oleh Hasan Al-Jaizy
[Risalah Jaiziyyah: “Rumah Bata dan Rumah Kaca”]
Sepertinya rumahmu adalah rumah bata. Yang kau saksikan
hanyalah kekerasan dzatnya. Jika kau memukulnya berkali-kali, semakin tahumu
akan kekerasannya. Melunakkannya adalah igauan tak bermakna. Hendakkah kau akan
mengganti kayu daripada bata? Orang-orang akan mencela. ‘Apa kau tidak
bersyukur?’ dan ‘Apa kau tak suka kokohnya rumah semula?’ tubi mereka.
Sepertinya kau perlu juga membangun rumah kaca. Kaca,
tidak sembarang kaca. Melainkan cermin ia adanya. Agar terlihat dirimu
benar-benar sebagai penghuninya. Di mana-mana, terlihat ragamu. Kau tahu rapih
atau tidaknya kau berbaju. Kau tahu di mana letak kekurangan agar bisa tampil
kemudian tanpa ragu. Efek rumah kaca. Bata takkan menjawab engkau seperti apa.
Namun, cermin selalu menjawab sejujur-jujurnya. Kecuali...
Jika engkau memecahkan kaca-kaca. Meskipun kau menangis
darah sembari menyusun tiap kepingnya, takkan pernah ia kembali mulus seperti
semula. Teledornya engkau berbuah penyesalan. Kaca takkan jujur menggambar
siapa kamu kemudian. Seperti pula kau punya istri. Duhai engkau, yang berjasad
bata, berhati baja dan berjiwa ksatria, kau tercipta kuat, gagah dan berani.
Jika hati kekasihmu kau pecahkan sekali dengan sepecah-pecahnya pecahan, ia
takkan kembali. Jika dahulu ia berbicara tulus dengan sayangnya, setelah
hancurnya ia berbicara dengan air mata.
Sebaik-baikmu adalah sebaik-baikmu pada keluargamu. Dan
Rasulullah adalah sebaik-baik manusia pada keluarganya.
Kau ibarat rumah bata. Dia ibarat rumah kaca. Jika
segenggam bata kau lempar ke kaca, pecahlah kaca. Jika segenggam beling kau
lempar ke bata, tanganmu terluka dan bata tak berubah adanya. Maka, rawatlah
kaca-kaca dan jangan kiaskan kaca dengan bata. Bekerjasamalah keduanya. Bata
akan tahu kekerasannya ketika ia bercermin pada kaca. Kaca akan tahu
kelemahannya ketika ia dipertemukan dengan bata.
Bata seringkali tak tahu diri. Ia berwujud kasar lalu
berjalan di atas kaca. Kaca tergores. Rusak satu kali. Kemudian, dua kali.
Kemudian, tiga kali. Dan seterusnya. Kaca pun seringkali lebih mengingat
kekurangan bata dan seolah tiada ia berjasa.
Aku pernah diceritakan oleh seorang cermin perihal satu
kalimat yang diucapkan oleh pasangannya, yaitu seorang bata yang ceroboh
bicara. Dahulu, di awal mereka bersatu, diujilah mereka dengan kemiskinan.
Lalu, si bata berkata pada si cermin, “Sepertinya aku miskin karena berpasangan
denganmu.” Hancur hancurlah hati si cermin. Ia pun melayu. Permukaannya menjadi
lembab seolah baru saja melewati malam berembun. Menangis. Bertahun-tahun ia
mengingat kalimat itu. Dan selama itu pula, ia tak bisa memaafkannya.
Aku pernah diceritakan oleh seorang bata perihal satu
kalimat yang dihikayatkan penyebab cermin-cermin banyak yang dipanggang di
lembah Jahannam. Dahulu, si bata telah bekerja keras mencari kayu bakar agar
kepulan asap dapur tetap terjaga. Lalu, hiduplah ia dengan pasangannya, seorang
cermin, dengan bahagia. Si bata berlarut-larut dalam pelukan zaman berbuat baik
pada si cermin dan memuliakannya. Namun, suatu kala, ketika si bata terjatuh,
kebahagiaan pun surut seketika. Berganti kesengsaraan. Si cermin, yang
terlanjur terbiasa dibahagiakan sebelumnya, tidak terima dengan keadaan. Ia
meminta dibelikan ini dan itu untuk mempermulus permukaannya. Si bata menolak.
Tak punya apa-apa ia. Itu alasannya. Bukan karena tiada cinta. Namun, si cermin
berkata, “Kamu selalu begitu. Tak pernah kamu berbuat baik padaku.” Maka,
marahlah si bata. Dan kalimat semacam itulah yang menambah kobaran dan jilatan
api Jahannam semakin seram.
Andai bata dan kaca sama-sama tahu, ia adalah pakaian
bagi ia, dan ia adalah pakaian bagi ia. Bata pelindung kaca kala terancam oleh
serangan luar. Kaca pelindung bata kala ada yang mencari-cari kesalahan atau
aibnya. Bata menjaga fisik kaca agar senantiasa halus. Kaca menjaga rahasia
bata agar senantiasa berwibawa.
Di balik kekokohan sebuah rumah berbata, di dalamnya
pasti ada cermin-cermin.