oleh Hasan Al-Jaizy
Dulu,
kuliah di Madinah, Mekkah, Riyadh, Yaman, bahkan di lipia, adalah sebuah
kejarangan dan tantangan. Banyak pelajar berhasrat, namun takdir untuknya tak
semuanya tersirat. Sehingga lulusan sana adalah orang2 yang tahu agama,
melebihi pengetahuan di atas rata-rata.
Itu
masih hingga sekarang. NAMUN, kadarnya tak sewajar dahulu. Pelajar ilmu syariah
akademik sekarang toh banyak yang 'ga jadi'. Mudah2an bukan termasuk saya dan
kawan-kawan sekalian. Sekarang, semua orang bisa belajar ilmu syariah. Baik
berbayar atau gratis.
Jikalau
Internet benar-benar dimanfaatkan maksimal, bukan tidak mungkin anak pengajian
rutin mingguan 2x, bisa setara pengetahuannya dengan anak-anak akademik formal.
Ini jika kita tidak melihat dari segi kapasitas penguasaan ilmu alat mereka
(Arabic, Ushul Fiqh dst). Tapi, Internet kini benar-benar curahan rahmat
sekaligus...
fitnah
Satu
sisi, saya pribadi senang sekali dengan kemajuan kawan-kawan Jogja yang dengan
kegigihan, keteraturan, keseimbangan dan 'konspirasi' yang rapi bisa menjadikan
generasi yang ngampus ilmu dunia, tapi bisa juga ngaji ilmu akherat. Sehingga,
lahirlah para asaatidzah yang tadinya tak mempunyai latar belakang pondok
pesantren atau pedepokan religius. Ini karena kegigihan dan konspirasi yang
patut diacungi jempol dan dicontoh.
Namun,
di sisi lain, saya menerawang sesuatu ke depannya. Sebelum saya jabarkan, perlu
ditekankan bahwa tiada gading yang tak retak. Satu sisi Internet adalah rahmat,
satu sisi Internet bertaburan kualat. Satu teori dan metode boleh keren di masa
kini, namun di masa depan bisa ditinggalkan.
Begini: