oleh Hasan Al-Jaizy
Berawal seseorang dari ketiadaan, lalu berakhir pula dengan ketiadaan. Berawal penciptaan seseorang dengan kesepian dan kesendirian, lalu berkhir pula dengan keduanya. Berawal terlahir manusia dengan keentahan dan ketidaktahuan, dan apakah engkau ingin mengakhiri dengan jawaban, "Aku tidak tahu!" !?
Yang merawatmu sejak sebelum hijrahmu dari perut ibu menuju perut bumi adalahAllah. Yang menjagamu di dalamnya. Setelah keluarnya pun kau tetap Dia jaga. Sepanjang suratan dan siratan sirah hayatmu, Dia lah yang mengaturnya. Rizki telah tertunaikan tanpa setitikpun terkurangi. Nasib telah ditakdirkan tanpa setitikpun kezaliman.
Apakah kau mengingat-Nya? Bagiamana cerita hatimu kini akan-Nya?
Dia Dia...Dia-lah yang menciptakan kedua orang tuamu, yang menitipkan pada keduanya dirimu. Makhluk pertama yang peduli terhadapmu adalah ibumu. Kemudian, masih ibumu. Lalu, ibumu tak henti peduli. Setelahnya, muncullah nama bapakmu.
Setelah hijrahmu dari rahim kasih, kau pun diajari bagaimana dan apa. Ibumu candai dirimu yang kala itu masih membuta. Andai kau punya fikiran kala itu, kau akan bergumam, 'Duhai ibu, kau mengerti aku tak mengerti candamu. Kau tahu aku tak tahu candamu. Lalu, apa pasal gunanya candamu terhadapku?' Dan kau tak ingat, sungguh takkan bisa kau ingat candaan bahkan tangisan ibumu ketika dia bercerita pada Rabb-nya tentang harapan-harapan tingginya tentang dirimu kelak; ketika kau masih buta kala itu.
Lalu, safarmu di bumi kau jawab dengan pertumbuhan fisik dan batinmu. Masih ingatkah siapa guru pertama yang ajari kamu huruf-huruf dan lafal-lafal? Masih hidupkah ia? Dia adalah ibumu. Ibumu, seorang musafir yang pernah bermalam-malam tak terpejam mata wajah dan mata hatinya demi kamu.
Dan mungkin kau kini sedang menggadai memori dengan saham kelalaian; bahwa dahulu kala ayahmu masih muda, ia pernah berjuang di jalanan demi menghasilkan apa yang layak tersuap demi kamu.
Kini lihatlah guru pertamamu dan pejuangmu itu. Mereka sudah merenta. Mungkin senja telah mulai mewarnai raut wajah mereka. Sedih di pagi hari, masih bisa diganti sinaran mentari. Namun sedih di senja hari, kelam lah yang akan mengganti.
Sebelum kedua musafir itu mati, tunaikanlah kebaktian pada keduanya. Tanamkan selalu pundi bakti. Tuaikan selalu doa pada Allah Yang Maha Kuasa. Demi keduanya. Untuk keduanya. Ingatlah selalu jikalau engkau menghibahkan segunung emas di dunia untuk keduanya, itu belum bisa mengganti jasa mereka.
Jikalau salah satu atau kedua musafir itu telah mati, pintu terbesar telah selamanya terkunci. Namun, pintu doa takkan pernah terkunci. Jikalau begitu, berdoalah tuk keduanya dengan penghadiran yang terdalam dari hati.
Sebagaimana ada pagi, kelak akan ada malam hari. Pertemuan takkan ada tanpa perpisahan di suatu kala.
Selama manusia adalah musafir di dunia ini, maka kelak ia akan meninggal dan pergi...mati.
No comments:
Post a Comment