang jiwanya, seakan terancam nyawanya. Hmm...meski ada sebagian kecil yang memang sudah punya sifat berani.

Di Pontianak dahulu, saya dan rekan-rekan, juga bersama murid-murid tinggal di pondok yang jauh dari pergaulan. Karena letaknya di ujung sekali. 4 kilo dari jalan mobil. Dan daerah itu asalnya adalah hutan belantara. Pohon-pohon banyak ditebang. Kadang ada orang-orang Dayak yang tinggal di tepi parit. Tapi, mereka sering menghilang.

Berjalan 4 kilo sendirian di gelap malam bukan hal ajaib ketika itu. Keadaan memang menyihir kami tuk berani lahir dan batin. Perlu pula jalan 'nyeker' tak beralas kaki. Karena kadang harus rela terjelembab dalam lumpur. Lumpur pun bisa

GELAP TANPA LISTRIK : [2] Situs-situs Gelap di Pondok dan Sekitarnya

oleh Hasan Al-Jaizy

Sebenarnya pembahasan ini suatu saat insya Allah akan dituturkan secara jujur kelak di salah satu episode dari serial SALATIGA, SELALU DALAM KENANGAN. Tapi, boleh lah pagi ini iseng-iseng menuliskan beberapa darinya di sini. Setelah sebelumnya membahas Jakarta, kini merambat ke Salatiga, dan yang berikutnya akan menyosor ke Pontianak.

Di pondok saya, ada beberapa situs gelap dan remang-remang. Ketika masih kelas 1 SMP [Mutawasithah/Tsanawiyyah], situs gelap yang memiliki reputasi buruk terdekat adalah di bawah tangga asrama blok Khoibar. Letaknya persis di antara perpustakaan dan blok Hudaibiyyah . Di dekat kamar saya. Perpustakaan ketika itu on 24 jam. Tidak ada pengurus yang mengatur dengan baik; padahal bukunya banyak. Nah, bawah tangga itu adalah daerah berlantai namun kotor. Gelap tak diterangi. Banyak sampah dan pakaian bekas dibuang di sana pada waktu itu.

Suatu larut malam, saya terjaga mendengar seseorang berjalan di tangga. Suara langkahnya keras dan beraturan. DUG....DUG...DUG....Hati saya pun dag....dig....dug...der....DAIAAAA!

Lalu pemilik langkah itu berjalan

Berawal Bagai DEBU, Bergulir Ibarat ANGIN, Berakhir Laksana ANGKASA

oleh Hasan Al-Jaizy

Ada seseorang murid Imam Al-Bukhary sedang duduk bermajelis di masjid bersama para manusia. Mereka berguru padanya. Murid ini dengan kebiasaannya mengelus atau memegang jenggotnya sendiri. Lalu, ia mendapatkan semacam kotoran di jenggotnya dan melemparnya ke dasar masjid. Al-Bukhary melihat hal tersebut, yakni: kotoran kecil yang terlempar.

Majelis pun usai dan para murid berpaling pulang menuju kediaman masing-masing, kecuali murid yang satu ini. Ia mengamati sang guru dari suatu celah. Ketika tiada siapapun, beliau menoleh kanan kiri. Memastikan tiada siapapun di sekitarnya. Lalu beliau mengambil kotoran kecil itu dan memasukkannya ke kantong bajunya. Keluarlah kemudian beliau dari masjid dan memandang sekitar. Setelah yakin dan memastikan tiada siapapun melihat, beliau keluarkan kotoran tersebut dan membuangnya di luar masjid.

Perawi kisah kecil ini mengisahkan kisah, sedangkah AL-Bukhary tidak tahu dan tidak akan pernah tahu. Namun, justru Allah membuat manusia tahu akan sebuah cerminan keikhlasan sang imam dalam beramal di dalam

Satu Jihad Jarang Teranggap


oleh Hasan Al-Jaizy

Yaitu ikhlas. Memurnikan pengesaan Allah dalam beramal adalah bentuk jihad amalan hati, yang di beberapa kesempatan justru lebih berat dibanding amalan tangan, kaki dan lisan. Setiap manusia muslim memiliki ujian semacam ini. Tidak ada satu pun yang selamat dari godaan ketidakikhlasan dalam beramal.

Bahkan seorang alim di zaman dahulu kala, yang dikenal beratus tahun hingga kini sebagai seorang alim rabbany pernah mengakui bahwa:

ما جاهدت نفسي على شيء مجاهدتها على الإخلاص

"Tidaklah ada sesuatu yang aku bermujahadah [mengerahkan upaya terkeras] atas diriku sebanding dengan upayaku untuk ikhlas."

Atau dalam arti kalimat lain:

SALATIGA, SELALU DALAM KENANGAN : [3] "Mas Boy"


oleh Hasan Al-Jaizy

Para calon santri baru gelombang pertama, harus tinggal di dalam pondok berhari-hari. Hampir seminggu. Syukurlah, mudahnya little Hasan bergaul pada manusia semenjak masih es de, menjadikan ia mudah mendapat teman-teman baru. Tanpa harus canggung dan main gunung es dulu. 

Kami, para calon santri baru, ditempatkan di sebuah ruangan yang normalnya atau aslinya adalah kelas ITQ [sebuah jenjang untuk anak SD yang dipesantrenkan]. Ruangan itu terletak di depan pondok, dekat dengan pos satpam dan gerbangnya. Ia juga berada di depan lapangan bola takraw. Lapangan itu bisa dijadikan tempat bermain takraw. Bisa pula tempat bermain badminton. Kadang, malah bisa dijadikan tempat bermain bola [dengan bola plastik]. Jadi, flexible...connected to anyone's will.

Mas Boy, adalah seorang pria Jawa berperawakan tinggi. Usianya ketika itu di atas 20, menurut perkiraan penulis. Beliau adalah orang pertama yang kami [calon santri baru] kenal. Ramahnya

...dan Orang-orang Tua Pun Menangis III


oleh Hasan Al-Jaizy


4

Ada seorang ayah yang hidup tak berkecukupan dan terlilit hutang. Ia hanya memiliki harta hayati, yaitu seorang anak laki-laki. Keduanya tinggal serumah dan tiada siapa-siapa lagi. 

Suatu hari, terdengar suara gedoran dari pintu depan. Sang putra pun bukakan pintu menjawabnya. Tiba-tiba, penggedor itu, seorang laki-laki, mendorong pintu dan langsung merasuk ke rumah tanpa salam ataupun penghormatan wajar. Lalu menghampiri sang ayah dan memegang kerahnya keras-keras.

"Bayarlah hutang-hutangmu. Tidak malukah engkau!? Aku sudah menunggu di luar batas kewajaran! Habis sudah kesabaran! Apa kamu sedang menunggu apa yang akan aku perbuat padamu???"

GELAP TANPA LISTRIK : [1] "Jakarta Dini Hari Tadi"


oleh Hasan Al-Jaizy

Terbangun karena merasa kepanasan. Jam setengah dua. Nyamuk-nyamuk seperti sedang menyerang. Oh, rupanya kipas angin telah mati. Oh, rupanya listrik telah mati. Di lantai bawah, adik-adik saya memanggil emaknya. Mereka ketakutan jika mati listrik di kegelapan malam atau dini hari.

Saya putuskan turun ke lantai bawah karena sudah merasa kepanasan di kamar. Semoga di sana lebih nyaman. Berpindah tempat tidur di bangku ruang tamu. Agar rame dikit, setel mp3 ceramah pak syaikh di HP. Lumayan. Siapa tahu bisa meninabobokan saya. Ah, rupanya Nina Bobo sedang berganti nama menjadi Joko Bodo. Tak bisa tidur disebabkan kurangnya kenyamanan. Nyamuk menyerang dan hawa panas juga. Malah jadinya dengar ceramah. 2 ceramah terlampaui. Yang pertama tentang jalan keluar setelah kesempitan. Yang kedua tentang memakan daging manusia [ghibah].

Karena merasa semakin tidak tenang, saya putuskan keluar rumah beberapa menit sebelum jam 3. Purnomo bersinar terang sekali. Depan rumah saya adalah taman liar. Bayangan pohon-pohon bagai hantu hitam yang terdiam. Lalu saya berjalan di gang rumah. Diremang-remangi sinar Purnomo. Sepi sekali. Suyuthi pasti lagi ngorok di kamarnya. Ternyata di sana ada Pak Hasan, seorang bapak-bapak asal Timur yang menikah dengan cewek Betawi sekitar 30 tahun lalu. Semua anak lelakinya adalah teman-teman saya.

Sempat menyapa sedikit, saya malah laporan,

...dan Orang-orang Tua Pun Menangis II


oleh Hasan Al-Jaizy


3

Tentang seorang remaja berumur 18 tahun. Baru lulus sekolah rupanya. Sedari kecil tak dididik benar-benar meski dirawat benar-benar. Ia tinggal serumah seatap dengan kedua orang tua kandungnya di daerah seberang Volvo, dekat Kalibata. Ibunya, yang dahulu berletih penuh sejarah payah selama berbulan mengandung, sekian menit melahirkan, dan berpeluh tahun mengasihi, adalah seorang pekerja di sebuah rumah sakit daerah Salemba, Jakarta. Sementara bapaknya adalah teman lama ibu saya. Bapaknya bekerja sehari-hari menjadi tukang ojek.

Bukanlah keluarga kecil itu keluarga bergelimang rupiah dan benda diharta. Namun, serasa rumah hanyalah tempat singgah bermalam. Seakan ia adalah penginapan untuk satu keluarga. Pagi hingga menjelang matahari tutup umur hari, tiap penginap [ayah-ibu-anak] keluar rumah. Sibuk dengan kesibukan masing-masing. Sang ibu sibuk dengan kerjaan di Rumah Sakit. Bapak pun tak sempat banyak membelai hati si anak. Tentu ia lebih sering merawat motornya yang menghasilkan uang cukup dibanding merawat hati anak. Sementara si anak, tak mau peduli dengan siapa yang melahirkan dan siapa yang membiayai kehidupan. Yang ia tahu hanyalah, 'Segala yang kuhasratkan harus teradakan'.

Anak ini adalah anak muda yang hidupnya berlumuran sejarah setan. Budi pekerti terhadap orang tua tercabut hingga sirna tak berjejak. Atau memang sedari kecil tiada sama sekali. Karena tumbuhan takkan tumbuh jika tiada penumbuh atau penanamnya. Pernah dulu ia memaksa orang tua untuk membelikan motor.

Sehari-hari, jika ada saja yang salah dari orang tua, atau tidak diberi uang untuk melampiaskan syahwat duniawinya, ia tega mencaci maki orang tua. Berlakon-lakon sudah wayang setan berlidah api neraka ia peragai di rumah.

Hari itu bukanlah hari luar biasa. Si anak durhaka ini hendak keluar rumah, sepertinya selepas maghrib atau jam-jam setelahnya. Ia meminta sesuatu namun tiada terkabul dari pihak yang dipinta. Siapa lagi kalau bukan orang tua. Akhirnya terlafadzkan kalimat ini di depan muka mereka:

"Setan luh!"

Lalu ia bergegas keluar dan melaju bersama motornya menuju kegelapan dan kesuraman. Tak lama kemudian, terdengar dering telepon. Diangkat oleh salah satu dari kedua orang tua. Terkesiap tak berkejap-kejap mereka mendengar kabar. Anaknya kecelakaan di jalan. Terkirimlah jasad di sebuah rumah sakit. Dan kabar itu dipastkan benar.

Betapapun durhaka anak pada orang tua, masih ada beberapa bait kasih tersisa dalam hati mereka. Berdua bergegas ke rumah sakit yang dimaksud. Duhai malangnya nasib satu keluarga. Hati telah hancur. Tulang-tulang si anak remuk namun ia masih tetap hidup. Ia lumpuh. Lumpuh tak berdaya. Terbaring menghitung masa. Hingga kini, sudah berbulan lamanya, terkabari seperti itu adanya.

Apa yang kemudian bisa didapat jika tiada bertaubat dari durhaka terhadap kedua orang tua? Namun, orang tua pun bisa pula durhaka terhadap anaknya. Jika apa? Jika mereka tak mendidik keduanya adab dan agama....dan orang-orang tua pun menangis.

Tuesday, October 30, 2012

...dan Orang-orang Tua Pun Menangis I

oleh Hasan Al-Jaizy


1

Ada seorang anak muda [laki-laki] yang saya kenal. Kira-kira berusia 20 tahun kini. Kuliah di Gundar. Ia tinggal di sekitar pinggiran Kali Ciliwung. Ibunya penjaga warung yang juga merupakan rumahnya. Anak muda ini tidak terdidik religius dengan baik. Ayahnya adalah tukang ojek di stasiun. Pulang malam ke rumah itu dan kadang di malam lain ke rumah istri mudanya.

Anak ini memiliki kakak perempuan, 22 tahun. Berjilbab namun tidak begitu religius. At least: berjilbab. Keluarga ini bukan keluarga religius. Baiklah, kembali ke si anak laki-laki. Saya mengenal keluarga ini sejak masih mondok di pondok. Yaitu berawal ketika liburan dahulu, selepas shalat Jum'at, saya membeli sebuah minuman murah berasa jeruk, namanya Fruitang. Itu sekitar tahun 2004. Ketika saya sodorkan uang 1000 [harga normal Fruitang yang saya tahu di seantero Jakarta], pemilik warung ini memanggil saya setelah saya berpaling muka seolah-olah tiada apa. Saya pun berusaha bertanya sebab serta bertanya alasan, 'Kenapa, bu?'

SALATIGA, SELALU DALAM KENANGAN : [2] "Brigade Life Skill"


oleh Hasan Al-Jaizy

Ayah ibu mengirim anaknya ini karena ada rasa kekhawatiran terhadap pergaulan anak kota ini. Terlebih, ibunya bapakanya ibu saya [buyut saya dari Betawi] ketika masih hidupnya dahulu dan kecilnya saya, mendoakan, 'Semoga anak ini menjadi ulama [kyai].' Doa yang diriwayatkan oleh ibu saya ini, begitu melegenda. Doa biasa, sebagaimana doa saya untuk teman-teman pencari ilmu. Namun, seperti ada pesan luar biasa...seakan itu adalah wasiat dari beliau: 'Lu kudu jadi orang, tong!'

Kemudian saya pun merelakan diri mengubur harapan kanak-kanak untuk melanjutkan sekolah bersama teman-teman dekat. Dengan bekal seadanya, saya dan pak lik [adiknya bapak saya] berangkat ke Salatiga untuk mendaftar di pendaftaran gelombang pertama. Untuk masa pendaftaran+tes, sekiranya membutuhkan waktu 1 minggu.

Sesampai di sana, hawa masih sangat dingin. Seingat saya,

JANGAN Katakan: "Masa Depanku Suram!"


oleh Hasan Al-Jaizy

Karena kau tak tahu sifat masa depanmu kelak. Bahkan kau tak tahu kini apakah nanti kau masih ada. Merupakan hal yang wajib disifati seorang muslim dengannya adalah sabar dan berbaik sangka pada Allah. Tidak berbicara yang tidak-tidak dan tidak menyangka pada Allah yang tidak-tidak. 

Jika kini tempatmu adalah gundukan sampah, maka berupayalah untuk keluar darinya dan angkat tanganmu tuk berdoa. Percayakan kelak Dia akan keluarkanmu darinya. Jangan mendahului takdir dengan mengatakan, 'Betapa suramnya masa depanku!' Karena sama halnya kau menuduh Rabb-mu yang Maha Bijaksana menyuramkan keesokanmu.

Dan sungguh ketika kau merasa terhimpit, bukanlah engkau satu-satunya. Ketika kau merasa paling terhimpit, sesungguhya masih ada manusia yang lebih terhimpit di sana. Ketika berada di ketinggian, jangan merasa tertinggi. Ketika terjelembab di kerendahan, jangan merasa terendah. Namun, berusahalah berpegang teguh entah di angkasa atau di bumi.

Pencipta langit dan bumi berkata, diriwayatkan oleh Rasulnya:

SALATIGA, SELALU DALAM KENANGAN : [1] "Muqaddimah"


oleh Hasan Al-Jaizy

Tiada akibat tanpa sebab. Tiada sebab tanpa akibat. Jika akibat tiada, maka pasti tiada pula sebab. Yaitu ketika saya lulus SD, ayah dan ibu ternyata punya rencana 'baik'. "Kamu akan dikirim ke pesantren!" tegas ayah-ibu. Sebagai manusia yang punya rencana, saya berontak. "Saya punya rencana sendiri! Saya mau masuk ke SMP 182 atau di sekolah lain bersama teman2!"

"Tidak bisa!" ayah menggebrak.

"Tidak tahu!" saya menimpali. Dalam kalimat dewasa, diterjemahkan, "Entahlah....". Setelah penegasan ayah saya itu, hari-hari terasa sendu dan beku. Karena jika dikirim ke pondok [Salatiga, Jawa Tengah], teman-teman lama, baik di sekolah atau teman bermain gundu dan bola akan saya tinggal jauh.

Tertekan. Ketika itu saya tertekan. Setelah era World Cup 1998 yang membuat saya mengenal sepakbola, permainan itu sangat addictive di hati. Dahulu, rela sekali tidak jajan demi beli koran untuk membaca isinya. Masa bodohlah biar tidak faham semuanya. Terutama halaman sepakbola. Bahkan jajaran penghuni tiap grup, dari grup A hingga H, sampai sekarang masih tahu. Dan tiap pertandingan masih teringat berapa skornya. Ketika itu, setiap ada siaran ulang sepakbola World Cup di TVRI,

Terkenang Yang Terbalap


oleh Hasan Al-Jaizy

Saya teringat salah satu kenangan masa remaja. Sebelum lulus sekolah menengah atas [I'dad Mu'alimiin], saya berdoa moga-moga pondok mengirim saya ke daerah terpencil untuk mengais pengalaman. Dan rupanya doa itu terkabul. Ust Ali Saman, ketika kami berkumpul bareng di sebuah pemandian kaki gunung mengumumkan nama santri dan tempat dakwahnya kelak. 

Gembira sangat hati ini ketika nama Kalimantan Barat disebut sebagai tempat tinggal saya untuk setahun ke depan. Bersama 4 sahabat yang akan selalu terkenang, Ust. Numair Mikail Al-Jamhuri [anak pontianak], Ali Aazad Sadad Safaraz [anak Bogor], Aziz Hadromi [anak Semarang], dan Taqiuddin [anak Makkah-sar], kami berkelana jauh ke Pontianak. Masa itu ada di tengah 2005. Dan hampir semua santri pondok kami belum begitu melek terhadap HP di kala itu.

Ust. Mikail, bersama beliau banyak sekali kenangan; karena kebetulan akhirnya kita berdua berduet di pondok yatim piatu dan faqir miskin warisan ayahnya -rahimahullah-. Dahulu pondok ini beraliran Sufi Tarekat, namun sekarang -alhamdulillah- kabarnya sudah

Monday, October 29, 2012

Cingkrangen...Jenggoten = Momok? Soleh?

oleh Hasan Al-Jaizy

Cingkrangen / Jenggoten...Momok?
Cingkrangen / Jenggoten...Soleh?

Pertama: Momok. Apa itu momok? Momok adalah sifat menghantui. Asalnya digunakan untuk mensifati sesuatu yang mengerikan dan berdampak buruk. 

Kedua: Soleh. Apa itu soleh? Soleh adalah baik atau benar. Dalam penggunaan bahasa kita, soleh bersinonim alim. 

Apakah cingkrangen itu wajib? Sebagian ulama mengatakan wajib, sebagian lagi mengatakan tidak wajib, namun menjadi wajib jika ketidak-cingkrangennya berdasar pada kesombongan. Kedua kubu memiliki dalil, alasan dan pendalilan.

Apakah jenggoten itu wajib? Zahir dari nash menghukumi wajib, karena diminta untuk 'membiarkan'. Ada juga yang memahami ketidakwajibannya. Tapi, perkara tersebut berlaku bagi yang punya. Bagi yang tidak punya, jangan

Kiranya Bermanfaat, Namun Rupanya Pendulang Dosa

oleh Hasan Al-Jaizy

Orang-orang merugi adalah yang tertipu dengan amalan baik mereka sendiri. Yakni, amalan tersebut dikiranya baik dan bermanfaat, padahal justru sia-sia atau bahkan mendatangkan mafsadat.

Ada hikmah dari 2 ayat ini:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا * ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

"Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." [Q.S. Al-Kahfi: 103-104]

Diriwayatkan bahwa ayat ini berkenaan

Sunday, October 28, 2012

Karena Kau dan Mereka Bisa Bersyukur


oleh Hasan Al-Jaizy

Coba hadirilah kajian atau majelis ilmu. Di manapun itu. Lalu sempatkan untuk melihat gelagat hadirin. Ada satu gerakan yang menarik, yaitu manggut-manggut.

Salah satu bagian kecil dari pemandangan yang menentramkan hati seorang guru, dosen, ustadz atau pemateri, adalah mengangguknya kepala-kepala. Trust me and believe me. Karena itu tanda si pengangguk memperhatikan, berusaha mencerna dan memahami. Jangankan mengangguk, jika engkau berbicara di depan hadirin, lalu kau lihat mereka melihat dan menyimakmu, maka kau akan senang dan termotivasi untuk berbagi. Terlebih jika ada yang mengangguk!? Sebuah isyarat tanda mengerti. Maka akan lebih senanglah engkau.

Dan rasa senang itu bukan berarti kebanggaan negatif ataupun sombong. Tapi, rasa tersebut adalah kelaziman yang manusiawi dan wajar. Tidak ada presentator yang tidak senang kalimatnya difahami manusia. Tidak ada penceramah tak berubah rasa di hati ketika tahu orang-orang memahami ceramahnya.

Begitu juga dengan

Setitik Kecil Berbalas Api

oleh Hasan Al-Jaizy

Setitik Kecil Berbalas Api 

Ketika itu, Umar bin AL-Khaththab -radhiyallahu anh- keluar dari rumahnya. Setelah menempuh langkah-langkah, ia melihat Muadz sedang berlinang air matanya menangis di sisi kuburan Rasulullah.

"Wahai Muadz, apa yang buatmu menangis?" tanya Umar.

Muadz pun menjawab: "Yang membuatku menangis adalah sebuah hadits. Aku mendengar beliau [Rasulullah] berkata:

اليسير من الرياء شركٌ

"Yang kecil dari riya adalah kesyirikan" [H.R. Ibnu Majah, Baihaqi, dan Al-Haakim]

Ketika para sahabat ketakutan amalannya tertolak disebabkan sebiji riya yang mewariskan adzab kelak, apakah kita berlaku sama? Banyak sudah amaln-amalan kita perbuat, namun ke manakah praktek yang termakna dari kalimat Rasul ini:

إن الله لا يقبل من العمل إلا ما كان خالصاً وابتغي به وجهه

"Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali apa yang diikhlaskan dan diharap dengan [amalan tersebut] wajah-Nya." [H.R. Nasaa'i]

Bahkan Rasulullah sendiri pernah mengutarakan langsung pada sahabatnya tentang isi hatinya; yakni apa yang paling beliau takutkan dari kengerian menjangkiti umatnya.

أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر

"Yang paling menakutkan dari apa yang aku takutkan [menimpa] atas kalian adalah Syirik Kecil!"

Para sahabat yang dimuliakan Allah pun bertanya: "Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?"

Jawab beliau:

الرياء

Adakah di antara kita yang menegaskan bahwa hatinya telah terbebas dari syirik kecil? [semoga bermanfaat dan dijadikan sebagai pengingat, terutama untuk penulis sendiri]

[4] : "Sibukkan Koreksi Aib Sendiri"


oleh Hasan Al-Jaizy

Memulai nasehat ini, kembali penulis mengingatkan bahwa risalah ini adalah untuk mengingatkan penulis sendiri dan juga siapapun yang membacanya. Sebuah faedah akan benar menjadi faedah bagi yang mengambil faedah darinya, dan tidak akan menjadi faedah jika tidak diambil darinya faedah. Bermula dari sebuah hadits:

كل بني آدم خطاء و خير الخطائين التوابون

"Setiap anak Adam banyak salahnya. Dan sebaik-baik orang-orang yang banyak salahnya adalah mereka yang [sering] bertaubat." [H.R. Tirmidzy]

Perhatikan lafadz 'khattaa'', yang menunjukkan bahwa sifat tiap manusia, siapapun itu, sering berbuat kesalahan. Dan perhatikan pula lafadz 'tawwaabuun'. Kenapa bukan 'taa'ibuun'? Karena Tawwab, menunjukkan seringnya ia bertaubat. Tidak hanya sekali. Bahkan berkali-kali. Dan semakin sering bertaubat hamba, semakin disayang Sang Pencipta.

Jika ada yang merasa dirinya sesuci malaikat tak bernoda, maka berhentilah dari tulisan ini dibaca. Hanya bagi manusia yang ingin selalu memeriksa dirinya. Duhai saudara, tiap-tiap kita benar-benar tahu secara zahir dan benderang aib-aib masing-masing terpunya. Biar sejuta manusia tak tahu yang kita sembunyikan dari aib, tapi kita benar-benar tahu dimana ia berada.

Men-jarh, menikam atau menurunkan nama seseorang terkadang bisa menjadi bagian dari nasehat dan ranting dakwah. Dan itu bukan satu-satunya bagian, bukan pula satu-satunya ranting. Terkadang, atau bahkan seringkali, hal itu justru adalah ghibah, namimah dan memperbesar mafsadah. Kita mungkin pernah melihat ada seorang hamba Tuhannya tak pernah mau berbicara kecuali membicarakan para dai atau para asaatidzah. Dan rupanya seringkali kalimat-kalimatnya menusuk banyak persona tertentu dari belakang. Lebih dekilnya lagi, jikalau yang ditusuk adalah orang-orang shalih, atau orang-orang bersalah namun tak mempromosikan kesalahannya dengan sengaja. Kita mungkin pernah merasa bahwa kita seperti itu dulu. Jadi, melihat pemandangan, seakan melihat cerminan masa lalu. Jika sekarang sudah membaik dan berusaha tak ulangi lagi, maka segala puji adalah bagi Allah.

Bukanlah kalimat berikut potongan puisi yang dipuitiskan, melainkan ia adalah ucapan manusia pilihan, yang tak perlu berpuisi untuk menjadi yang paling dalam kalimatnya:

يبصر أحدكم القذى في عين أخيه و ينسى الجذع في عينه

"Ada salah seorang diantara kalian yang bisa melihat debu di mata saudaranya namun ia lupa akan batang yang ada di pelupuk matanya." [H.R. Ibnu Hibban, disahihkan oleh Syaikh Al-Albany]

Duhai saudaraku, ketika engkau melihat adanya setitik debu di ujung mata saudaramu, apakah mampu kau melihat sebiji peluru di tengah matamu? Bahkan ketika kita mampu melihat orang lain secara keseluruhan, dari depan hingga belakangnya. Namun, kita rupanya tak mampu melihat belakang kepala kita sendiri, atau punggung sendiri.

Bagaimana mungkin kita sibukkan bicara kekurangan orang selain kita, sementara kekurangan kita sendiri tak pernah menyembuh?

عجبت لمن يبكي على موت غيره ... دموعًا ولا يبكي على موته دما
وأعجب من ذا أن يرى عيب غيره ... عظيمًا وفي عينيه عن عيبه عمى

"Aku heran pada siapapun yang menangisi kematian temannya dengan air mata
namun rupanya ia tak bisa tangisi kematiannya sendiri dengan darah"
"Dan aku heran pada siapapun yang melihat aib temannya begitu besar
namun pada aibnya sendiri matanya membuta"

Ibnu Abbas -radhiyallahu anhuma- pernah berkata:

إذا أردت أن تذكر عيوب صاحبك؛ فاذكر عيوبك

"Jika kamu ingin menyebut aib-aib temanmu, maka sebutlah [pula] aibmu."

Bukan berarti beliau meminta kita tuk sebutkan aib teman dan aib kita. Tapi, fikirkanlah pula, maukah kita menyebut-nyebut aib kita di depan manusia? Jika tidak mau, maka tahanlah penyebutan aib orang lain dari lisan kita.

Aun bin Abdillah berkata:

لا أحسب الرجل ينظر في عيوب الناس إلا من غفلة، قد غَفَلها عن نفسه

"Aku tidak menganggap seseorang yang menatap pada aib-aib manusia kecuali ia adalah termasuk dari orang-orang lalai. [Dan] ia [justru] lalai akan aib yang ada pada dirinya." [Sifatu Ash-Shafwah: 3/101]

Pernah juga seseorang berkata pada seorang alim, "Wahai saudaraku, sesungguhnya aku MENCINTAIMU di jalan Allah [Uhibbuka fillaah]."

Kemudian sang alim tersebut menjawab, "Demi Allah, wahai saudaraku, sekiranya engkau tahu seperti apa aku ini, kau akan mengatakan : 'sesungguhnya aku MEMBENCIMU di jalan Allah' padaku."

Sekarang, wahai penasehat yang mulia, apakah kau dan aku benar-benar semulia para penasehat? Terlebih ketika kita membicarakan aib manusia, apakah benar itu bagian dari nasehat? Jikalau memang itu bagian dari nasehat, apakah benar sebenarnya niat kita untuk menasehati?

Perhatikan bait-bait berikut:

شر الورى مَن بعيب الناس مشتغلاً ... مثلُ الذباب يُراعي موضعَ العِلَلِ

"Seburuk-buruk makhluk adalah yang sibuk dengan aib manusia
laksana lalat berkeliaran di sekitar kotoran-kotoran"

Mari koreksi diri kita. Ketika kita bermajelis, entah di masjid, entah di kampus, entah di FB bahkan, atau di grup dunia maya, kita meneliti aib-aib saudara, ustadz, syaikh, ulama dan siapapun. Apakah memang itu tugas kita? Atau justru kita 'menugaskan' diri? Apakah memang itu kepentingan kita? Atau justru kita 'mementingkan' diri?

Demi ALLAH, Sang Pembolak-balik hati, takutlah akan sesuatu yang tak terharap namun tersyahwat untuk memperbincangkannya. Perhatikan ucapan seorang alim:

إني لأرى الشيء مما يعاب، ما يمنعني من غيبته إلا مخافة أن اُبتلى به

"Sesungguhnya aku melihat sesuatu yang dianggap aib dan dicela, tidaklah ada yang mencegahku untuk meng-ghibahi [aib tersebut] kecuali rasa takut kelak aku akan diuji dengan [tertimpanya aku dengannya]."

Bisa sekarang kita tertawai fulan dan fulan yang begini begitu...
Bisa sekarang kita membahas fulan dan fulan yang menyimpang dan ekstrimis...

bisakah sekarang kita pastikan kelak kita tidak seburuk fulan dan fulan yang kita bincangkan aibnya????

Nasehat Untuk Para Penasehat...

Tawa dan Senandung Untuk Tangis Kemudian


oleh Hasan Al-Jaizy

"Jikalau kalian tahu apa yang kutahu; niscaya kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa." [sabda Nabi Muhammad -shallallahu alaihi wa sallam-]

Namun, rupanya kita tidak tahu banyak dari yang beliau tahu. Bahkan segala yang beliau beritahukan, tidak seluruhnya kita ketahuinya. Terngeri adalah yang kita sudah ketahui, namun pura-pura kita tiada ketahui. Karena itulah, betapa jarangnya kita menangis dan betapa seringnya kita tertawa.

Adalah sebuah cerita dari teman sekelas saya di kampus, yang kini ia sedang berdakwah di kampungnya mengisi liburan. Teman saya, anak tanah Sunda ceritakan:

"Ketika itu, kala Ramadhan, seseorang berumur 30+ curahkan hati padaku. Ia berkata:

Saturday, October 27, 2012

Bagaimana Dahulu Anda Belajar BAHASA ASING?


oleh Hasan Al-Jaizy

Bahasa Inggris adalah bahasa yang diperlukan oleh manusia modern. Perkembangan zaman + teknologi dan modernisasi menuntut penduduk zaman untuk berkembang. Salah satu tanda berkembangnya seseorang adalah semakin kayanya akan pengetahuan. Dan di antara pengetahuan terbesar manfaatnya adalah pengetahuan akan bahasa, baik bahasa pribumi [daerah/nasional], terlebih bahasa asing.

Apakah seorang dai membutuhkan bahasa asing?

Jawabannya: YES. Bahasa Arab yang paling dibutuhkan. Bahkan sebagian ulama di zaman dahulu tidak menganggap seseorang layak banyak bicara agama jika belajar bahasa Arab saja enggan, meskipun ia adalah orang Arab. Lalu, bagaimana jika dia adalah seorang Maduran yang jauh dari berbahasa Arab? Weits, jangan tertawai Madurian dulu. Siapa tahu Anda, meskipun Batavian atau tinggal di 'Serambi Mekkah', juga tidak mau belajar Arabic!?

BUKAN Title Yang Paling Diperlukan

oleh Hasan Al-Jaizy

Title atau titel yang kita gunakan bermakna 2: JUDUL dan GELAR KESARJANAAN.

[1] JUDUL

Seorang penulis bebas menentukan judul dan bebas menulis. Kecuali jika ia menulis karya ilmiah formal sebagai tugas atau persyaratan kelulusan akademik. Judul dirancang sedemikian rupa sehingga mencakup kandungan tema dan disetujui oleh penulis, pembimbing dan selain keduanya. Isi juga harus berkualitas.

Dalam dunia tulis-menulis, JUDUL BUKAN SEGALANYA. Jika seseorang merancang sebuah judul kontroversial, namun isinya menina-bobokan pembaca, maka ia adalah penulis yang buruk dan sekadar CARI PERHATIAN. Karena yang sejatinya dicari pembaca adalah isi dan kandungan tulisan. Ada bedanya antara 'penulis' dan 'pewarta'. Penulis menulis untuk menuangkan ide atau apapun yang tertuang dalam fikiran. Sementara 'pewarta' memberitakan berita dan kabar.

Wajar jika

Women


oleh Hasan Al-Jaizy

Women, they like poetic and romantic words. Nothing's wrong if they love handsome boys. 

Man, when you try to be so poetic forcefully (cause you're actually not into it) and just for the sake of being center of attention, women will not be closer to you. But if you try to be poetic naturally as you are, they will respect you closer. 

If it's fine to me to blow some of them with poetic promising words...I think I'm able to do it. Especially through Facebook, when you are able easily hide words of secret between you and her. You can blow up her mind with your gun (words). Promise her that you will get married with her one day. Make her sure that you are the luckiest one when you know her. Show that you are a straight and strict religious person.

You can choose many akhwats you want to shoot. Man, really...that is relatively easy if you know how to do it.

But beware of consequences. Being hypocrite won't give you any advantage at all.

I'm afraid to do that, but I always think that I'm able to do that. I mean: I know how to draw dreams on her canvas of mind, and how to betray those dreams when I get bored of her.

Don't ruin your dreams by drawing dreams on her.

Friday, October 26, 2012

Selmat Bersatu!

oleh Hasan Al-Jaizy

Selamat berhari raya kurban dan selamat bergembira untuk seluruh saudara-saudari muslimin, di manapun engkau berada, baik sedang di puncak gunung ataupun di tepi padang pasir. Ini adalah hari yang kita berbangga akan pembuktian betapa indahnya syariat Allah. 

Persatuan itu adalah ketika kita bersatu dalam barisan-barisan, meskipun tidak saling kenal nama dan tak memandang darimana tiap-tiap pemilik kaki berasal atau dari kelompok mana ia. Jika selalu dalam satu negeri, kaum muslimin merapatkan barisan di waktu yang sama, tanpa ada perbedaan-perbedaan yang terkesan 'disengaja' dan dicari-cari, maka siapa yang gemetar ketakutan? Kuffar. Dan siapa yang terbakar kedengkian? Munaafiquun.

Jangan umbar perkara-perkara beda dan kesalahan-kesalahan tak henti-henti. Sudah patut disyukuri tiada kericuhan di hari ini. Sudah bersyukur anak-anak muda mau beranjak dari kasur menuju lapangan terbuka untuk menunaikan sunnah di atas sejadah. Sudah bersyukur kita semua berkumpul. Jika selalu saja kita umbar perbedaan dan kesalahan, lalu kapan kita mensyukuri keseragaman?


http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/455568141151243

[03] "Hizby Teriak Hizby"

oleh Hasan Al-Jaizy

Menuding golongan lain sesat dan melabeli mereka sebagai ahlul bida' dan ahwa', sementara sendirinya tak sadar telah terjerumus dalam kesesatan dan mencerminkan kebid'ahan serta pengekor hawa nafsu. Ini adalah sebuah gambaran ngeri yang tiap-tiap kita berlindung pada Allah darinya. Di sini, saya pribadi berusaha mengingatkan diri melalui tulisan ini serta pembaca sekalian, yang harapnya menjadi para penasehat bagi hati sendiri dan orang lain.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata:

الواجب على كل مؤمن أن يحب ما أحب الله ورسوله؛ وأن يبغض ما أبغضه الله ورسوله مما دل عليه في كتابه، فلا يجوز لأحد أن يجعل الأصل في الدين لشخص إلا لرسول الله - صلى الله عليه وسلم - ؛ ولا لقول إلا لكتاب الله عز وجل

"Yang wajib atas setiap mukmian adalah ia mencintai apapun yang Allah dan Rasul-Nya cintai, dan membenci apapun yang Allah dan Rasul-Nya benci bersandar dari apa yang tertunjuk dalam kitab-Nya. Maka TIDAK BOLEH bagi seseorang menjadikan ASHL [Sandaran] agama dengan seorang manusia kecuali Rasulullah; dan dengan perkataan kecuali kitabullah Azza Wa Jalla" [Majmu Al-Fatawa: 20/8]

Maka, beliau pun

[02] "Dakwah Kita Untuk Semua"

oleh Hasan Al-Jaizy

Maka, jadilah penyeru kebaikan untuk semuanya. Berusahalah tuk menjadi seorang yang maqbuul [diterima] untuk semua manusia. Meskipun takkan mungkin semua manusia menerima kita. Namun, upayakan berhias dengan kebaikan yang diridhai fitrah manusia, baik itu melalui tutur, ataupun pekerti. Menjaga lisan untuk bertutur baik selalu dan berhikmah selamanya bukan sesuatu yang mudah. Menghias diri dengan pekerti berbudi juga perkara yang perlu dilaku berhari-hari.

Syaikh ibn Baaz -rahimahullah-, seperti yang diceritakan salah seorang muridnya, yaitu Syaikh Al-Ariify, dahulu berbondong manusia menuju kajiannya. Di antara mereka ada yang menyandarkan diri [muntasib] kepada golongan2 ini dan itu. Tiap-tiap mereka beragam corak dan latar belakang. Namun, beliau [Syaikh ibn Baaz] berhasil mempersatukan mereka dalam majelis ilmu. Inilah majelis impian; karena dakwah kebenaran adalah untuk semua. Semua berhak mereguk kebenaran; meski tidak semua hendak menerimanya.

Maka, apa jadinya jika dakwah hanya untuk kalangan tertentu saja!? Bagi yang berdakwah atas nama Salaf, lalu mengkhususkan audiens untuk bermanhaj salaf terlebih dahulu. Jika tidak, maka tidak boleh ikut kajian. Harus bersih dari pemasangan foto makhluk hidup, jika tidak, maka harus segera dibersihkan keberadaannya dri grup. Seakan selain golongannya adalah kotoran yang harus dienyahkan dari pandangan. Atau yang berdakwah atas nama partai dan ormas, mensyaratkan seragam dan tanda tertentu tanpa kepentingan darurat. Orang luar yang ingin ikut serta menimba ilmu, jika belum memenuhi syarat keorganisasian atau tidak recommended, maka dilarang ikut.

Apa gunanya dakwah jika seperti itu?

Sekarang, ada beberapa tanda tanya untuk para penasehat, termasuk penulis:

[A] Ketika ada gereja atau kumpulan kaum Kristen mengundang Anda [anggap saja Anda adalah tokoh agamis terpandang di masyarakat] untuk ceramah di depan mereka, dengan topik BEBAS, apakah Anda bersedia hadiri dan mempromosikan Islam tepat di depan mereka?

Jika Anda berfikir jauh dan berhasrat tinggi ingin menjadi pengantar hidayah Allah untuk kaum tersesat, maka Anda takkan sia-siakan itu, bukan? Satu orang saja mendapat hidayah Islam melalui lisan Anda, maka itu lebih baik dari barang termewah sedunia. Pahala berlipat-lipat.

[B] Sekarang, jujurlah saja. Ketika ada yayasan, ormas, atau kelompok tertentu yang 'Islami' mengundang Anda untuk ceramah di depan mereka dengan topik bebas, apakah Anda menghadirinya?

Apakah Anda menghadirinya?
Apakah Anda berkenan menjadi penebar kebaikan di sana?

Subhanallah...betapa terbaliknya banyak manusia. Ketika kita mencela sebagian dai televisi, 'Dai televisi mata duitan. Mencari dan mengejar dunia semata. TIDAK AKAN MAU CERAMAH KECUALI IMBALANNYA BESAR!' ternyata tingkah kita seperti ini:

"Tidak akan mau ceramah/menyampaikan kebenaran kecuali pada kelompok/golongannya sendiri"

Maka, jadilah seorang penasehat dan penyeru untuk umat, bukan untuk golongan sendiri. Dakwah pun tak terbatas di antara tiang dan tembok masjid atau di dalam kelas. Dengan tutur dan pekerti, bisa pula kita berdakwah dan menjadi perantara hidayah bagi manusia.

Contohlah para masyaayikh dan ustadz yang merangkul banyak audiens dari berbagai corak mereka. Jangan contoh sebagian penyeru yang hanya ingin merangkul yang setuju, menendang yang tidak setuju. Menjadi penyeru berarti bertugas sebagai penyampai, bukan sebagai penentu eksekusi penalti. Dakwah kita adalah untuk semua.

[01] "Setan Pun Takkan Mengupahi"


oleh Hasan Al-Jaizy

Risalah ini untuk siapapun yang berusaha menebar manfaat dan hikmah dalam berdakwah, entah itu sekadar klaim semata, atau memang cerminan realita. Bahwa sebagian lisan berpedang kalimat memerangi pengkotak-kotakan dan hizbiyyah, namun keberadaan dan tingkah mereka justru menjadi sebuah kekentalan hizbiyyah baru. Dan ketika kita mengiba-iba mengidam-idam mengharap-harap di depan umat bahwa inginnya kita adalah persatuan umat, justru kita sehari-hari menikam umat dan menambah perpecahannya. Jikalau ada penyembah setan melihat kondisi kita seperti itu, mereka tambah jumawa dengan tanduk-tanduk kambing Baphomet. Jikalau kaum atheis mengerti gejolak perpecahan yang kita buat, niscaya kemenangan mereka diterjemahkan oleh bahak-bahak.

Berusahalah dalam berdakwah untuk tidak man-tashniif dan mengkotak-kotakkan muslimin, terlebih mengencingi martabat mereka. Padahal mereka adalah bagian dari kaum muslimiin. Jika ketika bersuanya kita dengan seorang Kristiani, lalu kita langsung mengumbar perbedaan dan aib agamanya atau pemimpin agamanya, maka sehentak detik ia akan marah terhadap kita. Maka, apa fikirmu jika yang kita tikam adalah juga seorang muslim? Dan di mana akal pergi jika yang tertikam adalah orang-orang shalih yang hanya berbeda pendapat di beberapa perkara?

Jika pernah kita berlaku seperti itu, maka

Bincang Antar Tetangga


oleh Hasan Al-Jaizy

Sesungguhnya hari-hari ini adalah momen di mana selayaknya hati-hati muslimiin bersenang ria. Kaum muslimin sepatutnya berbangga, tak bersedih. Karena mereka adalah golongan atas, terpandang di mata Allah, berderajat di sisi-Nya. Sehingga tiap amalan, sekecil apapun hingga terbesarnya, ada ganjaran berbunga baginya. 

Islam adalah agama yang benar, paling benar, dan tiada kebenaran yang patut diambil dari agama selainnya. Hanya Islam yang dijaga oleh Allah keberadaan keasliannya. Dimulai dari Al-Qur'an, yang beratus tahun, meskipun diraba dan dicoba digores-gores dengan pena oleh para pembuat makar untuk merubah-rubah, namun sekekalnya ia tetap terjaga. Karena yang menjaganya adalah Sang Pencipta. Lalu, syariatnya [hukum-hukumnya] yang murni untuk mengedepankan kemaslahatan dan menghilangkan atau meminimalisir keburukan. Maslahat dan mafsadat, dasarnya adalah Allah yang menentukan. Segala ketetapan darinya adalah kebaikan.

Maka, suatu ketika, seorang mahasiswa berkebangsaan Prancis yang sedang menimba ilmu di Inggris tak henti-henti mencemooh agama ini. Ia adalah penganut agama Kristen. Lalu, hadirlah di hadapannya seorang pemuka agama dari golongan muslimiin.

Islam: "Menarik kalimat-kalimatmu. Ingin rupanya ku tahu, adakah di agamamu pemuka agama yang membelot ke agama kami?"

Kristen: "Ya, ada. Mereka bahkan mempunyai karya-karya, situs-situs di internet.

Islam: "Sebutkan untukku nama mereka."

Kristen: "Mereka adalah

Ada Pelangi Di Bola Mata Mereka


oleh Hasan Al-Jaizy

Lalu kita berlarian bersama ketika melihat puncak gunung sudah dekat. Awan-awan di sekitar membekukan keringat dan melecutkan semangat tuk cepat sampai tujuan. Dahulu ketika kita masih berada di kaki gunung terdasar, kita selalu berkata, "Seandainya aku nanti di puncak, aku akan....." Selalu seperti itu. Khayalan masa lalu yang terkesan angkuh, mendayu-dayu, muluk-muluk dan melangit.

Berzaman lamanya kita hasrati berdiri di puncak gunung. Kita akan mencengkram gunung. Kita akan menancap jejak. Kita akan berteriak gembira. Kita akan memandang ke bawah.

Capek-capek tak peduli. Yang terpenting adalah kita sampai ke sana. Puncak impian. Gemilang cahaya. Dan akhirnya sampai. Teman-teman berteriak gembira. Tangan-tangan terkepal bahagia. Yang diimpikan sudah ada. Yang dirajuk sudah terwujud. Lalu, apalagi?

Lalu, apalagi?

Lalu, apalagi?

Membasuh Perih Dengan Salju Putih


oleh Hasan Al-Jaizy

Kemarin siang adalah guyuran terik matahari yang sebabkan banyak manusia di kotaku mencari perlindungan dari sengatannya. Benar-benar panas. Karena itu, pukul 2 siang, saya sempatkan diri 'nongkrong' di sebuah warkop dekat palang pintu kereta api stasiun Kalibata. Sekadar duduk mendinginkan badan dengan menghisap es teh manis seharga 2.500.

Ada dua orang lain duduk di samping saya kala itu. Keduanya berusia 40 ke atas. Berparas dan ber-style menengah. Artinya: tidak kelihatan kaya, tapi kelihatan miskin pun iya. Tapi, itu tidak masalah. Toh, bisa saja mereka berdua zahirnya tampak miskin, tapi aslinya: siapa tahu lebih miskin dari yang tersangka!? Wah wah...rupanya saya kurang nyadar bahwa betapa miskinnya pula saya ini. Kata cicak: ckckckck

Satu dari keduanya mengatakan, kira-kira: 'Panas banget di luar. Wah, gimana di Arab ya?' Dimulai dari dua kalimat itu, mereka berdua

Tidak Mempan


oleh Hasan Al-Jaizy

Ritual tersebut rupanya tidak sesuai dengan dalil yang ada. Tidak ada contoh sebelumnya, namun dijadikan ritual rutin tertentu masanya. Padahal keserupaan dan keseragaman ketentuan masa pada budaya agama lain yang musyrik seharusnya sudah menyadarkan jiwa-jiwa yang tulus ingin beribadah. Namun, adat seakan menjadi tabiat. Dan tabiat takkan bisa berubah.

Pertama, dihidangkan dalil-dalil dari kalam Rabb, juga terlukis kalimat-kalimat Sang Mustafha di kanvas. Namun, mental seketika dalil-dalil tersebut tertolak. Alasan terbaiknya: bahwa dalil tersebut tidak ada yang secara spesifik dan straight melarang ritual yang terteguhi.

Kedua, dihidangkan kalimat-kalimat ulama kaum muslimiin dari zaman ke zaman. Namun, lagi-lagi mental. Padahal sudah jelas makna kalimat-kalimat itu melarang secara spesifik dan straight.

Ketiga, dihidangkan kalimat-kalimat

Thursday, October 25, 2012

Kesenangan PERUT dan KEMALUAN


oleh Hasan Al-Jaizy

Akhir-akhir ini kambing, sapi dan kerbau berceceran di beberapa tepi jalan kota Jakarta. Hal semacam ini lazim terpandang menjelang hari Ied Al-Adha. Sebagian muslim berikhtiar mencari rizki dari Allah untuk menegakkan tiang rumah dan menetapkan asap dapur terkepul. Beberapa muslim lainnya berikhtiar mencari ridha Allah dengan membeli hewan-hewan itu untuk disembelih di masa tepatnya dan dibagi-bagi ke manusia lainnya.

Lihatlah kambing. Kunjungilah ia sekali-kali. Dan amati ciptaan-Nya yang satu ini. Resapi harum aromanya. Hayati suara embiknya. Sesekali, berilah daun untuknya. Lalu, kau akan dapat pelajaran berharga dari yang tersaksikan.

Lihatlah dedaunan yang kau beri padanya, ia makan dengan rakusnya. Hingga tak tersisa sehelai pun. Dan ia masih meminta, mencari sisa-sisa, lalu menatapmu seraya bergumam, 'Apakah ada bonus tambahan, kawan?' Dan, mana pernah kambing memikirkan sakit perut karena

Kesenangan PERUT dan KEMALUAN


oleh Hasan Al-Jaizy

Akhir-akhir ini kambing, sapi dan kerbau berceceran di beberapa tepi jalan kota Jakarta. Hal semacam ini lazim terpandang menjelang hari Ied Al-Adha. Sebagian muslim berikhtiar mencari rizki dari Allah untuk menegakkan tiang rumah dan menetapkan asap dapur terkepul. Beberapa muslim lainnya berikhtiar mencari ridha Allah dengan membeli hewan-hewan itu untuk disembelih di masa tepatnya dan dibagi-bagi ke manusia lainnya.

Lihatlah kambing. Kunjungilah ia sekali-kali. Dan amati ciptaan-Nya yang satu ini. Resapi harum aromanya. Hayati suara embiknya. Sesekali, berilah daun untuknya. Lalu, kau akan dapat pelajaran berharga dari yang tersaksikan.

Lihatlah dedaunan yang kau beri padanya, ia makan dengan rakusnya. Hingga tak tersisa sehelai pun. Dan ia masih meminta, mencari sisa-sisa, lalu menatapmu seraya bergumam, 'Apakah ada bonus tambahan, kawan?' Dan, mana pernah kambing memikirkan sakit perut karena

Wednesday, October 24, 2012

Akan Bahagia Kelak


oleh Hasan Al-Jaizy

Ada manusia ingin melakukan sesuatu hingga terigau-igau ia bermimpi dalam kurungan pekat malam-malamnya. Namun sungguh ia belum termampu.

Di lain cerita, ada manusia yang terpenjara dalam bui sepi. Tiap desah hingga teriaknya tak terjawab. Hingga dedaunan dan debu melebur dalam iba. 

Di lain masa, malam-malam selalu bersedih. Hingga menangis sisakan air mata yang kemudian terombang-ambing anginperpisahan. Menetaplah tiap tetesnya pada dedaunan. Jadilah ia embun, warisan tangis malam dihapus mentari.

Lalu debu menyiarkan aroma rindu ketika hujan menjamah siang.

Manusia-manusia sedih, yang tak henti menangis di atas sejadah berdebu, menerawang nasib miskin dalam lembar-lembar daun sejarah yang rupanya catatan harian hidup.

Mereka akan bahagia kelak. Karena tanpa sengsara, bahagia takkan ada.

Pelipur Lara Bagi Yang Teruji Oleh Kurangnya Harta


oleh Hasan Al-Jaizy

Sebagian besar manusia menilai bahagia tercermin dari gemuknya badan dan banyaknya harta. Gemuk menandakan melebihi standar dan begitu pula dengan banyaknya harta. Dan memang, manusia yang berbadan bagus, kekar dan kuat akan cenderung memamerkan itu pada manusia. Ia akan lebih suka memakai kaos yang menzahirkan besarnya tangan. Juga, manusia bergelimang harta, akan cenderung menunjukkan adanya pada manusia. Ia akan lebih suka memakai pakaian yang mendeklarasikan bahwa 'saya berada'. Semua itu adalah perkara mubah, selama tidak berbalut dengan kesombongan, meski sebiji dzarrah.

Namun, sungguh banyak yang berbadan besar lupa bahwa ia akan diminta pertanggung jawaban lebih banyak perihal kekuatan dibanding yang berbadan kecil. Terlebih yang berharta berlimpah, bukankah fitnah umat ini terletak pada harta?

إن لكل أمة فتنة و فتنة أمتي المال

"Sesungguhnya pada setiap umat ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta." [H.R. Tirmidzy dan Bukhary dalam At-Taarikh Al-Kabiir-nya]

Orang kaya berpotensi terfitnah dengan

Tuesday, October 23, 2012

Kidal


oleh Hasan Al-Jaizy

Menggunakan tangan kiri untuk melakukan sesuatu yang umunya dilakukan dengan tangan kanan adalah ketidaklaziman. Menulis dengan tangan kiri adalah kejarangan. Sesuatu yang menyelisihi mayoritas, tentu saja bersifat minoritas. Dan ada alasan wajar mengapa mayoritas memarjinalkan minoritas; sebagaimana yang besar akan mengukur yang kecil sezahir kecilnya.

Namun, apakah mereka yang menggunakan tangan kiri dalam menulis, bermain bulutangkis dan perkara mubah lainnya dicela begitu saja? Juga, apakah ketika seorang anak terbiasa seperti itu hingga besar, lantas orang tuanya yang disalahkan? Atau, jika perlu, dikatakanlah, 'Itu salah orang tuanya. Dasar orang tua ga mendidik. Orang tua idiot!' dan cacian lain yang keluar dari otak penyeru amar ma'ruf nahi munkar.

Sebentar dulu. Penggunaan tangan kiri untuk sesuatu yang mubah dan tidak ada dalil pelarangannya tidak bisa disalahkan begitu saja, apalagi sampai menuding2 orang tua segala. Meski ada bagusnya juga pertanyaan ini: 'Mengapa orang tuanya membiarkan anak tersebut mengandalkan tangan kirinya untuk melakukan banyak hal?'

Ketahuilah, bahwa para psikolog yang berkonsentrasi dalam perkembangan anak punya pendapat mengenai 'kejanggalan' ini. Sebagian besar mereka mengkaitkan pengandalan tangan kiri dengan otak kanan. Jadi, kemungkinan besar hal tersebut disebabkan faktor genetik alias 'sudah dari sononye'. Dan itu bernama 'tabiat' [baca: cetakan sifat]. Namun, bukan berarti sebuah tabiat tidak bisa diubah dengan mengakali. Bisa; namun dengan trik-trik, pendekatan yang baik dan masa-masa.

Faktor genetik bukan satu-satunya alasan. Ada pula faktor sosial atau lingkungan. Misalnya: Anak tersebut terlahir di tengah keluarga yang semuanya atau mayoritasnya mengandalkan tangan kiri dalam melakukan sesuatu. Ini ada. Bahkan ada pula psikolog yang berpendapat bahwa hal tersebut bisa disebabkan adanya kesalahan dalam proses kelahiran. Bagaimanapun, semua hal di atas bukanlah sembarang pendapat. Kita simak dan serahkan sandaran kalimat dan pendapat pada ahlinya. 

Bernilai Ibadah


oleh Hasan Al-Jaizy

Di awal bulan, Anda layak menebar faedah akan manfaat sedekah. Awal bulan adalah masanya orang-orang miskin merasa kaya. Di antara mereka ada saya.

Di akhir bulan, Anda layak menebar faedah akan manfaat sabar. Akhir bulan adalah masanya sensitifitas meninggi. Sebabnya adalah masalah finansial.

Finance itu berpengaruh sangat pada gejolak emosi seseorang; terutama para orang tua.

Lihat saja di awal bulan, sorot mata mereka berbeda. Malam minggu di awal bulan adalah malam teramai di pasar dekat rumah saya. Sebagian berbondong pergi ke mall. Sebagian sekadar jalan-jalan dengan motor bersama teman atau pasangan masing-masing. Sebagian nongkrong.

Dan lihat apa yang terlukis di tanggal tua. Semua orang menua; karena tak henti berfikir menjawab dua pertanyaan berawal dari dua kata tanya:

Monday, October 22, 2012

Dogma Agama? Dogma Kelompok? Dogma Rasio?


oleh Hasan Al-Jaizy

Dogma adalah sistem keyakinan, bisa terkonstruksi oleh banyak hal. Di antaranya: dogma agama, dogma kelompok dan dogma rasio. 

A. Dogma Agama 

Dogma agama adalah sistem keyakinan berdasar dan bersandar pada agama. Dogma Islam, tentu saja mengacu pada dua sumber, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Namun, apakah sesederhana itu sehingga semua pemeluk dogma Islam dapat menabur keyakinannya berdasar yang tampak dari keduanya? Tidak cukup. Masih memerlukan beberapa alat.

Al-Qur'an adalah sumber pengetahuan dunia akhirat. Bagaikan sebuah alam yang di dalamnya terlukis segala keindahan serta coraknya. Sinar dan efek keindahannya terasa, namun bagi yang ingin menyelami, harus membuka banyak pintu-pintu besar. Tiap-tiap pintu membutuhkan kunci-kunci besar tuk membukanya. Maka, dibutuhkanlah banyak kunci.

Itulah Al-Qur'an. Anda boleh membacanya

Fakta Adanya Jin (2)


oleh Hasan Al-Jaizy

Tulisan ini adalah sambungan dari tulisan pertama.

Fakta yang menunjukkan adanya jin begitu banyak dan tidak bisa disangkal oleh siapapun yang beragama apapun. Adanya makhluk yang tak terlihat oleh mata normal manusia bukanlah sesuatu yang majhul [tidak diketahui]. Bahkan, bisa jadi mereka yang dengan angkuhnya mengingkari eksistensi makhluk gaib ini, akan merasakan sesuatu yang berbeda ketika melewati tempat-temapt sepi atau gelap.

[4] Penampakan. Sekarang, siapa yang masih mengingkari kemungkinannya jin menampakkan suatu wujud yang menyeramkan? Contoh: Pocong, Kuntilanak, Genderuwo dan seterusnya. Beberapa orang yang [mungkin] berusaha menegakkan rasio dan nalar [namun belum tentu otaknya dipakai] mengingkari itu semua. Entah karena mereka belum diperlihatkan atau pernah diperlihatkan namun memang disebabkan bebal dan akal yang terseok-seok. Juga ada yang ’sok tahu’ mengatakan bahwa jin itu tidak bisa tertangkap kamera. Kok mengingkari? Padahal bukti-bukti sudah banyak. Mereka ini mengingkari tanpa dasar yang jelas. Sementara fakta sudah jelas.

[5] Bisikan atau suara yang terdengar namun tidak terlihat empunya. Seperti suara ketawa dari semak-semak, pepohonan atau dalam rumah kosong. Atau bisa pula berupa ketukan-ketukan di pintu dan setelah pintunya dibuka, tidak ada siapapun terlihat. Atau bisa pula berupa suara orang berjalan seperti menyeret kaki di halaman rumah. Dan ketika menengok jendela, tidak ada siapapun dan seketika suara tersebut hilang. Orang boleh saja

Fakta Adanya Jin [1]

oleh Hasan Al-Jaizy

Fakta yang menunjukkan adanya jin begitu banyak dan tidak bisa disangkal oleh siapapun yang beragama apapun. Adanya makhluk yang tak terlihat oleh mata normal manusia bukanlah sesuatu yang majhul [tidak diketahui]. Bahkan, bisa jadi mereka yang dengan angkuhnya mengingkari eksistensi makhluk gaib ini, akan merasakan sesuatu yang berbeda ketika melewati tempat-temapt sepi atau gelap.

Berikut kami uraikan beberapa fakta yang menunjukkan eksistensi jin:

[1] Adanya orang yang kesurupan. Hampir saja tidak ada satu kurun atau satu daerah, melainkan pasti ada yang mengalaminya. Kesurupan terjadi disebabkan gangguan setan [jin yang tidak baik]. Adapun ketidakwajaran dan kegilaan yang disebabkan oleh stress dan depresi adalah perkara lain. Hal itu seringkali bisa disembuhkan dengan obat-obatan atau resep dari dokter. Terkadang pula tidak sembuh. Tapi, yang namanya kesurupan, apakah mampu ditangani dokter? Kumpulkan saja semua dokter di rumah sakit jiwa atau dokter fisik. Suruh mereka menyembuhkan seseorang yang kesurupan.

Yang namanya kesurupan, penangkalnya adalah