oleh Hasan Al-Jaizy
Saya sangat
cemburu, ketika mendengar khutabaa' di masjid-masjid, atau di majelis-majelis,
menyampaikan kalimat-kalimat ajaib yang menggugah dan terkesan berlebih,
sehingga memacu manusia atau pendengar untuk takjub. Saya cemburu karena
rupanya kalimat itu dinisbatkan kepada Al-Mustafha, Muhammad -shallallahu
alaihi wa sallam-. Saya cemburu karena dengan keajaiban kalimat itu, tak
sedikitpun keterangan sahih atau dhaifnya atau maudhu'nya. Tak sedikitpun
penyebutan siapa perawinya. Apa mungkin disebabkan kitab-kitab kuning yang
mereka pelajari dan dalami memang tak mencantumkan sedikitpun akan itu? Atau
mungkin mereka terlalu longgar, super permisif dan tak peduli sama sekali akan
keabsahan dan kepalsuan penisbatan kalam pada Nabi.
Bukan karena
benci terhadap para khuthabaa'; melainkan ini kecemburuan yang juga diliputi
rasa takut. Lancang mengklaim sesuatu tersambung pada Nabi, sementara tak
terbukti dan tercurigai tidak tersambung. Lancang mengklaim bersanad dan
berketurunan dari keluarga Nabi, sementara tak menjulurkan bukti bahkan
terkesan suspicious bahwa itu hanya sebuah pencitraan semata.
Dan apa hasil dan
natijah dari longgarnya manusia pada hal seperti ini? Bid'ah ( baik itu disebut
hasanah atau dhalalah), takhayyul, khurafat dan ketidakpedulian akan sunnah.
Karena itulah,
sebagian ikhwah, alhamdulillah, terlihat semakin bersemangat menggali kuburan
keramat, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan riwayat dan dirayat. Ilmu
riwayat, seperti musthalah hadits, tarajum, rijal dan semacamnya. Dirayat,
seperti Ushul Fiqh, Lughah Arabiyyah dan lainnya. Mereka belajar bertujuan
untuk apa? Untuk dua hal:
[1] Tashfiyyah
(Menjernihkan)
[2] Tarbiyyah
(Mendidik)
Tasfiyyah, yaitu
menjernihkan, sebuah upaya menjernihkan diri sendiri juga orang lain dari
syirik kecil atau besar, bid'ah, khurafat, takhayyul, sekularisme, liberalisme
dan banyak lagi.
Tarbiyyah, yaitu
mendidik dan membimbing diri sendiri juga orang lain dari erosi moral, krisis
kepercayaan terhadap teks wahyu, nilai-nilai ketidakbertuhanan, dan masih
banyak lagi.
Dengan keduanya,
maka terwujudlah pribadi atau mujtama' (masyarakat) yang rabbaniy. Jika itu
terwujud, maka Khilafah adalah janji Allah yang pasti. Tidak mungkin membangun
Khilafah dahulu, baru menegakkan Tashfiyyah dan Tarbiyyah kemudian. Terlebih
jika yang mendemonstrasikan dan mempresentasikan teori Khilafah adalah
jiwa-jiwa yang tak kenal teori Tashfiyyah dan Tarbiyyah. Bagaikan mencuci
pakaian dengan air comberan.
Karena itu, kami
mengajak dan senantiasa diajak untuk menjadikan ilmu sebagai hal terawal yang
dituntut. Yang kemudian, ilmu bermanfaat akan menuntut amalan. Amalan shaleh
akan menuntut dakwah dengan bijak, hikmah dan diskusi yang ditujukan untuk
mengabarkan kebenaran, bukan untuk mengaburkan atau mengubur kebenaran.
Mulailah dari
asas dan ushul, karena tiada akibat kecuali disebabkan asal usul.
Jangan memulai
dari akibat, karena memimpikan akibat tanpa asas dan ushul, bagai mendaki angkasa
dengan melompat-lompat saja selamanya.http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/499752533399470
No comments:
Post a Comment