Tuesday, June 26, 2012

Kepentingan Gelar, Nama dan 'Jabatan' Kini

oleh Hasan Al-Jaizy

Makna status ini harapnya tidak diburuk-sangkakan untuk mengangkat martabat golongan tertentu di mata manusia. Tapi, ini adalah hal yang sebenarnya real namun tak semua melihatnya.

Anda pernah melihat spanduk [umumnya: undangan] kajian yang bertemakan sebenarnya sederhana, seperti: 'Kepentingan Ikhlas', 'Bagaimana Meraih Ridha Ilahi' dst. Pernah saya tanyakan kepada seorang ustadz besar terkemuka: 'Menurut sampeyan, apakah anak2 kampus kami [lipia] mampu mengisi kajian semacam itu, atau semacam penjelasan kitab Bulughul Maram [misalnya]?'

Beliau menjawab: "Bisa. Karena sebenarnya pembahasan dalam kajian2 semacam itu sederhana. Jika si mahasiswa punya kemampuan Arabic yang baik, bisa baca kitab dan mampu menjelaskan dengan bahasa Indonesia, ya bisa."


 Lalu...

Saya berfikir kemudian. Mungkin Anda juga akan berfikir...apa hubungannya dengan 'gelar', 'nama', dan 'jabatan'!?

Untuk zaman sekarang, erat sekali hubungannya dan ketiganya memiliki peran signifikan dalam meraup massa. Bahkan, seringkali peristiwa-peristiwa sosial menjamurkan kesimpulan-kesimpulan baru, di antaranya: 

"Ridha manusia tergantung pada gelar, nama atau jabatan...dan kemurkaan manusia bisa disebabkan gelar, nama atau jabatan."


Jadi, begini:

Di saat nama seorang pemateri, tersembul setelahnya dua huruf LC, maka pandangan manusia akan berbeda dibanding pemateri yang gundul gelar; dan tidak semua yang bergelar Lc lebih baik dari yang kering gelar.

Atau ketika ia sudah punya nama yang masyhur dan terkenal, atau punya nama yang sudah tercinta di hati manusia, maka pandangan manusia akan berbeda dibanding orang asing yang entah punya nama atau tidak.

Begitu juga tatkala ada embel 'jabatan', misalnya: Pemateri: USTADZ Ehem, Pengajar di Ma'had Al-Umni. Tentu keberadaan kata 'ustadz' dan 'pengajar' memberikan info positif pada manusia. 

Itu semua berpengaruh.


Lantas:

Karena masih berstatus sebagai 'mahasiswa', nama belum punya di hati masyarakat, jabatan belum ada, meskipun pintar dalam mengulik masalah Fiqh, mahir menjelaskan perkara dan memiliki pesona dai-sebelas-umat, pengaruhnya di hati masyarakat minim sekali. Kecuali jika ia mulai membangun eksistensinya di mata manusia semenjak masih berstatus sebagai mahasiswa.

Ketika sudah bergelar, apakah semua jadi enak begitu saja? Tidak juga. Justru beban bertambah dan ujian meningkat. Manusia akan memandang gelarnya; jika ternyata kualitasnya rendah, bisa saja ia direndahkan. Belum lagi pandangan dari Rabb Al-Aalamiin; yang selalu melihat kemana, bagaimana, apa, mengapa dan untuk siapa dia berdakwah.

Susah kan? Jika tidak ingin susah, jangan jadi orang. Wong jadi binatang saja kadang-kadang susah koq!?


http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/409394999101891

No comments:

Post a Comment