oleh Hasan Al-Jaizy
Sampah dan Bokong-bokong Gatel
[1] Siapa penyampah terjasa hari-hari ini? Para calon pemerintah kota saya. Mereka menyumbang sampah demi bisa duduk di kursi. Jadi, jika tiap mereka meng-klaim bahwa Jakarta akan bersih dari sampah di kemudian hari, kita boleh berhujjah: "Lho, sebelum Anda dilantik saja Anda sudah mengirim sampah di tembok2 lingkungan kami; angin apa yang membuat Anda bertekad membersihkan Jakarta?"
[2] Pernah saya keluhkan pada rekan kerja masalah narcissisme para calon pemimpin yang sudah melampaui batas kecalon-pemimpinan; karena wajah mereka 'ada di mana-mana'. Seakan mereka menyaksikan Anda selalu dan selalu Anda harus ingat mereka. Rekan saya bilang, 'Yah, emang sudah waktunya, bos. Namanya juga menjelang pemilihan.'
[3] Good job, bapak-bapak. Memasang muka di mana-mana demi memasang bokong agar bisa duduk di kursi. Dan apakah kacung-kacung mereka yang menempelkan poster siap membuang semua itu setelah pemilihan hingga bersih!? Atau, tergantung kondisi hati? Atau, tergantung hasil pemilihan!? Dan jelas sekali ego plus syahwat kekursiannya...yang terpenting dapat kursi, masalah poster tempel dulu, bersihkan entah kapan...
[4] Jadi, sepertinya untuk mengobati gatelnya, harus melakukan pencitraan dengan memasang poster di mana-mana ya? Apakah Indonesia seperti itu selamanya? Dimulai dari para calon-calon sebelum pemilihan dulu, lalu diikuti oleh para habib-habib jalanan, juga majelis dzikir para preman dan pengangguran, dan kini calon pemerintah kota saya.......as always
[5] Sampah dan bokong-bokong gatel. Nyampah dulu, demi obati bokong yang gatel.
[6] Setelah membaca point 5, mungkin di antara Anda akan ada yang memulai mencari artikel di Google perihal dilarangnya menjelek-jelekkan pemimpin di muka umum. Tapi, Anda harus ingat bahwa mereka 'belum' menjadi pemimpin.
[7] Entah apa lagi yang harus dibanggakan dari bokong yang kegatelan.
Sampah dan Bokong-bokong Gatel
[1] Siapa penyampah terjasa hari-hari ini? Para calon pemerintah kota saya. Mereka menyumbang sampah demi bisa duduk di kursi. Jadi, jika tiap mereka meng-klaim bahwa Jakarta akan bersih dari sampah di kemudian hari, kita boleh berhujjah: "Lho, sebelum Anda dilantik saja Anda sudah mengirim sampah di tembok2 lingkungan kami; angin apa yang membuat Anda bertekad membersihkan Jakarta?"
[2] Pernah saya keluhkan pada rekan kerja masalah narcissisme para calon pemimpin yang sudah melampaui batas kecalon-pemimpinan; karena wajah mereka 'ada di mana-mana'. Seakan mereka menyaksikan Anda selalu dan selalu Anda harus ingat mereka. Rekan saya bilang, 'Yah, emang sudah waktunya, bos. Namanya juga menjelang pemilihan.'
[3] Good job, bapak-bapak. Memasang muka di mana-mana demi memasang bokong agar bisa duduk di kursi. Dan apakah kacung-kacung mereka yang menempelkan poster siap membuang semua itu setelah pemilihan hingga bersih!? Atau, tergantung kondisi hati? Atau, tergantung hasil pemilihan!? Dan jelas sekali ego plus syahwat kekursiannya...yang terpenting dapat kursi, masalah poster tempel dulu, bersihkan entah kapan...
[4] Jadi, sepertinya untuk mengobati gatelnya, harus melakukan pencitraan dengan memasang poster di mana-mana ya? Apakah Indonesia seperti itu selamanya? Dimulai dari para calon-calon sebelum pemilihan dulu, lalu diikuti oleh para habib-habib jalanan, juga majelis dzikir para preman dan pengangguran, dan kini calon pemerintah kota saya.......as always
[5] Sampah dan bokong-bokong gatel. Nyampah dulu, demi obati bokong yang gatel.
[6] Setelah membaca point 5, mungkin di antara Anda akan ada yang memulai mencari artikel di Google perihal dilarangnya menjelek-jelekkan pemimpin di muka umum. Tapi, Anda harus ingat bahwa mereka 'belum' menjadi pemimpin.
[7] Entah apa lagi yang harus dibanggakan dari bokong yang kegatelan.
No comments:
Post a Comment