oleh Hasan Al-Jaizy
Nyesel Masa
Kecil...20 Tahun...Kecewa Karena Cinta
Nyesel Masa
Kecil
Nyesel Masa
Kecil
Ketika itu
kami berbincang empat mata, dua hidung, dua lidah, dua mulut dan delapan
jempol, mengenai kemampuan kami masing-masing. Saya sedang berbicara dengan
seorang teman sekelas yang Allah beri berkah dan rahmat baginya, yaitu berupa
hafalan 30 juz. Kita berdua berbincang. Ia ingin menjadi seperti saya. Saya
juga ingin menjadi seperti dia. Tak sekali ia menanyakan bagaimana konsisten
menulis. Tak sekali pula saya menanyakan bagaimana konsisten menghafal
Al-Qur'an.
Yang paling
membuat saya menyesal adalah setelah saya bertanya begini, "Karena ente
sudah hafal semuanya, ketika ceramah atau kajian atau apapun itu, apakah
dalil-dalil langsung terfikir?"
Ia jawab,
"Iya, alhamdulillah. Mengalir. Tiba-tiba hadir gitu aja di fikiran. Jadi,
enak sekali."
Jawaban itu
mengena sekali dan mencambuk diri saya, dari ujung hingga ke ujung. Teman saya
ini beruntung sangat; karena sudah mulai menghafal rutin dan banyak semenjak
duduk di bangku sekolah/pondok. Ia berafiliasi dengan Hidayatullah. Hizby
jangan-jangan. Kalau bagi sebagian ikhwah dan beberapa ustadz, baiknya tidak
mendengar lantunan ngaji orang Hizby. Bagusnya Ahlus Sunnah saja. Lebay kok
dipelihara? Kambing donk dipelihara, biar bisa diternaki lagi, atau dimakan,
atau dijual.
Sementara
banyak dari ulama, diwartakan sudah hafal Al-Qur'an sebelum usia baligh. Bahkan,
saking pintar dan kuat hafalannya, Ibnu Taimiyyah [w. 728 H] sudah bisa
berfatwa sebelum berusia 20 tahun.
20 tahun
20 tahun
20 tahun
sudah berlalu beberapa tahun lalu bagi saya. Masa 20 tahun pertama teramat
berharga. Sayang, banyak waktu tercelup dalam kesiaan. Kalau kata Chrisye, atau
mungkin kata Anda sendiri, masa-masa paling indah adalah masa-masa di sekolah.
Kalau bagi sebagian orang, disebut indah karena masa-masa itu memiliki momen
emosional yang tinggi, seperti pacaran (bagi yang melakukannya), persahabatan
dan kejadian-kejadian umum untuk ABG.
Momen
emosional yang terbaik itu justru ada di masa setelah menikah bersama pasangan.
Di sana, rasa kasih, pengorbanan, persatuan antara jiwa berbeda lebih nyata.
Berbeda dengan yang terjadi dan terasa di masa ABG. Memang, momen ABG
seringkali sensasional, namun kadang orang-orang dewasa akan senyum-senyum
sendiri atau malah malu akan masa lalu ketika mengingat kekonyolan momen itu.
Kelipatan 20
adalah 40, bukan? Nah, masa-masa itulah masa-masa matangnya manusia, terutama
pria, namun justru dalam urusan ahok-ahok meremaja. Maksudnya: ingin punya yang
baru. Kalau sudah begitu, emak-emak mulai kecewa dengan Rambo-nya. Kecewa
karena cinta.
Kecewa
Karena Cinta
Kecewa
Karena Cinta
Seperti
beberapa kisah ulama di zaman dahulu, jika mereka kehilangan kitabnya, terlebih
kitab kesayangannya, mereka akan kecewa sejadi-jadinya. Karena bagi mereka,
kitab adalah sesuatu yang sangat mahal. Selain mahal, sulit didapatkan. Wajar
sekali. Karena dahulu tidak ada mesin ketik, apalagi komputer. Tidak ada
printer, scanner dan semacamnya. Kalau mau copas, ya tulis ulang dengan tinta.
Jadi, jika satu buku berhalaman 1000, ditulis ulang 1000 halaman. Dan ada
memang pekerja khusus dalam menulis ulang kitab-kitab.
Kecewa
karena cinta juga bisa disebabkan cemburu, baik itu cemburu melek, cemburu
merem atau cemburu buta. Kecemburuan sangat rentan terjadi pada wanita. Apakah
pria tidak pernah cemburu? Enak saja. Pria-pria baik itu sangat cemburu jika
pasangan mereka berpakaian ala kalkun di luar rumah, sementara di dalam rumah
jadi kuntilanak.
Kecemburuan
pria sangat terwujud ketika tahu bahwa penghasilan pasangannya ternyata lebih
atau jauh lebih besar darinya. Apalagi jika ia sendiri tidak punya penghasilan,
sementara pasangannya berpenghasilan dan suka keluar-keluar. Beuuhh. Makanya,
suami-suami yang berpenghasilan rendah dan dikalahkan istri-istrinya, akan
menjadi Rambo-Rambo sensitif. Peka dengan kekecewaan. Kenapa? Karena pria
sejatinya tidak mau di 'bawah', maunya ada di 'atas'. Eh?
Tanggal
berapa sekarang? 20 Rabi'ul Awwal dan masih ada penyelenggaraan Maulid Nabi,
sebuah bid'ah dholalah hasanah.
No comments:
Post a Comment