Monday, August 27, 2012

Pemilik Ilmu...Pemilik Akal

oleh Hasan Al-Jaizy

Pemilik Ilmu...Pemilik Akal

[1] Di antara manusia ada yang memiliki ilmu namun tak berakal dengannya.
[2] Di antara manusia ada yang memiliki akal namun tak memiliki ilmu.

Maksud dari ilmu adalah hafalan nash Al-Qur'an atau Hadits sebagai pegangan asasi untuk menyimpulkan sesuatu.
Maksud dari akal adalah daya fikir yang tajam sebagai modal untuk menyimpulkan sesuatu.


JENIS PERTAMA


Adalah manusia yang memiliki hafalan Al-Qur'an bahkan hingga 30 juznya, atau matan-matan hadits, atau matan-matan ilmiah berkaitan dengan ilmu syar'i, namun sekedar hafalan tanpa pendalaman, pemaknaan, penggalian faedah darinya. Tentu dan dimogakan ia mendapat pahala, ganjaran dan ridha dari Allah atas upayanya menghafal.

Namun...amat disayangkan ketika pintu-pintu menuju taman surgawi terbuka lebar, sementara ia hanya mencukupkan diri bersinggah di ambangnya. Padahal ia dipermudah menuju dalam taman. 

Seperti kata rekan kerja saya yang pernah mampir ke sebuah Pondok Tahfidz di daerah Lembang, Bandung: 'Di sekitar saya ada beberapa hafidz [penghafal Al-Qur'an] yang sama sekali tak mampu memahami Arabic. Ketika saya menanyakan maksud dari sebuah ayat yang masyhur, mereka menggeleng menunjukkan ketidaktahuan.'

Rekan saya ini bukan seorang alim atau faqih di bidang syariat, hafalan Al-Qur'an nya pun minim, namun: "Saya yang tidak punya basic ilmu agama memadai justru merasa kecewa dengan mereka. Seakan mereka mengambil jeruk, namun hanya menjilati kulitnya saja. Justru isinya yang lezat tidak dicerna."


JENIS KEDUA

Adalah manusia yang memiliki daya fikir yang bagus, mampu meninjau sesuatu dari berbagai hal dan bisa meracik sebuah kesimpulan yang matang, namun ia tidak memiliki hafalan ayat-ayat atau hadits atau matan ilmiah. Sehingga ketika ia memberanikan diri berbicara tentang agama, perkataan yang sering terlampir di antara kedua bibirnya adalah, "Menurut saya....menurut saya..."

Mungkin saja pandangan dia tentang potongan hal religius tersebut adalah benar dan bisa diterima, namun dimana letak penguatan statement jika sekedar berbasis tinjauan pribadi semata? Sepi dan kering akan dalil. 

Dan lebih mungkin lagi justru ia bisa tersesat dan bahkan menyesatkan orang lain dengan opininya. Terlebih jika kemudian ia merasa terlalu pede dengan pandangan akalnya, bisa jadi ia akan kesurupan dengan ruh kebanggaan rasio dan juga merasuki jiwa-jiwa lain yang miskin akan keimanan terhadap wahyu ilahi.


Maka, usahalah....

Maka, berusahalah semampunya menjadi jenis ketiga, yaitu manusia yang memiliki ilmu dan akal. Memiliki hafalan dan pemahaman, dikuatkan dengan daya fikir yang baik berdasarkan kaedah ushuly yang sudah banyak dituangkan para ulama alias expert dalam bidang syariah.

Untuk menjadi jenis ketiga, harus menapaki tangga-tangga pembelajaran. Karena ia bertingkat-tingkat, maka mulailah dari dasar. Jangan membangun genteng sebelum menusuk asas di bumi. Jangan menusuk asas di bumi sebelum tahu di mana letak rumah akan dibangun.

Maka, banyaklah membaca dan belajar dari para expert. Jika para expert sulit ditemukan, carilah perantara yang zahirnya bisa dijadikan sandaran sementara, seperti thullab al-ilm senior yang bisa mengayomi dan mampu menjawab permasalahan dengan baik atau menjelaskan sesuatu yang tidak jelas.

Dan ini semua butuh waktu. Jika ada yang mengatakan, 'Saya bisa menguasai semuanya dalam waktu 1 tahun insya Allah,' maka ia sedang berkelakar, melawak dan melempar lelucon. 1 tahun tidak cukup dan tidak mungkin menjadi orang jenis ketiga dengan sempurna atau menghampiri sempurna. Tahun demi tahun harus dilewati hingga berbelas atau berpuluhnya. 

Ketergesaan disertai harapan tinggi akan meruntuhkan segala yang terharap.


http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/433640116677379


No comments:

Post a Comment