Friday, August 3, 2012

Good Girls Go To Heaven...Bad Girls Go Everywhere

oleh Hasan Al-Jaizy

"Good girls go to heaven...bad girls go everywhere"

2 hari lalu saya menemukan quote di atas; yang ternyata selidik punya selidik, itu adalah petikan lirik dari sebuah lagi Barat. Tapi, kita tidak mengupas lagu, atau kebaratannya. Cuma, lihatlah...sebenarnya Barat pun mengerti good girls dan bad girls. 

Dan penyanyi selacur Rihanna sendiri juga memiliki lagu berjudul Good Girl Gone Bad. Jangan berburuk sangka dulu, saya tidak tahu lagunya seperti apa, cuma sering baca judul saja entah di mana.


"Good girls go to heaven...bad girls go everywhere"

Kalimat di atas berbau sarcasm, yaitu sindiran pada gadis-gadis masa kini yang suka keluyuran ke mana-mana. Kira kanan oke...tak peduli lika-liku laki-laki; padahal tahu bahwa mata lelaki juga tak kalah gentayangannya.

Tapi, begitulah karakter 'bad-girls'; mereka ingin bebas kemana-mana tanpa ada aturan yang menghalangi keinginan. Kadang alasan mereka dibalut macam-macam, demi ilmu, organisasi, karir atau apapun...mereka sedia kemana-mana tanpa mahram. Anggapannya, gadis zaman sekarang harus mandiri dan tidak hanya menjadi simpanan babeh di rumah selagi babeh nyari jodo buatnya.

Tapi...


"Good girls go to heaven...bad girls go everywhere"

Gadis-gadis baik hanya mau pergi ke zona surgawi dan suci. Mereka menjaga aurat, rasa malu dan kehormatan diri mereka, juga keluarga. 

Jangan samakan dengan gadis-gadis liberal yang ngakak di mana-mana, hobi nongkrong meski di resto, bersama teman-teman wanita-pria-waria, berselancar ke luar kota, ..... meskipun berjilbab. Bad girls go everywhere...no matter what size their veils are.

Sayangnya, yang kena dosa juga bapak-ibunya; mungkin karena sedari kecil terdidik untuk 'tak-digendong-ke-mana-mana'; yang akhirnya ketika besar ke mana-mana ga digandeng mahramnya. Jikalau digandeng, yang menggandeng adalah pacarnya [dan ia mungkin tahu pacarnya memiliki tanduk]. 

Yang good girls, jangan jumawa
Yang bad girls, jangan gede rasa


http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/426212897420101

Thursday, August 2, 2012

Beberapa Point

oleh Hasan AL-Jaizy

Beberapa point selagi kertas putih masih di depan dada:

[1] Yang instan itu seringkali enak dan nyaman; ketika menikmatinya. Setelah selesai dan habis, nikmat itu hilang dan bekasnya seperti tak terada. 

[2] Beberapa ikhwah berkata: "Datanglah ke majelis ta'lim demi ilmu; karena engkau belajar langsung dari ulama ilmu dan adabnya." Ikhwah lainnya berkata: "Jangan menyandarkan perkara ilmiah pada teknologi; karena jika itu hanya sandaranmu, kamu telah menyelisihi adat salaf dalam mencari ilmu."

[3] Intinya: Jangan cuma mau enak dan pragmatis dalam mendaki gunung ilmu. Indeed, kita mungkin bisa bermain dengan rasio dalam hal ini. Silahkan gambarkan ini di fikiran:

[4] Seorang thalib, saking takjubnya dengan pesat teknologi dan adanya Google atau Maktabah Syamilah, kemudian dirinya menjadi terfitnah sendiri karena hanya menggunakan dua itu saja, bukan untuk kemaslahatan kadar ilmunya, melainkan untuk menyodorkan fatwa pada manusia. Kau akan melihat di sini dia melebihi siapapun ulama salaf dan khalaf dalam membeberkan ilmu. Segala hal ia tahu seakan-akan. Semua bisa dijawab. Tiada hari kecuali ia membocorkan ilmu kepada manusia; sehingga manusia mengambil manfaat darinya.


[5] Satu sisi tentu saja ada manfaatnya; namun jikalau kita berfikir lebih baik lagi: 'Bahwa ilmu itu dipelajari satu persatu serpihan dan masalah. Tidak satu paket dalam sehari dilahap; sekedar DIBACA cepat lalu disebarkan begitu saja.' Mungkin ini 'penyakit' yang menjangkit beberapa ikhwah. Dengan adanya banyak blog dan artikel, mudah sekali mengumpulkan maklumat dan membaca cepat.

[6] Sehingga ilmunya tidak terpatri di dada. Sedari awal TERGESA membaca dan nafasnya berburu ingin segera menyampaikan pada manusia. 

Seperti lilin, ia mencerahkan manusia namun dirinya habis dalam keletihan dan alpa. Sementara belum lagi ketika lilin bermain api dan dirinya terkikis habis dengan api yang ia buat sendiri. 

Atau seperti sendal, ia menegakkan jalan manusia namun dirinya terinjak selalu. Sementara belum lagi ketika duri atau paku di jalan menusuknya, namun pemakai sendal aman dari tusukan. Ibarat si fulan yang menjawab semua pertanyaan, lalu membentengi kelompoknya dari pemuja Bid'ah dengan modal copy-paste habis-habisan. Ahlus Sunnah aman dengan jasanya, sementara bisa jadi ia justru terhinakan dengan itu semua.


[7] Dan efek dari pragmatisme yang digelutnya dalam menuntut ilmu, si fulan akan merasa jumawa, gengsi hingga sombong...merasa seakan sudah melaut dalam samudera ilmu. Padahal modal ilmu yang ia raup selama ini hanya exist ketika listrik ada. Ketika listrik padam atau alat rusak, ia bagaikan manusia purbakal yang sebelumnya bangga akan pakaian orang, namun kembali telanjang ketika pemilik pakaian mengambil miliknya.

[8] Orang yang paling sensitif dengan sindiran baginya 'Syaikh Google' kemungkinan besar adalah orang yang memang sangat meng-Google-kan segala ilmu. Dia tahu itu kurang baik bagi seorang thalib, karena itulah ia tersinggung.


http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/426123144095743


Wednesday, August 1, 2012

Beberapa Point

oleh Hasan Al-Jaizy

Beberapa point sebagai refleksi Fajar Kadzib:

[1] Beberapa dari kita, setelah Allah beri kenikmatan yang besar dan sangat menggembirakan, seperti berhasil diterima di kantor yang 'menjanjikan', atau lulus kuliah, atau terdaftar kuliah di luar negeri, mereka memang langsung berlonjak kegirangan dan menzahirkan rasa syukur pada-Nya.

[2] Namun, rasa syukur itu hanya sekian menit. Rasa itu sangat sedikit. Dan mereka tidak menyadari sedikitnya syukur. Hal yang -menurut mereka- terpenting sekarang dan 'wajib' adalah TRAKTIR saudara atau teman.

[3] Yang kemudian, sungguh tidak sadarnya mereka, bahwa mereka lebih memberikan hak bahagia dan ridha manusia dibanding ridha Rabb Yang Maha Memberi. Seakan dengan mengundang semua manusia ke situs traktiran atau bagi-bagi harta sudah mewakili syukur.

[4] Ingat, hati itu lebih penting. Dasar rasa syukur ada di hati, kemudian di lisan dan anggota tubuh. Tidak termasuk rasa syukur ketika membagi segunung ridha pada/dari manusia, sementara hanya sekian menit saja mengingat Allah.


[5] Dan jikalau manusia ingin mem-balance antara rasa gembira berlebihan dan pasif terhadap pergaulan, semestinya ia berfikir bahwa 'pekerjaan', 'kelulusan', hingga 'bangku kuliah di manapun itu', semuanya adalah amanat. Berat dan tanggung jawab. Sungguh aneh manusia ketika amanat dibebankan padanya, ia justru bangga begitu saja seakan merasa sudah pasti bisa memikulnya. Bahkan gunung pun enggan memikul...meski megahnya tak terkira manusia.

[6] Jangan jadikan 'traktiran' itu adalah ukuran rasa syukur, wahai yang diberi anugerah. Ridha-Nya adalah ridha-Nya...sementara ridha mereka belum tentu ridha mereka. Dan banyak manusia menjadi teman ketika bahagiamu, namun di masa terlunta mu, teman-teman seakan bukan manusia.


http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/425984040776320

Beberapa Point

oleh Hasan Al-Jaizy

Beberapa point yang berkenaan dengan 'rasa':

[1] Tidak mesti pendengki mu adalah orang yang dasarnya mengetahui semua aibmu dan celamu.

[2] Justru sebaliknya, pendengki mu biasanya adalah orang yang awalnya hingga akhirnya mengagumi...mengagumimu...mengagumi kelebihan atau sesuatu yang tidak ia miliki. Namun karena ia tidak mampu menjadi sepertimu, atau karena kamu berhasil menyainginya, ia seakan berbalik menjadi pencela mu.

[3] Jika orang sudah memiliki lapak sayur jengkol dengan damai, maka jangan kau datang membuat lapak sayur jengkol pula di sampingnya; karena jengkol yang kau taruh di dalam sayur itu, menyembul ke sana ke mari seakan meledek orang tersebut. Be fair dan jaga perasaan penjual.

[4] Di antara pedagang, ada yang rela berletih seharian mengayuh sepeda atau bahkan menarik gerobak. Itu dilakukan tentu demi mengais rizki; sehingga ketika rizki didapat, hidup pun masih tegak dan istri masih kelihatan hidup. Mungkin pengusaha kaya yang sudah kaya karena warisan orang tua tak akan berfikir, 'Bagaimana jika aku seperti mereka?' Atau orang-orang berdasi yang mungkin akan pingsan jika berjalan kaki 100 meter, hampir mustahil memandang mereka.

[5] Tapi ketika kau mengayuh sepeda menuju kantormu -misalnya-, lalu kau berjuang di sebuah tanjakan, atau ketika klakson-klakson mobil mencakar-cakar hatimu karena sepedamu tak kunjung melaju cepat di tanjakan....benar-benar....benar-benar ketika itu atau setelahnya...kau akan teringat 'mereka'.

[6] Maka, ingatlah, bahwa tidak ada ketinggian jika tidak ada kerendahan. Dan, ketika kamu berada di ketinggian, kamu pasti kesulitan melihat langsung apa yang terjadi di kerendahan dan merasakan dengan tepat; KECUALI jika kamu be-down-to-earth....turunlah ke bumi...sederhanakan kancing bajumu...

Beberapa Point

oleh Hasan Al-Jaizy

Beberapa point untuk siapapun:

[1] Pilihan sebagai 'Close Friend' atau 'Teman Dekat' di Facebook ini membuat Anda akan mendapat notifikasi setiap teman dekat Anda itu meng-update sesuatu. Dan dia tidak tahu akan hal ini. Sementara Anda selalu tahu semua update-an statusnya.

[2] Salah satu keberkahan tanah Indonesia adalah tumbuhan bisa hadir di atas pasir, bebatuan bahkan tembok sekalipun. Atau Anda cukup mengumpulkan segumpal debu di kamar, tunggu beberapa hari ada kemungkinan 'penampakan' terjadi.

[3] Dulu, saat kami nyantren kelas 3 SMA [Aliyah/I'dad Mu'alimiin], kamar kami di lantai 3 asrama. Ada debu terkumpul di kolong ranjang teman saya sebelah pojok dan tidak dihiraukan siapapun karena tidak mudah dijangkau dan terlihat. Dan suatu hari, kami kaget karena tiba-tiba ada 'pohon' tumbuh di kumpulan debu tersebut. Kata 'pohon' tadi sekedar hiperbotol ya, gan. Maksudnya ya: tumbuhan [bukan rumput kecil].

[4] Sekarang apa hubungannya teman dekat dengan tumbuhan? Ya, ada, gan. Intinya adalah 'ketika kamu kesepian tak berteman, jadikan tumbuhan sebagai teman atau cerminan'. Kok bisa?


 KOK BISA???

--> Bisa, karena dengan melihat tumbuhan bermacam; terlebih dari genteng memandangnya, kamu memandang kemegahan, kekuasaan dan keragaman kreasi Rabb yang tak tertandingi.

--> Bisa, karena dengan melihat satu daun saja, kamu bisa mengingat hidup dan matimu. Coba perhatikan garis tengah daun: "Awal garis berasal dari garis batang. Garis batang itu bagaikan tali rahim ibumu, dan awal garis itu adalah masa bayi-mu. Lalu garis berakhir di keruncingan seperti tamatnya riwayatmu di dunia."

--> Bisa, karena dengan mengamati tumbuhan, kamu sadar betapa kecilnya kamu. Dan betapa sombongnya kamu terkadang. Ingatlah ketika kamu menginjak-injak rumput; karena kecil dan remehnya. Nah, sekarang lihatlah pepohonan kokoh dan besar; bayangkan jika mereka menginjak-injakmu karena kecil dan kerdilnya kamu.

--> Bisa, karena tumbuhan bisa kau temukan hampir di mana-mana. Mereka bagaikan buku yang memberi ilham pada orang-orang berakal dan berfikir. Pertanyaannya: Apakah kamu termasuk orang-orang yang 'berfikir'?


Pertanyaan lainnya:

Teman2 di FB misalnya, bagaikan tumbuhan/pepohonan. 

Satu teman, lihat apakah ia rimbun atau kering. Jika ia rimbun, apakah kamu mengambil faedah dan ilham melaluinya? Jika ia kerontang, apakah kamu pernah merawat atau mengairinya?


http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/425741187467272