Kesombongan lebih senang
menjangkit di manusia berpunya, entah dari segi materi atau maknawi.
Kesombongan lebih suka bercumbu dengan hati orang kaya. Kesombongan juga senang
mengipas hati-hati orang berilmu. Kesombongan terburuk terjadi pada seorang
yang miskin harta. Yang lebih buruk jika terjadi pada yang miskin ilmu, namun
melabeli diri sebagai seorang yang berilmu, atau seorang pencari ilmu.
Betapa sering aku dan kamu
tertipu.
Sebelum aku meneruskan, ku
harap engkau kelak tak berkata, "Tidak semuanya begitu! Jangan
menggeneralisir!" Diamlah dan mari mengacalah.
Kesombongan yang tak
tersadari sering terjadi pada lelaki yang berbentuk tubuh kekar. Ia akan
memakai kaos ketat berlengan pendek. Ia ingin dikagumi dengan pemberian Allah
atas 'kesempurnaan' tubuhnya. Sementara ia tak menyadari akan kecacatan
hatinya. Ia akan memamerkan kelebihan ototnya, terutama di bagian lengan, atau
di bagian dada.
Kesombongan yang tak
tersadari sering terjadi pada wanita yang berwajah manis atau cantik. Ia akan
mengukur-ukur seberapa manis wajahnya dan menimbang apakah ada temannya yang
semanis dia. Jikalau ada, ia akan iri sejadi-jadinya. Padahal, jikalau ia
mempercantik akhlak dan merias bunga-bunga kesalihan hati, ia akan segera sadar
bahwa kelak keriput adalah serangan untuk masa tua. Padahal seringkali wajah
manis menjadi kesulitan bahkan bencana bagi dirinya. Lalu, mengapa ia merasa
takjub pada pemberian yang tak seberapa, jika dibanding akhlak mulia!?
Kesombongan yang tak
tersadari sering terjadi pada orang kaya. Ia akan memilah teman berdasarkan
materi dan jaringan yang menguntungkan. Ketika dipertemukan manusia berjubah
tertambal, ia pergi. Ketika dipertemukan manusia berjubah keemasan, ia
mendekati. Padahal, serigala pun bisa berjubah domba. Sementara raja yang mulia
adalah yang seragam dengan rakyatnya.
Kesombongan yang tak
tersadari sering terjadi pada orang bertahta. Ia akan memilah relasi
berdasarkan pangkat dan situasi. Jika bertemu yang berpangkat, tangannya minta
berjabat. Jika bertemu yang tak berharkat, dirinya merasa menyilau berkilat.
Kecuali jika butuh bantuan, ia akan meminjam tangan orang lemah. Itu pun demi
kemaslahatan diri dan pencitraan semata. Atau, ia akan mengatasnamakan
orang-orang kecil, tidak sadar bahwa ia pun bernyali kecil.
Kesombongan yang tak
tersadari sering terjadi pada orang yang sedang menimba ilmu. Merasa diri
termuliakan dengan ilmu, mengais cela dan mengumbar aib orang-orang yang belum
dirizkikan ilmu. Merasa sudah berlepas diri dari taqlid, menuding orang-orang
sebagai muqallid. Padahal jikalau ia sadar, ia mirip kucing lemah yang
mengais-ngais makanan di tanah saking kelaparan. Ketika bertemu secarik tulang
kering, ia meraihnya dan merasa itu semua hanyalah untuknya. Dan saat ada
kucing lain mendekati, ia marah. Sungguh merugi orang lemah yang tak sadar
kelemahannya. Terlebih jika memalsukan jubah dan sombong dengan tampilannya.
Kesombongan yang tak
tersadari sering terjadi pada orang yang sehari-hari memang menimba ilmu
syar'i. Merasa pintar berbahasa Al-Qur'an, ia merendahkan kawan yang belum
dirizkikan kemampuan. Merasa mempunyai koleksi buku-buku klasik dan mampu
membacanya, ia menantang kawan yang baru bisa baca terjemahan. Merasa sudah
bisa berkarya, ia tidak menganjurkan dan memotivasi manusia melainkan mencemooh
kawan yang ia anggap bertangan malas.
Begitu banyak...begitu
sering kita tertipu akan apa yang diberi untuk diri kita. Seandainya kita ingat
dan sadar sejenak bahwa yang ada pada diri kita bukanlah murni dari kita
melainkan pemberian, titipan dan amanah dari-Nya, maka mata akan memendung dan
sungai-sungai akan menjadi bait-bait putih di pipi.
Masihkah kita merasa lebih,
dalam kekurangannya diri kita?
Sadar kemarin, lebih baik
dari sadar sekarang.
Sadar sekarang, lebih baik
dari sadar entah kapan.
Sadar entah kapan, itu tak
menjamin adanya kebaikan.
Maka, perbaharuilah
kesadaran, sesungguhnya kesadaran setelah kematian adalah sebesar-besar
sesalan.
No comments:
Post a Comment