Thursday, November 3, 2011

Sebuah Tradisi Ulama

oleh Hasan Al-Jaizy


Merupakan adat baik para ulama rabbany salaf ataupun khalaf, dalam mendefinisikan suatu istilah syariat, mereka mengawalinya dengan makna secara BAHASA, yang dengannya kemudian diraciklah makna secara SYARIAT dengan berbagai timbangan.

Yang bisa dipetik kenyataan tersebut:

Untuk menjadi seorang alim/ustadz dalam bidang syariat Islam, kita harus memahami dengan baik BAHASA ARAB, yang menjadi alat atau kunci memahami syariat rabbany. 

Kemudian:

Untuk menjadi seorang dai/ustadz pada syariat Islam, kita juga harus memahami dengan baik BAHASA PRIBUMI, yang menjadi alat atau kunci memahamkan orang lain akan syariat rabbany.

Plus:

Seorang dai yang memiliki ilmu dan kaidah sederhana, ia bisa mengembangkan dan menularkan pada orang lain dengan bahasa yang diterima sekitar.
Sebaliknya, seorang dai yang bergelimang ilmu dan kaidah melaut, jika tidak memperhatikan tata bahasa, maka jangan tanyakan kenapa banyak bibir mencibir di sekitar.

Contoh:

Para ulama salaf rahimahumullah, mereka jago dalam menuangkan segala yang terfikir dengan pena. Bahkan pena mereka lebih banyak berbicara dibanding lisan. Lihatlah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan kecapan dari lautan tinta yang hingga kini tak habis dibaca manusia. Juga Al-Imam Ibnu Al-Qayyim rahimahullah yang dengan keindahan bahasa mampu menyihir pembaca hingga tak kunjung mengakhiri bacaan.

Para ulama khalaf rahimahumullah pun demikian. Dengarlah ceramah Syaikh Al-Allaamah Muhammad ibn Shalih Al-Utsaimiin dengan pemilihan dan pemilahan bahasan yang kuat. Hingga kini puluhan kitab hasil penulisan ceramahnya dibaca manusia.

Juga dai-dai Indonesia, seperti Aa Gym hafidzahullah misalnya, dengan bahasa dan intonasi sederhana, bisakah kita kelak mengunggulinya dalam penyampaian? Atau terus saja kita menegatifkan segala yang sebenarnya bisa diambil hikmah?


No comments:

Post a Comment