oleh Hasan Al-Jaizy
[1]
Tahun 2003 atau 2004, saya bersama teman sekelas [Ust Hanas Nahiful Jismi] setiap Kamis siang-sore mengajar ngaji anak-anak desa kaki gunung Merbabu yang jaraknya sekitar 8 kilo menanjak dari Pesantren. Selesai mengajar, kami terkadang pulang sebelum maghrib.
Suatu ketika, kami berjalan di sebuah desa yang memiliki jalanan mobil dan angkutan umum desa juga ada. Mendengar suara adzan Maghrib dari sebuah mushalla, kami pun sempatkan singgah tuk tunaikan kewajiban. Setelah berwudhu, kami masuk dan tak temukan siapapun kecuali 1 orang, mbah-mbah sudah tua sekali. Ia selawatan sendiri dan tak ada selain kita bertiga. Padahal itu bukan di tengah hutan.
Kami pun shalat berjamaah. Beliau menjadi imam. Selepas shalat dan dzikir, saya bujuk Ust Hanas tuk menanyakan sebab sepinya mushalla karena saya tidak mampu berbahasa Jawa halus...dan kasar jua.
Ternyata beliau sehari-hari memang ADZAN SENDIRI, IQAMAT SENDIRI, SHALAT SENDIRI di mushalla tersebut. Hal itu rutin dilakukannya tiap hari. Dan mushalla tersebut akan seperti gereja di hari selain Ahad, sepi tak bermanusia jikalau beliau tak menghidupkannya.
Miris hati mengingat ini...
[2]
Ada pula di kampung Mbah saya yang Jawa, seorang kakek2 tua sekali yang dipanggil 'Mbah Idris'. Suaranya sangat buruk, mengundang tawa, bongkok, jalannya tidak lancar memakai tongkat dan selalu memakai itu-itu saja. Namun 5 waktu selalu hadir di masjid sebelum adzan, meski ia harus berjalan jauh.
Semoga Allah memberikan maghfirah dan derajat di surga kelak baginya.
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/357064124334979
[1]
Tahun 2003 atau 2004, saya bersama teman sekelas [Ust Hanas Nahiful Jismi] setiap Kamis siang-sore mengajar ngaji anak-anak desa kaki gunung Merbabu yang jaraknya sekitar 8 kilo menanjak dari Pesantren. Selesai mengajar, kami terkadang pulang sebelum maghrib.
Suatu ketika, kami berjalan di sebuah desa yang memiliki jalanan mobil dan angkutan umum desa juga ada. Mendengar suara adzan Maghrib dari sebuah mushalla, kami pun sempatkan singgah tuk tunaikan kewajiban. Setelah berwudhu, kami masuk dan tak temukan siapapun kecuali 1 orang, mbah-mbah sudah tua sekali. Ia selawatan sendiri dan tak ada selain kita bertiga. Padahal itu bukan di tengah hutan.
Kami pun shalat berjamaah. Beliau menjadi imam. Selepas shalat dan dzikir, saya bujuk Ust Hanas tuk menanyakan sebab sepinya mushalla karena saya tidak mampu berbahasa Jawa halus...dan kasar jua.
Ternyata beliau sehari-hari memang ADZAN SENDIRI, IQAMAT SENDIRI, SHALAT SENDIRI di mushalla tersebut. Hal itu rutin dilakukannya tiap hari. Dan mushalla tersebut akan seperti gereja di hari selain Ahad, sepi tak bermanusia jikalau beliau tak menghidupkannya.
Miris hati mengingat ini...
[2]
Ada pula di kampung Mbah saya yang Jawa, seorang kakek2 tua sekali yang dipanggil 'Mbah Idris'. Suaranya sangat buruk, mengundang tawa, bongkok, jalannya tidak lancar memakai tongkat dan selalu memakai itu-itu saja. Namun 5 waktu selalu hadir di masjid sebelum adzan, meski ia harus berjalan jauh.
Semoga Allah memberikan maghfirah dan derajat di surga kelak baginya.
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/357064124334979
No comments:
Post a Comment