oleh Hasan Al-Jaizy
"Sesungguhnya halal dan haram itu telah jelas". Benar!
"Sesungguhnya segala perkara dalam Islam itu jelas". Benar!
Tapi, sebagian besar hukum dan perkara itu:
--> jelas bagi orang yang berilmu
--> tidak jelas bagi orang yang tidak atau kurang berilmu
--> tetap tidak jelas bagi orang yang pura-pura atau merasa dirinya mengilmui.
Hati-hati saja ketika mengucapkan kalimat tersebut [yang merupakan makna sebuah hadits]; karena bisa saja seseorang akan melempar peluru kepada pengucap; peluru syubhat yang samar tak jelas...yang takkan bisa dilakoni dengan baik kecuali oleh mereka yang berilmu.
Karena selamanya kita perlu belajar dan tak kenal vocab 'selesai' sebelum selesainya umur.
Penjalaran masalah:
[1] Kita memang mudah bertanya kepada seseorang: "Mana dalilnya?" seakan-akan kita mengharuskan pada semua orang untuk MENGHAFAL dalil-dalil untuk semua hukum; dan ini mustahil bagi semua orang. Telebih jika maksudnya 'menantang', bukan untuk mencari kebenaran. Seharusnya kita justru 'ngaca' juga sambil berbisik: 'Emangnye gue sendiri hafal dalil-dalil!?'
[2] Atau ketika kita mengatakan hukum ini adalah wajib, misalnya. Lalu ditanya oleh seseorang: "Dalilnya apa?" yang kemudian kita jawab dengan sebuah ayat/hadits [terserah mau hafal atau nukil-copas, terjemahan atau teks asli]. Apakah dengan begitu kita sudah memahami hukum tersebut dengan sempurna? Tidak!!! Sebelum kita memahami BAGAIMANA [kaifiyyah-tatacara-metode] pendalilan dengan dalil tersebut sehingga jadilah hukumnya wajib.
Halal-haram itu jelas. Jelas bagi Anda, belum tentu bagi dia. Dan sebaliknya.
Jika itu jelas bagi Anda dan tidak baginya, maka upayakan agar ia faham dan merasa jelas seperti Anda.
Dan dikatakan 'jelas'; jika seseorang tahu dan mengilmui.
Berangkat dari itu:
--> Kita tidak bermudah-mudah dalam membid'ahkan seseorang [baca: menyebut seseorang sebagai Ahlul Bid'ah] atau memfasikkannya, terlebih mengkafirkan.
--> Kita juga dituntut untuk tidak menghakimi sebelum tergambar di benak permasalahan dan memahaminya. [Ini seringkali sulit]
--> Kita juga dituntut untuk tidak merasa sudah paling alim sehingga merasa siapapun yang menyelisihi diri atau kelompok kita, maka ia salah dan dipertanyakan. Bukankah setiap orang bisa mempertanyakan dan bisa pula dipertanyakan?
Maka, pilihlah jalanan lurus di sebuah lembah..di antara kedua bukit.
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/408774819163909
"Sesungguhnya halal dan haram itu telah jelas". Benar!
"Sesungguhnya segala perkara dalam Islam itu jelas". Benar!
Tapi, sebagian besar hukum dan perkara itu:
--> jelas bagi orang yang berilmu
--> tidak jelas bagi orang yang tidak atau kurang berilmu
--> tetap tidak jelas bagi orang yang pura-pura atau merasa dirinya mengilmui.
Hati-hati saja ketika mengucapkan kalimat tersebut [yang merupakan makna sebuah hadits]; karena bisa saja seseorang akan melempar peluru kepada pengucap; peluru syubhat yang samar tak jelas...yang takkan bisa dilakoni dengan baik kecuali oleh mereka yang berilmu.
Karena selamanya kita perlu belajar dan tak kenal vocab 'selesai' sebelum selesainya umur.
Penjalaran masalah:
[1] Kita memang mudah bertanya kepada seseorang: "Mana dalilnya?" seakan-akan kita mengharuskan pada semua orang untuk MENGHAFAL dalil-dalil untuk semua hukum; dan ini mustahil bagi semua orang. Telebih jika maksudnya 'menantang', bukan untuk mencari kebenaran. Seharusnya kita justru 'ngaca' juga sambil berbisik: 'Emangnye gue sendiri hafal dalil-dalil!?'
[2] Atau ketika kita mengatakan hukum ini adalah wajib, misalnya. Lalu ditanya oleh seseorang: "Dalilnya apa?" yang kemudian kita jawab dengan sebuah ayat/hadits [terserah mau hafal atau nukil-copas, terjemahan atau teks asli]. Apakah dengan begitu kita sudah memahami hukum tersebut dengan sempurna? Tidak!!! Sebelum kita memahami BAGAIMANA [kaifiyyah-tatacara-metode] pendalilan dengan dalil tersebut sehingga jadilah hukumnya wajib.
Halal-haram itu jelas. Jelas bagi Anda, belum tentu bagi dia. Dan sebaliknya.
Jika itu jelas bagi Anda dan tidak baginya, maka upayakan agar ia faham dan merasa jelas seperti Anda.
Dan dikatakan 'jelas'; jika seseorang tahu dan mengilmui.
Berangkat dari itu:
--> Kita tidak bermudah-mudah dalam membid'ahkan seseorang [baca: menyebut seseorang sebagai Ahlul Bid'ah] atau memfasikkannya, terlebih mengkafirkan.
--> Kita juga dituntut untuk tidak menghakimi sebelum tergambar di benak permasalahan dan memahaminya. [Ini seringkali sulit]
--> Kita juga dituntut untuk tidak merasa sudah paling alim sehingga merasa siapapun yang menyelisihi diri atau kelompok kita, maka ia salah dan dipertanyakan. Bukankah setiap orang bisa mempertanyakan dan bisa pula dipertanyakan?
Maka, pilihlah jalanan lurus di sebuah lembah..di antara kedua bukit.
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/408774819163909
No comments:
Post a Comment