oleh Hasan Al-Jaizy
Berzaman sudah tiada tangisku. Lalu fikirku kapan lagi bisa ku
menangis.
Sempat berfikir kunjungi tempat-tempat yang pernah aku menangis di
atasnya. Namun ku ingat air mataku telah mengering. Tak tertemu lagi. Takkan
mampu dipungut.
Sempat berfikir meminjam mata-mata sayu milik mereka yang kukenal
baik. Namun kuingat betapa rendahnya aku tuk menangis pun apa perlu meminjam
mata.
Pernah berfikir mengumpulkan air-air mata penceramah dan khutabaa' di
singgasana mereka. Namun mengapa kurasa mereka hanya penjual air mata yang
dibeli manusia demi kehormatan dan pujian? Sementara aku tak membutuhkan air
mata dagangan.
Lalu aku pun menjepit diriku sendiri di pintu kesengsaraan. Menahan
perih lapar dan raungan haus. Mengoyak baju dan kulit. Yang ku dapatkan hanya
ringisan dan sakit. Namun mataku tak hendak menyungai airnya.
Kusaksikan dan kubaca kisah-kisah cinta mengharu. Namun di sana
kutemukan kepalsuan dan kedustaan dibuat-buat.
Kutemukan mushaf usang berkulit jaring laba-laba. Kubersihkan dan
kutiup. Kubuka isinya. Al-Fatihah. Dan kutemukan hulu dan hilir sungai air mata
di kalimat "Ihinash shiraathal mustaqiim"
No comments:
Post a Comment