oleh Hasan Al-Jaizy
Perbincangan antara ku dan nya [teman lama]:
Ku : "Kalau [belajar] ke Madinah, pulang2 bakal jadi ustadz [alim] benar2 berilmu ya?"
Nya : "Ah, ga juga."
Ku : "Berarti, tergantung orangnya juga donk?"
Nya : "Iya. Wong si XXX [kakak kelas kami dulu di pondok] lulus Madinah, sekarang malah jadi penjaga toko."
Ku : "Duh, sayang banget tuh ya. Padahal di sana lebih enak buat nyari ilmu syar'i"
Beberapa point dari kami:
1. Kampus-kampus adalah kampus; pencipta kader-kader, namun tidak memastikan semua kader benar-benar tercipta.
2. Kampus-kampus adalah wasilah-perantara-jembatan.
3. Semua itu tergantung manusianya mau bagaimana. Jangan sangka semua thalib di Jamiah Madinah, Mekkah, Riyadh, atau LIPIA lulus dengan kapasitas ilmu yang memadai. Tidak semuanya.
4. Ilmu Syar'i tidak hanya di kampus-kampus yang telah disebutkan di atas. Ilmu Syar'i bahkan ada di buku catatan Anda, kitab-kitab di rumah Anda dan juga di HP atau PC.
5. Minder karena dari selain kampus di atas bukanlah kewajaran. Dan thalib yang belajar di kampus2 yang tersebut di atas, namun tidak ada bekas sama sekali [terlebih saat liburan], maka wajib baginya minder dan malu.
6. Untuk zaman sekarang, nama kampus TIDAK BISA menjadi neraca kualitas seseorang begitu saja. Namun dari segi global, nama kampus menunjukkan identitas dan kualitas.
7. Mahasiswa yang memang mahasiswa pembelajar, terlihat di masa liburan. Jangan seperti mahasiswa yang ngampus sekedar formalitas [terlebih yang di kampus ternama]; semacam ini giat kegiatan, molor belajar reguler, kerja keras sebelum ujian, liburan malah menjadi kepiting sungai alias yuyu [jalan selalu miring atau mundur tak maju-maju].
Kata bapak saya sekitar tahun 2004-05 atau bahkan lebih jauh lagi, yang intinya:
-> Mahasiswa dulu = buku dan referensi harus diupayakan didapat, lalu dipelajari benar2
->Mahasiswa kini = buku dan referensi asal dapat, belum tentu dipelajari benar2, cuma dicomot yang kira2 perlu
Dari saya:
-> Efek dulu = sarjana masih hafal nama-nama buku dan pengarangnya, bahkan isi buku secara global
-> Efek kini = sarjana kurang atau bahkan tidak hafal nama-nama buku dan pengarangnya. Jika ditanya isi buku secara global, penjabarannya meleset.
Bapak saya:
-> Mahasiswa dulu = Duit disimpen dan dikorbankan buat biaya ongkos dan juga BUKU
-> Mahasiswa kini = Duit dihamburkan dan dikorbankan buat melengkapi fashion, style dan PULSA
Dari saya:
-> Efek dulu = mahasiswa memperhatikan buku-buku original dan menghargainya
-> Efek kini = mahasiswa memperhatikan bonus pulsa, sekarat tanpa HP sehari, tidak lugu namun banyak yang dungu [kosong berisi], plus: CUKUP BUKU BAJAKAN, FOTOCOPYAN atau....sudah ada Internet gitu loch
=> Mahasiswa dulu ngetik makalah/skripsi dengan mesin tik yang butuh perjuangan cukup dan lumayan meletihkan [makanya banyak bapak2 sekarang kalau ngetik menekan keyboard keras2; efek adat masa lalu]
=> Mahasiswa kini ....
Correct me if I'm wrong
Blame yourself if you're wrong
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/406657572708967
Perbincangan antara ku dan nya [teman lama]:
Ku : "Kalau [belajar] ke Madinah, pulang2 bakal jadi ustadz [alim] benar2 berilmu ya?"
Nya : "Ah, ga juga."
Ku : "Berarti, tergantung orangnya juga donk?"
Nya : "Iya. Wong si XXX [kakak kelas kami dulu di pondok] lulus Madinah, sekarang malah jadi penjaga toko."
Ku : "Duh, sayang banget tuh ya. Padahal di sana lebih enak buat nyari ilmu syar'i"
Beberapa point dari kami:
1. Kampus-kampus adalah kampus; pencipta kader-kader, namun tidak memastikan semua kader benar-benar tercipta.
2. Kampus-kampus adalah wasilah-perantara-jembatan.
3. Semua itu tergantung manusianya mau bagaimana. Jangan sangka semua thalib di Jamiah Madinah, Mekkah, Riyadh, atau LIPIA lulus dengan kapasitas ilmu yang memadai. Tidak semuanya.
4. Ilmu Syar'i tidak hanya di kampus-kampus yang telah disebutkan di atas. Ilmu Syar'i bahkan ada di buku catatan Anda, kitab-kitab di rumah Anda dan juga di HP atau PC.
5. Minder karena dari selain kampus di atas bukanlah kewajaran. Dan thalib yang belajar di kampus2 yang tersebut di atas, namun tidak ada bekas sama sekali [terlebih saat liburan], maka wajib baginya minder dan malu.
6. Untuk zaman sekarang, nama kampus TIDAK BISA menjadi neraca kualitas seseorang begitu saja. Namun dari segi global, nama kampus menunjukkan identitas dan kualitas.
7. Mahasiswa yang memang mahasiswa pembelajar, terlihat di masa liburan. Jangan seperti mahasiswa yang ngampus sekedar formalitas [terlebih yang di kampus ternama]; semacam ini giat kegiatan, molor belajar reguler, kerja keras sebelum ujian, liburan malah menjadi kepiting sungai alias yuyu [jalan selalu miring atau mundur tak maju-maju].
Kata bapak saya sekitar tahun 2004-05 atau bahkan lebih jauh lagi, yang intinya:
-> Mahasiswa dulu = buku dan referensi harus diupayakan didapat, lalu dipelajari benar2
->Mahasiswa kini = buku dan referensi asal dapat, belum tentu dipelajari benar2, cuma dicomot yang kira2 perlu
Dari saya:
-> Efek dulu = sarjana masih hafal nama-nama buku dan pengarangnya, bahkan isi buku secara global
-> Efek kini = sarjana kurang atau bahkan tidak hafal nama-nama buku dan pengarangnya. Jika ditanya isi buku secara global, penjabarannya meleset.
Bapak saya:
-> Mahasiswa dulu = Duit disimpen dan dikorbankan buat biaya ongkos dan juga BUKU
-> Mahasiswa kini = Duit dihamburkan dan dikorbankan buat melengkapi fashion, style dan PULSA
Dari saya:
-> Efek dulu = mahasiswa memperhatikan buku-buku original dan menghargainya
-> Efek kini = mahasiswa memperhatikan bonus pulsa, sekarat tanpa HP sehari, tidak lugu namun banyak yang dungu [kosong berisi], plus: CUKUP BUKU BAJAKAN, FOTOCOPYAN atau....sudah ada Internet gitu loch
=> Mahasiswa dulu ngetik makalah/skripsi dengan mesin tik yang butuh perjuangan cukup dan lumayan meletihkan [makanya banyak bapak2 sekarang kalau ngetik menekan keyboard keras2; efek adat masa lalu]
=> Mahasiswa kini ....
Correct me if I'm wrong
Blame yourself if you're wrong
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/406657572708967
No comments:
Post a Comment