Sunday, October 25, 2015

What I Am Now Is Better Than What I Was

oleh Hasan al-Jaizy


Kadang saya iri sama rekan-rekan mahasiswa. Burden of life mereka masih berkutat di kampus, organisasi, tugas dan ujian. Rata-rata begitu. Kadang saya cemburu sambil menyesal akan masa kemahasiswaan saya sendiri dulu. Ada rasa mau kembali ke jaman itu lalu belajar lebih lagi. Sepertinya rata-rata sarjana ada pikiran begitu. Sepintar apapun.

Tiap fase selalu lahir sesalan. Sesal kenapa tidak dari dulu belajar lebih giat. Saya cemburu akan masa lalu atau mahasiswa yang belajar giat sampai malam demi gapai cita-cita. Dulu kalau begadang, dikerubuti buku. Sekarang kalau begadang sama buku, istri langsung cemburu. Keren kan?

Ternyata saya sadari, what I am now is better than what I was kala itu. Dan setiap kamu pun harus sadari, bahwa kamu versi kini adalah gift yang tiada di diri kamu masa lalu. Apa yang kamu punya kini, belum tentu kamu punya masa lalu. Apa yang terhilang telah berlalu. Apa yang berlalu, kenangan tak terhilang. Jika mau kita pikir, rasa syukur kita kadang hilang, padahal kenikmatan dari Allah jumlahnya tak terbilang.


Friday, October 23, 2015

Konsultan Saya Adalah Ayah

oleh Hasan al-Jaizy

Konsultan utama saya dalam masalah belajar dan dakwah adalah ayah saya sendiri. 

Konsultan utama saya dalam masalah perasaan, manajemen keluarga dan kebaktian adalah ibu saya sendiri. 

Walaupun pekerjaan sebagai seorang konsultan, tapi saya tak bisa lepas dari Nyak dan Babeh. Mau sekeren apapun di hadapan siapapun, sowan ke Nyak Babeh itu harus. Sowan ke Nyak Babeh itu wajib, sampai kapanpun. Sementara sowan ke orang-orang besar yang bukan murabbi saya itu tidak wajib, bahkan kadang saya malah khawatir sowan karena kepingin dianggap 'wah, muridnya wah ternyata dikenal oleh orang besar'.

Ada hal yang perlu kita bertanya-tanya dan tidak usah pura-pura. Kamu dulu lahir di rahim siapa? Yang biayakan sekolah kamu itu ayah atau tetangga atau ustadz yang baru ketemu setelah dewasa? Sekarang, komunikasi kamu dengan ustadz atau ayah kamu yang lebih intens?

Juga hal yang perlu diingat, ayah dan ibu kamu lebih kenal tentang kamu daripada guru kamu ketemu besar. Apalagi kalau guru tersebut kamu hadiri majelisnya sepekan atau sebulan sekali. Apalagi kalau cuma nyimak tanpa konsultasi dekat ngobrol dekat. Jadi please, jangan merasa sudah paling punya naungan. Ayah dan ibu kamu lebih tahu latar belakang kamu, spirit kamu, kemauan kamu, konyolnya kamu, lucunya kamu, nangisnya kamu, sampai kalahnya kamu pas maen kelereng dulu. Ayah dan ibu kamu!

Kalau memang ayah dan ibu kamu ga bisa dijadikan konsultan, ga bakal kasih solusi karena dunia kamu beda, minimal pijitin bahu ayah, atau kasih Nyak berapa duit buat belanja, lalu bilang hajat kamu apa. Bilang kamu mau apa. Bilang kamu suka sama siapa. Bilang aja. Bilang aja. Malah kok kamu lebih getol bilang hajat kamu ke teman, atau ustadz, yang kenal kamu saja baru kemarin. Kamu lupa ya kalau pertama kali kamu mengenal matahari, kamu ada sama ayah ibu, bukan sama teman atau ustadz?

Kamu lupa ya kalau sebesar-besar harapan teman atau ustadz sama kamu, lebih besar lagi harapan ayah ibu sama kamu? Kamu lupa ya jeritan Nyak dan cakarannya ke Babeh pas ngeluarin kamu? Kamu lupa ya pas kecil kamu lari hampiri ayah kamu sore-sore nyambut kedatangannya yang capek berpeluh kerja cari nafkah sambil tergopoh-gopoh gopong tasnya?

Kamu ga tau ibu nangisin kamu di doa beliau? 

Kamu ga tau ayah di jalanan nangis karena kebingungan cari duit?

Sebenarnya kamu emang ga tau. Dan ga mau tau. Karena mungkin bagi kamu, ayah ibu udah jadul. Ga tau dunia kamu. Ga punya solusi.

Dan alhamdulillah kalau saya, tidak begitu. Kadang ayah ibu saya memang ga kasih solusi lewat kata. Tapi bagi saya mah, salaman tangan baik-baik pas mau pamit dari rumah ayah ibu adalah solusi. Bagi saya mah, mereka konsultan tak tergantikan. Saya cerita apapun, mereka dengarkan.

Bagi saya mah, melihat mereka berdua berdiri depan pintu lihat saya naik motor pamit pergi dan mereka lambaikan tangan jawab salam, adalah solusi.

Solusi yang ga bisa saya dapatkan di siapapun guru saya yang terpintar.

Solusi problematika apapun buat saya mah: berbuat ihsan pada ayah ibu.

Solusi dari the best consultant. Ridha ayah ibu saat saya udah gede gini udah cukup membuat saya yakin dan berdoa: semoga Allah Ta'ala meridhai kami... dan kamu.


Kelembutan Allah dari Peringatan Katak Ini

oleh Hasan al-Jaizy

Ada katak disebut di kita sebagai 'Katak Perut Api'. Banyak yang menyebutkan kodok karena memiliki kulit yang memiliki bentol-bentol yang biasanya umum dimiliki oleh kodok. Tapi sebenarnya dia ini katak, bukan kodok. Perutnya yang berwarna merah digunakan sebagai pertahanan diri. Saat predator mendekat, katak ini berdiri dan menunjukan perutnya. Itu riwayat yang saya temukan dari Kaskus.

Sementara, riwayat tambahan yang saya dapat dari National Geographic, katak ini memiliki sisi yang sangat dramatis dalam memalsukan kematian mereka. Saat berpura-pura mati, katak ini memutarbalikkan anggota tubuh untuk menampilkan tanda peringatan berwarna kuning atau oranye di bawah telapak kaki mereka. Mereka juga membalik punggungnya untuk menunjukkan tanda yang sama di perutnya.

Para pakar menyebutkan, bahwa dengan trik A dan juga B tersebut, yang sebenarnya intinya ingin menzahirkan 'warna' saja, maka para mangsa akan tahu bahwa katak ini 'beracun'. Lalu mereka akan menghindar. Saya menekankan di point ini. Subhanallah. Katak ini memberikan body language untuk hewan pemburunya, agar cari saja makanan lain supaya tidak kena racun dia. Ini selain bertujuan melindungi diri, bertujuan pula melindungi musuh dari kematian.

Saya benar-benar bersyukur, terlahir dalam keadaan Islam, masih dan semoga akan terus Allah berikan kenikmatan Islam. Ditambah syukur pula, saya masih belajar terus tentang Islam, walau saya adalah pemula. Ayo, para scientist muslim, kita sama-sama maju yuk.

Thursday, October 22, 2015

Kekeramatan Yang Kurang Diimpikan

oleh Hasan al-Jaizy

Kemarin sempat interview beberapa calon pegawai. Selain miris pada diri sendiri yang masih belum seberapa, ternyata ada kemirisan tambahan melihat para calon. Calon-calon guru di beragam disiplin ilmu dunia, seperti matematika, kimia, biologi, bahasa Indonesia sampai English. Saya tidak mempertanyakan keahlian mereka di bidang duniawi, tapi standar baca al-Qur'an dan wawasan keislaman teman-teman kita ini masih minim. Ini tanpa perasaan kelak di endingnya saya lebih baik dari mereka.

Sebagaimana menjadi rahasia umum yang sudah menjadi konsumsi bibir publik, banyak dari dokter sekarang, menakut-nakuti ibu hamil apalagi yang masih belia usianya dan belum punya experience cukup dalam kehamilan. Ujung-ujungnya rekomendasikan supaya bayi terlahir dengan cara Caesar. Penyakit demi penyakit atau gejala negatif dijabarkan dengan semangat oleh dokter beserta bidan asistennya. Bahkan kadang diceritakan, sang dokter terkesan maksa. Rupa-rupanya tidak sedikit kasus kongkalikong. Apalagi kalau mengejar duit? Bumil panik mendengar dor dor dari dokter. Saya pernah menyaksikan ini sebagai suami bumil.

Saya pikir, ini dokter apa teroris? Tahu ini orang lagi mengandung, kok malah main dor dor begitu saja. Lembut dikit kek. Ngarti dikit kek perasaan bumil ini. Saat dokter ngoceh terus berentetan sebut kasus-kasus parah, saya tatap tajam muka beliau. Saya pernah melihat Didier Drogba lari sana-sini kejar bola meneror para pemain yang sedang pegang bola, demi cari apresiasi pelatih dan penonton, yang ujung-ujungnya duit. Kok mirip ya ngototnya. Vonis penyakit dan harus langsung dibelek perutnya di awal cek kedokteran, dengan bahasa semaunya tanpa mikir perasaan, adalah hal yang jauh dari kamus kebijakan.

Kenapa mengejar Caesar, wahai dokter? Padahal Caesar kan sudah meninggalkan program lamanya. Apakah Anda mau sama dengan para penyelenggara tematik yang berburu Caesar dan yang semacamnya supaya hadirin dan duitnya banyak?

Akhirnya, saya pindah pilihan. Tidak mau ke dokter itu lagi. Saya browsing Inet, ditemukan beragam cerita kenakalan sebagian dokter. Mirip-mirip. Intinya kejar duit.

Alhamdulillah, ketemu RS yang profesional. Swasta dan biayanya lumayan membuat saya semakin tersadar bahwa saya harus lebih mendekatkan diri pada Allah. Pelayanannya memuaskan secara psikologis. Para dokter dan pasukannya sampai satpamnya membuat kami merasa comfort. Tempatnya juga nyaman dan wangi. Tak apa soal biaya kan soal rizki. Yang penting kita usaha supaya istri dan anak lebih tenang. Safety first, money later. Setelah dapat safety, giliran money bill, baru kita menangis later. Hehe.

Walaupun dari sisi profesionalisme dokter-dokter dan bawahannya ini saya acungi jempol tapi ada saja yang kurang buat saya. Vital. Apa itu? Sisi religiusitas!!! Ini nih. Mereka bekerja secara profesional duniawi. Andai mereka terpoles ke agama, saya akan senang menemukan suster-suster itu sering menyebut nama Allah, tidak hanya memberikan advice of health melainkan dibalut juga dengan menekankan sisi tawakal pada Allah. Tapi sayangnya tidak. Karena mereka tidak dididik untuk itu.

Inilah. Kita butuh Rumah Sakit Islam lebih banyak lagi. Bukan label Islam semata, tapi nilai moral pegawainya sangat islami.

Nah, kembali ke interview itu, saya berhadapan dengan para calon guru baik ikhwan maupun akhwat, dengan membawa otak Biologi, Kimia dan lain-lain. Di tempat saya kerja, nilai religiusitas sesuai pemahaman Salaf sangat diusahakan. Kinerja para pegawai relatif stabil. Prestasi demi prestasi terbangun. Meski saya sendiri belumlah seberapa mampu memperbaiki diri. Tapi wajib bersyukur kalau kita sudah mulai berusaha menanamkan jiwa religiusitas di tempat kita bekerja.

Saya iri sama teman-teman yang mahir Biologi. Kepingin kuasai Biologi. Miris hati kalau naik motor lihat pepohonan atau jalan di jalanan lihat hewan, tapi nothing to say tentang spesies, kehidupan, anatomi dan anything about them. Hanya bisa berkata mereka ciptaan Allah. Tapi apakah teman-teman anak Biologi sendiri, iri sama teman-teman yang faham baca kitab, mahir baca al-Qur'an?
Padahal di dalam al-Qur'an, disebutkan beberapa nama hewan, disebutkan beberapa macam tumbuhan. Selemah-lemah rumah adalah rumah laba-laba. Secara scientific, bagaimana membuktikannya? Kita sama-sama imani ayat itu, tapi secara keduniaan dan pembalutan sains, saya belum mengerti detail dan saya berharap mengerti.

Siapapun pegawai, kalau menjunjung nilai religiusitas di bidangnya, insya Allah akan lebih disukai.
Karena pegawai yang tak religius, dia hanya dapat dunia. Adapaun pegawai yang menjaga agamanya di gaweannya, dia dapat dunia dan dia punya saham di akhirat.



Wednesday, October 21, 2015

Kita Malah Tertawa

oleh Hasan al-Jaizy


Kalian malah tertawa dan tidak menangis. Sebagaimana kita baca akhiran Surat an-Najm. Kata Nabi, kalau kita melihat apa yang telah beliau lihat, maka kita akan lebih banyak menangis daripada tertawa.


Obati kekerasan bahkan kegundahan hati dengan sujud, dzikir, sedekah, atau baca karya ulama. Adakalanya hati seorang muslim kian mengeras karena baca status. Nafas-nafas manusia adalah asap buat hati. Semakin sering dihirup omongan manusia, semakin menambah sakit dan penyakit hati.