Wednesday, March 27, 2013

Kepentingan Apreasiasi Dari Pendidik Terhadap Yang Dididik


oleh Hasan Al-Jaizy

Apresiasi, menurut thefreedictionary.com adalah "an expression of gratitude". Itu salah satu pengertian apresiasi menurut mereka. Maksudnya adalah 'sebuah ekspresi atau ungkapan atas sikap berterima kasih'. 

Apresiasi bisa diwartakan dengan 'tongue language' atau 'body language'. Misal dari bahasa lisan adalah mengatakan 'Thank you', atau 'That's great' dan selainnya. Misal dari bahasa tubuh adalah memberi isyarat seperti mengacungkan jempol, tersenyum, dan lainnya. Akan kita kupas contoh lain setelah membahas:

"Kepentingan Apreasiasi Dari Pendidik Terhadap Yang Dididik"

Apresiasi adalah sebuah ekspresi yang banyak diabaikan dan diremehkan para pendidik, mulai dari orang tua, guru sekolah, guru les/kursus/bimbel, hingga para atasan, mulai dari presiden, menteri, direktur, bos dan seterusnya. Padahal, pengungkapan apresiasi, terdapat makna positif dan efek yang bagus terhadap manusia. Pendidik yang kaku dan menyeramkan adalah makhluk yang paling sulit mengapresiasi suatu usaha dan karya pihak yang dididik. Begitu juga dengan atasan yang tidak mau tahu kinerja dan proses -yang ia inginkan hanya hasil terwujud-. 

Seorang murid atau bawahan, jika diberi apresiasi atas usahanya oleh guru atau bosnya, ia akan merasa 'dihargai'. Seseorang, jika merasa dihargai, akan tetap berusaha menjaga harga tersebut, sehingga ia di kesempatan berikutnya tidak akan menurunkan harganya. Terkadang, seorang murid benar-benar tahu kapasitas dirinya yang tidak begitu memuaskan. Ketika ia telah berusaha semampunya dan mengirim hasil payahnya ke guru, ia menunggu penilaian. Penilaian tertulis bisa jadi mengecewakannya, namun jika sang guru memberi apresiasi terlebih motivasi, itu sangat berpengaruh pada pembangunan self-confidence juga spirit dalam jiwa murid. 

Karena itu, dalam pelajaran di kelas (terutama pelajaran yang melibatkan murid untuk berpraktek, seperti kelas bahasa), seorang guru harus mudah memberi pujian pada muridnya, meskipun sederhana. Contoh kondisi adalah ketika sang guru meminta seorang murid untuk membuat kalimat yang di dalamnya berkomposisikan satu 'subjek' dan satu 'objek'. Jika murid menjawab dengan baik dan benar, maka apresiasi dibutuhkan. Jika jawabannya kurang benar, maka apresiasi tetap dibutuhkan atas usahanya, plus motivasi agar di lain kesempatan ia lebih menunjukkan yang terbaik dari dirinya.

Berikut beberapa ungkapan atau frase yang menunjukkan sikap apreasiatif:

[ممتاز] : Excellent; outstanding; (atau kadang dimaknai) perfect

[جميل] : Very good, beautiful 

[جيد جداً] : Very good; very well

[جيّد / طيّب] : Good; fine 

[أحسنتَ] : That's good; You've done well

dan lainnya, seperti 'Amazing', 'Interesting', dan masih banyak lagi.

Seorang guru ada baiknya menjauhi frase atau kalimat atau istilah yang merendahkan; TERUTAMA jika sedang mengajari lawan jenis. Karena bisa jadi hal itu berdampak negatif bagi murid, meskipun tidak selalu. Ini dikecualikan jika atmosfir kelas atau konteks kalimat dalam kondisi bercanda, santai dan tidak serius. Merendahkan di sini bukan berarti menghina. Adapun menghina, terlebih berkenaan dengan fisik, maka ini tabu selamanya.

Apresiasi seringkali luput dan sulit ditemukan di madrasah atau sekolah yang bersifat konservatif dan tidak modern di zaman ini. Contoh yang -menurut saya- paling mewakili adalah (sebagian) pondok/pesantren; terutama pondok yang berteguh diri dengan tradisi klasik. 

Dari segi konteks lapangan, hal ini wajar; karena pendidikan pesantren lebih militan dibanding pendidikan sekolah pada umumnya. Apresiasi kurang layak diberi kecuali terhadap santri-santri yang memang benar-benar bagus. Namun dari segi pengembangan dan pembangunan kepercayaan diri, hal ini harus dikoreksi; karena bagaimanapun, anak usia remaja sangat terpacu secara natural jika dipuji dan dihargai. 

Ini juga merupakan 'the greatest homework' untuk mereka yang sedang mendidik calon ulama di pesantren. Para ustadz mem-forcing (kasarnya: memaksa) para santri untuk menghafal ini dan itu. Setelah berhari-hari hingga berbulan para santri berjuang menghafal dan berhasil, mereka (para ustadz) hanya memberikan ekspresi dingin, bukan kehangatan. Baiklah, tidak semuanya begini. Tetapi, hal seperti inilah yang umumnya terjadi. Dan ini adalah salah satu faktor mengapa seringkali anak-anak lulusan pesantren itu terkesan kaku, kurang apresiatif terhadap upaya manusia di luar komunitas dan kurang legowo atau menerima 'perbedaan' yang wajar.

Saya pribadi, sebagai lulusan pesantren dan pernah merasakan nano-nano dalam lingkungan tersebut, berharap ada gebrakan sistem dan manhaj pendidikan modern yang inovatif dan sensasional dari kalangan kaum santri (yaitu mereka yang sudah menjadi ustadz sekarang). 

Saya melihat Al-Andalus Bogor dengan usianya yang masih dalam tahap 'menyusu', adalah pesantren yang berpotensi untuk merealisasikan compiling antara 'the past' (tradisional), 'the present' (kekinian) dan 'the future' (masa depan sebagai ahli syariat dan enterpreneur).

Promosi Ya?


No comments:

Post a Comment