oleh Hasan Al-Jaizy
Beberapa teman kisahkan pertemuan jiwanya dengan Salafiyyah....maka boleh pula kita berbicara serupa.
Sejujurnya, pertama kali saya mengenal Salafiyyah dari pondok pesantren; yang dahulu sebelumnya dipaksa orang tua masuk ke sana. Dan kita -alhamdulillah- mempelajari kitab2 yang dipelajari kaum muslimin di pondok. Namun, meskipun kitab2 ulama Salafy kami pelajari, pondok tak mengajarkan kami untuk melabeli diri kami 'Salafy' di tengah umat begitu saja.
Ketika kami turun dakwah di tengah manusia, kami tidak dibekali nasihat: 'Katakan bahwa kamu adalah Salafy'; tetapi kami dibekali nasihat tak terucap: 'Tunjukkan akhlak muslimmu; terlebih kamu anak pondok!'
Dan setelah lulusnya kami, memang masih tersisa jiwa 'ekstrim' alias agak keras; karena masih begitu belia. Lalu kami belajar dari beberapa kekecewaan masyarakat akan cara dan metode kami. Semua itu adalah pembelajaran menuju kematangan. Lucunya, hingga kini masih saja kami belum matang.
So:
--> Jika memang ingin berdakwah ala manhaj salafy, tawarkan manhaj salafy nya dengan cara 'salafy', bukan dengan mempromosikan label diri bahwa 'mau tau siapa salafy? saya!'
--> Kamu katakan: 'Jangan omong doang, tunjukkan prakteknya'. Yang artinya: Buktikan dulu dengan praktek nyata, bukan sekedar berbicara. Lalu ada problem lagi: 'Kita mempraktekkannya demi diakui bahwa kita adalah seorang xxx?' Nah, serba salah, kan? Maka: do something good with no claiming I'm good is better.
--> Karena being a salafy itu berat; konsekuensi melabeli diri 'salafy' itu tidak semudah tutur lisan.
Kamu tahu ndak?
Ada seekor semut kecil melihat sepotong roti manis. Ia pun berhasrat membawanya dengan mengangkat menuju sarangnya. Tiada ia mengira roti tersebut terlalu berat untuk dirinya. Ia tidak punya akal untuk mengupasnya kecil-kecil satu persatu agar tidak keberatan. Namun karena nafsu dan SEMANGAT, ia langsung mengangkat. Kemudian? Ia pun tertiban dengan bawaan. Artinya: nafsu dan semangat tak diamini kualitas, kelak akan menghancurkan pemiliknya.
Perkataan Syaikhul Islam, atau Syaikh Al-Albany tentu benar: menisbatkan diri pada Salafiyyah itu boleh; karena Salafiyyah itu terpuji dan manis, seperti potongan roti manis bagi semut. Namun ketika si fulan memproklamirkan diri padanya sementara realtas kesehariannya tak tercermin benar, jangan salahkan siapa-siapa jika semut tertiban bawaannya; karena semut tak berfikir sebelumnya.
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/417667111608013
Beberapa teman kisahkan pertemuan jiwanya dengan Salafiyyah....maka boleh pula kita berbicara serupa.
Sejujurnya, pertama kali saya mengenal Salafiyyah dari pondok pesantren; yang dahulu sebelumnya dipaksa orang tua masuk ke sana. Dan kita -alhamdulillah- mempelajari kitab2 yang dipelajari kaum muslimin di pondok. Namun, meskipun kitab2 ulama Salafy kami pelajari, pondok tak mengajarkan kami untuk melabeli diri kami 'Salafy' di tengah umat begitu saja.
Ketika kami turun dakwah di tengah manusia, kami tidak dibekali nasihat: 'Katakan bahwa kamu adalah Salafy'; tetapi kami dibekali nasihat tak terucap: 'Tunjukkan akhlak muslimmu; terlebih kamu anak pondok!'
Dan setelah lulusnya kami, memang masih tersisa jiwa 'ekstrim' alias agak keras; karena masih begitu belia. Lalu kami belajar dari beberapa kekecewaan masyarakat akan cara dan metode kami. Semua itu adalah pembelajaran menuju kematangan. Lucunya, hingga kini masih saja kami belum matang.
So:
--> Jika memang ingin berdakwah ala manhaj salafy, tawarkan manhaj salafy nya dengan cara 'salafy', bukan dengan mempromosikan label diri bahwa 'mau tau siapa salafy? saya!'
--> Kamu katakan: 'Jangan omong doang, tunjukkan prakteknya'. Yang artinya: Buktikan dulu dengan praktek nyata, bukan sekedar berbicara. Lalu ada problem lagi: 'Kita mempraktekkannya demi diakui bahwa kita adalah seorang xxx?' Nah, serba salah, kan? Maka: do something good with no claiming I'm good is better.
--> Karena being a salafy itu berat; konsekuensi melabeli diri 'salafy' itu tidak semudah tutur lisan.
Kamu tahu ndak?
Ada seekor semut kecil melihat sepotong roti manis. Ia pun berhasrat membawanya dengan mengangkat menuju sarangnya. Tiada ia mengira roti tersebut terlalu berat untuk dirinya. Ia tidak punya akal untuk mengupasnya kecil-kecil satu persatu agar tidak keberatan. Namun karena nafsu dan SEMANGAT, ia langsung mengangkat. Kemudian? Ia pun tertiban dengan bawaan. Artinya: nafsu dan semangat tak diamini kualitas, kelak akan menghancurkan pemiliknya.
Perkataan Syaikhul Islam, atau Syaikh Al-Albany tentu benar: menisbatkan diri pada Salafiyyah itu boleh; karena Salafiyyah itu terpuji dan manis, seperti potongan roti manis bagi semut. Namun ketika si fulan memproklamirkan diri padanya sementara realtas kesehariannya tak tercermin benar, jangan salahkan siapa-siapa jika semut tertiban bawaannya; karena semut tak berfikir sebelumnya.
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/417667111608013
No comments:
Post a Comment