oleh Hasan Al-Jaizy
[1] Sa'id Az-Zanjany
Adalah Sa'id bin Ali Az-Zanjany, seorang ulama
yang wafat tahun 471 H. Beliau berkunjung ke berbagai negara demi menyimak
hadits Nabi. Ia merupakan seorang hafizh, ahli ibadah dan wara'. Itu penyifatan
dari Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah.
Sementara dalam Siyar A'laam An-Nubalaa',
Adz-Dzahaby mengatakan, 'Beliau adalah seorang imam al-allaamah (berilmu sangat
tinggi), Al-Hafidz, seorang qudwah (yang patut diikuti), ahli ibadah, Syaikhul
Islam dan seorang SUFI.' [As-Siyar: 18/385]
Pada senja usianya, beliau memilih tuk menetap di
Makkah. Orang-orang mencari keberkahan darinya. Jika beliau keluar menuju
masjid Al-Haram, orang-orang yang tadinya sedang thawaf bergegas menujunya.
Untuk apa? Untuk mencium tangannya. Hingga Ibnul Jauzy mengatakan, "Mereka
lebih sering mencium tangannya daripada menicum Hajar Aswad."
[Al-Muntazham, 16/201]
[2] Abu Ishaq Asy-Syirazy
Adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Asy-Syirazy
Al-Fairuzabady, seorang syaikhnya ulama madzhab Syafi'iyyah di masanya dan
pengajar Madrasah An-Nizhamiyyah di Baghdad. Beliau wafat tahun 476 H. Beliau
memiliki kitab yang menjadi salah satu kitab pamungkas Fiqh Madzhab Syafi'i,
yaitu Al-Muhadzdzab. Kitab ini kemudian di-syarah oleh Al-Imam An-Nawawy, yang
kini kita kenal bernama Al-Majmu'; meskipun beliau terlanjur wafat ketika baru
menyelesaikan sekitar 9 jilid tebal, yang kemudian diteruskan ulama lain.
Beliau pernah sedikit cekcok dengan seorang syaikh
penganut madzhab Hanbali di masanya, yang bernama Abu Ja'far bin Abu Musa. Itu
disebabkan oleh Ibnu Al-Qusyairy yang berpemahaman Asy'ariyyah datang ke
Baghdad lalu berkoar di Madrasah An-Nizhamiyyah. Ia mencaci para pengikut
madzhab Hanbali dan menuduh mereka berpemahaman Tajsiim (menganggap Allah
memiliki jism).
Namun, Syaikh Abu Ishaq Asy-Syirazy di akhirnya
berdamai dengan Abu Ja'far bahkan hingga mencium kepalanya sebagai penghormatan
terhadapnya.
Di Al-Bidayah wa An-Nihayah, Ibnu Katsir
menyebutkan bahwa pada tahun 475 H, setahun sebelum wafatnya, beliau pergi menuju
suatu negeri sebagai delegasi Sultan Maliksyah dan Wazir Nizham Al-Mulk. Setiap
kali ia lewati sebuah negeri, maka para penduduk keluar untuk menyambutnya
berikut anak dan istri mereka. Mereka mengharapkan keberkahan darinya dan
mengusap-usap tunggangannya. Bahkan ada pula yang mengambil tanah bekas injakan
kaki tunggangannya.
--
Cukuplah saja cerita tentang apa yang terjadi pada
hayat kedua orang alim di atas.
Apakah kalian sadar?
--> Kau ziarahi kuburan keramat yang kalian
anggap sebagai tempat ngalap berkah, sementara sudahkah kau ziarahi hati orang
tuamu yang tak kalah keramat? Itu jika orang tua
--> Kau ziarahi kubur para wali, mana ziarahmu
akan kubur orang tuamu, atau kubur orang tuanya orang tuamu?
--> Kau begitu semangat ziarahi kuburan para
wali, dan mana semangatmu kepada kedua orang tua berbakti?
--> Kau begitu memuliakan guru-gurumu di masa
remaja atau dewasa. Tingkah penghormatanmu terhadap mereka melebihi
penghormatanmu terhadap guru yang mengajarimu ketika kau masih balita? Mau
dikemanakan kau punya orang tua?
--> Kau begitu khusyu' berdoa, wiridan dan
istighosahan di kuburan, kekhusyu'an yang tak pernah kau baitkan kala kau
tahajjudan sendirian. Itu pun jika kau tahajjudan.
--> Kau begitu khusyu' di kuburan, melebihi
kekhusyu'anmu di masjid-masjid.
--> Kau begitu membela guru-guru, meskipun kau
tahu mereka seringkali tidak mengamalkan apa yang mereka kaji sendiri, dan
berani sekali kau memfitnah guru-guru selain guru-gurumu, meskipun kau tahu
mereka benar-benar mengamalkan apa yang mereka kaji.
--> Kau berlaku begitu lebay terhadap
orang-orang saleh. Itu pun jika saleh. Bagaimana jika seandainya kelak kau
malah sadar bahwa kau telah berlaku lebay terhadap orang-orang yang 'bertopeng'
soleh?
Kau sedang mempersiapkan jawaban dan bantahan?
Alhamdulillah..
ReplyDeletememang saya akui selama ini kita orang indonesia berlebihan seperti contoh tulisan di atas .