oleh Hasan Al-Jaizy
Memulai nasehat ini, kembali penulis mengingatkan bahwa risalah ini adalah untuk mengingatkan penulis sendiri dan juga siapapun yang membacanya. Sebuah faedah akan benar menjadi faedah bagi yang mengambil faedah darinya, dan tidak akan menjadi faedah jika tidak diambil darinya faedah. Bermula dari sebuah hadits:
كل بني آدم خطاء و خير الخطائين التوابون
"Setiap anak Adam banyak salahnya. Dan sebaik-baik orang-orang yang banyak salahnya adalah mereka yang [sering] bertaubat." [H.R. Tirmidzy]
Perhatikan lafadz 'khattaa'', yang menunjukkan bahwa sifat tiap manusia, siapapun itu, sering berbuat kesalahan. Dan perhatikan pula lafadz 'tawwaabuun'. Kenapa bukan 'taa'ibuun'? Karena Tawwab, menunjukkan seringnya ia bertaubat. Tidak hanya sekali. Bahkan berkali-kali. Dan semakin sering bertaubat hamba, semakin disayang Sang Pencipta.
Jika ada yang merasa dirinya sesuci malaikat tak bernoda, maka berhentilah dari tulisan ini dibaca. Hanya bagi manusia yang ingin selalu memeriksa dirinya. Duhai saudara, tiap-tiap kita benar-benar tahu secara zahir dan benderang aib-aib masing-masing terpunya. Biar sejuta manusia tak tahu yang kita sembunyikan dari aib, tapi kita benar-benar tahu dimana ia berada.
Men-jarh, menikam atau menurunkan nama seseorang terkadang bisa menjadi bagian dari nasehat dan ranting dakwah. Dan itu bukan satu-satunya bagian, bukan pula satu-satunya ranting. Terkadang, atau bahkan seringkali, hal itu justru adalah ghibah, namimah dan memperbesar mafsadah. Kita mungkin pernah melihat ada seorang hamba Tuhannya tak pernah mau berbicara kecuali membicarakan para dai atau para asaatidzah. Dan rupanya seringkali kalimat-kalimatnya menusuk banyak persona tertentu dari belakang. Lebih dekilnya lagi, jikalau yang ditusuk adalah orang-orang shalih, atau orang-orang bersalah namun tak mempromosikan kesalahannya dengan sengaja. Kita mungkin pernah merasa bahwa kita seperti itu dulu. Jadi, melihat pemandangan, seakan melihat cerminan masa lalu. Jika sekarang sudah membaik dan berusaha tak ulangi lagi, maka segala puji adalah bagi Allah.
Bukanlah kalimat berikut potongan puisi yang dipuitiskan, melainkan ia adalah ucapan manusia pilihan, yang tak perlu berpuisi untuk menjadi yang paling dalam kalimatnya:
يبصر أحدكم القذى في عين أخيه و ينسى الجذع في عينه
"Ada salah seorang diantara kalian yang bisa melihat debu di mata saudaranya namun ia lupa akan batang yang ada di pelupuk matanya." [H.R. Ibnu Hibban, disahihkan oleh Syaikh Al-Albany]
Duhai saudaraku, ketika engkau melihat adanya setitik debu di ujung mata saudaramu, apakah mampu kau melihat sebiji peluru di tengah matamu? Bahkan ketika kita mampu melihat orang lain secara keseluruhan, dari depan hingga belakangnya. Namun, kita rupanya tak mampu melihat belakang kepala kita sendiri, atau punggung sendiri.
Bagaimana mungkin kita sibukkan bicara kekurangan orang selain kita, sementara kekurangan kita sendiri tak pernah menyembuh?
عجبت لمن يبكي على موت غيره ... دموعًا ولا يبكي على موته دما
وأعجب من ذا أن يرى عيب غيره ... عظيمًا وفي عينيه عن عيبه عمى
"Aku heran pada siapapun yang menangisi kematian temannya dengan air mata
namun rupanya ia tak bisa tangisi kematiannya sendiri dengan darah"
"Dan aku heran pada siapapun yang melihat aib temannya begitu besar
namun pada aibnya sendiri matanya membuta"
Ibnu Abbas -radhiyallahu anhuma- pernah berkata:
إذا أردت أن تذكر عيوب صاحبك؛ فاذكر عيوبك
"Jika kamu ingin menyebut aib-aib temanmu, maka sebutlah [pula] aibmu."
Bukan berarti beliau meminta kita tuk sebutkan aib teman dan aib kita. Tapi, fikirkanlah pula, maukah kita menyebut-nyebut aib kita di depan manusia? Jika tidak mau, maka tahanlah penyebutan aib orang lain dari lisan kita.
Aun bin Abdillah berkata:
لا أحسب الرجل ينظر في عيوب الناس إلا من غفلة، قد غَفَلها عن نفسه
"Aku tidak menganggap seseorang yang menatap pada aib-aib manusia kecuali ia adalah termasuk dari orang-orang lalai. [Dan] ia [justru] lalai akan aib yang ada pada dirinya." [Sifatu Ash-Shafwah: 3/101]
Pernah juga seseorang berkata pada seorang alim, "Wahai saudaraku, sesungguhnya aku MENCINTAIMU di jalan Allah [Uhibbuka fillaah]."
Kemudian sang alim tersebut menjawab, "Demi Allah, wahai saudaraku, sekiranya engkau tahu seperti apa aku ini, kau akan mengatakan : 'sesungguhnya aku MEMBENCIMU di jalan Allah' padaku."
Sekarang, wahai penasehat yang mulia, apakah kau dan aku benar-benar semulia para penasehat? Terlebih ketika kita membicarakan aib manusia, apakah benar itu bagian dari nasehat? Jikalau memang itu bagian dari nasehat, apakah benar sebenarnya niat kita untuk menasehati?
Perhatikan bait-bait berikut:
شر الورى مَن بعيب الناس مشتغلاً ... مثلُ الذباب يُراعي موضعَ العِلَلِ
"Seburuk-buruk makhluk adalah yang sibuk dengan aib manusia
laksana lalat berkeliaran di sekitar kotoran-kotoran"
Mari koreksi diri kita. Ketika kita bermajelis, entah di masjid, entah di kampus, entah di FB bahkan, atau di grup dunia maya, kita meneliti aib-aib saudara, ustadz, syaikh, ulama dan siapapun. Apakah memang itu tugas kita? Atau justru kita 'menugaskan' diri? Apakah memang itu kepentingan kita? Atau justru kita 'mementingkan' diri?