oleh Hasan Al-Jaizy
[1]
Beberapa orang takkan pernah mau membagi
pengetahuan yang dinisbatkan pada orang-orang berilmu seperti Aidh Al-Qarny,
Salman Al-Audah, Sayyid Quthb dan lain-lain. Seolah tak pernah sebait pun
mendapat faedah dari mereka. Padahal, ada semacam ini yang diam-diam membaca
karya mereka. Namun, tidak pernah mau berbagi dan tak hendak mengkaitkan hal
pada orang seperti mereka.
Alasan dibuatnya: mereka punya ketergelinciran.
Alasan sebenarnya: saya takut ditahdzir.
Karena jika kelompok Anda (sebenarnya bukan kelompok,
namun tetap saja layak disebut kelompok di sisi lain) sudah menumbangkan nama
seseorang ramai-ramai, sebagiannya akan ikut-ikutan. Membeo dan membebek.
Dibanding menukil kalam emas dari pemilik
nama-nama yang tersebut di atas, sepertinya lebih baik menukil kalam abangan
Mario Teguh, Pak Presiden, Pak Menteri dan lainnya. Kenapa? Karena nama-nama
tersebut 'aman' dari penumbangan.
[2]
Beberapa orang sedari dahulu sudah memiliki HP
berkamera. Awalnya mengharamkan foto makhluk hidup. Tapi, HP berkamera.
Kemudian, baru tahu ternyata hukum foto makhluk hidup diperselisihkan ulama.
Mulailah memotret makhluk hidup, termasuk wajahnya sendiri, jika memang dia
adalah makhluk hidup.
Namun, soal memajang foto makhluk hidup di
jejaring sosial? No Way!
Karena saat itu, kawan-kawannya antipati dengan
gambar makhluk hidup. Sebagian biasa saja, dan sebagian bersikap keras. Dan
yang bersikap keras melarang pemajangan foto makhluk hidup pun, sesekali atau
bahkan seringkali memelototi gambar-gambar makhluk hidup di Internet.
Beberapa masa kemudian, ternyata ada beberapa
orang yang sekiranya kenal 'dakwah Sunnah' namun biasa saja soal foto makhluk
hidup. Beberapa meng-uploadnya. Bahkan beberapa menampilkan wajahnya. Mulai
goyah. Mulai semakin ada keinginan melakukan hal serupa.
Kemudian, ada beberapa orang yang sepemikiran
dalam beragama dengannya namun lebih berilmu, juga memasang tampang. Makin
goyah. Foto-foto makhluk hidup koleksinya dielus-elus sambil berfikir, 'Kalo
aye upload, kena tahdzir ga ya?' Lalu, karena merasa sumpek dan tidak mau
bimbang berlarut, mulailah memasang foto makhluk hidup. Diawali dengan foto
binatang dulu. Mungkin ia lebih pede menampilkan muka binatang daripada
mukanya. Atau, ia memang sedang mencari jalur 'aman'? Supaya apa? Supaya jika
ada bata tahdzir terlempar, yang kena adalah binatang tersebut, bukan mukanya.
Setelah sukses mengupload beberapa bintang, ia
menggumam, 'Wah, ternyata tidak ada yang melarang dan mentahdzir.'
Akhirnya, mulai memotret bagian dari dirinya.
Diawali dengan ihwal kecingkrangannya. Biasanya ditambahi dengan sendal Eiger.
Pokoknya, gaya Wiro Sableng (celana mengatung + sendal gunung) dipakai. Atau,
sepatu. Mulai ada kemajuan. Dari yang tadinya muka binatang, kini beralih ke
ceker.
Lama-lama, justru dia melihat beberapa kawannya
semakin berani menampilkan bagian-bagian dari makhluk hidup. Dan tidak ada
tahdzir berarti. Jika ada tahdzir, ternyata sudah siap dengan 'pembenaran',
yaitu copas faedah dari situs maupun blog yang mengatakan bahwa ini masalah
khilafiyyah.
Maka, mulailah merambat ke jenggot. Foto jenggot.
Kemajuan lagi. Berawal dari muka binatang, lalu ke ceker, sekarang ke jenggot.
Masih belum berani menampilkan muka. Masih malu-malu.
Semakin lama, akhirnya mulai menampilkan setengah
atau bahkan full badan, tapi tidak secara 'straight'. Ada gaya tersendiri.
Misalnya:
--> Foto dari belakang
--> Mukanya ditutup
Langkah-langkah semacam ini sudah mirip perawan
baru kena lamaran saja. Nanggung sekali. Justru yang seperti ini seharusnya
yang membuat penasaran. Mirip dengan para perawan dan perawati yang senang
membuat perjakawan dan perjakawati penasaran. Tapi, kemajuan orang semacam ini
ganjil, janggal dan aneh.
Dan biasanya, pose semacam itu dimaksudkan agar
dikomentari. Dan para komentator -yang konyolnya adalah sesama jenis- seolah
teriak-teriak histeris penasaran akan wajahnya. Justru yang seperti inilah yang
mempunyai kadar narcissisme lebih janggal. Atau mungkin merasa 'tawadhu' dengan
rupa wajahnya. Maksudnya: "ingin pamer wajah, namun kepalang tanggung ga
merasa layak dipamerkan".
Kalau dahulu, tidak pamer wajah karena takut
ditahdzir. Kemudian, tidak pamer wajah karena takut disindir. Kini, tidak pamer
wajah karena takut pada nyinyir.
Ah, apalah daya...pucuk dicinta gerobak nasi ulam
pun tiba...
Ternyata beberapa ustadz malah menampilkan
wajahnya...Tambah berfikir keras, 'Apakah aku harus tetap mempertaruhkan wajah
di balik tirai atau aku ikut mereka?'
Wait! Sebenarnya ga perlu gelisah, kok. Justru
kita yang bertanya: "Emang penting gitu buat kita ngeliat wajah
ente?"
Ya bagusnya jangan merasa wajahnya penting banget
dengan memancing orang penasaran. 'Biar pada penasaran dulu wajah ane kayak
gimana. Entar tanggal mainnya bakal ane singkap!' Dan dhuaar...sekali tersingkap
wajahnya, ga ada yang komentar...
Kecewe sekale kayaknye...
[3]
Kapan-kapan lagi lah...
Ini cuma iseng-iseng saja, kok. Saya tidak
menyebutkan nama dan ciri-ciri fisiknya, lho. Kalau dalam tulisan ini ada
kesamaan perilaku, langkah, dan tingkah dengan Anda punya, ya memang tulisan
ini tentang Anda. Maka, selamat berbunga-bunga ya...
No comments:
Post a Comment