Saturday, October 20, 2012

Debu Membasah...Daki Menghitam!

oleh Hasan Al-Jaizy

Pagi ini sangat dingin. Di luar tabiat. Sudah bermasa lamanya Jakarta tak disambut hujan di pagi hari seperti sekarang. Mungkin setahun lebih momen ini tak membuana. Dan gemuruh angkasa menunjukkan kebukan-apa-apanya kita. Kecil sekali kita dan ketakutan mendengarnya. Anak-anak kecil sebagian menangis mendengarnya; karena ketakutan. Lalu apa yang kita lakukan ketika terjadi yang lebih seram dari itu? Semoga tak terjadi pada kita.

Pagi ini keluar dari tabiatnya. Sangat dingin. Saya teringat sekitar 5 tahun lalu. Ada masa kala itu setiap pagi selalu dirundung mendung atau gerimis. Susuri jalanan mobil dengan dikawali pohon-pohon angsana, terbayang serasa berada di Jepang. Padahal belum pernah saya ke Jepang. Tapi, rasanya seasri luar kota. Jakarta yang saya kenal di pagi hari adalah kesesakan, klakson mobil-motor, raungan bis, dan manusia-manusia yang mengejar dunianya. Hanya, ketika hujan menerpa pagi, suasana berbeda. Terlebih di Sabtu pagi. Laksana kota mati.

Ketika itu, sempat nongkrong dulu di sebuah warung kopi. Karena sepertinya hujan cukup deras. Tas telah saya gemblok. Teh hangat tersedia. Saya masih ingat saat itu saya terduduk menikmati teh, suasana dan HP jadul. HP itu terkoneksi dengan internet, tapi kelas teri mungil. Saya membaca essay-essay berbahasa Inggris. Karena, memang kala itu sedang bersemangat mengasah skill English.

Sementara warkop yang terletak di belakang pos petugas penjaga palang pintu stasiun Duren Kalibata itu, adalah markas preman-preman dengan style punk. Lusuh, bluwek, tak sedap dipandang, dan menarik untuk diludahi. Mereka duduk ngobrol di samping saya. Usia mereka [yang saya lihat dan terawang kala itu] seusia anak-anak SMA. Nah, sedang asik-asiknya membaca, tiba-tiba saya merasa harus pergi sekarang juga. Takut terlambat masuk kelas nantinya. Akhirnya beranjaklah saya tiba-tiba dan berdiri. Wah, ternyata tepat di balakang saya ada seorang preman punk tersebut. Dari sedikit gerakan yang tertangkap di ujung pandangan saya, dia tersedak dan kaget dengan berdirinya saya scara tiba-tiba.

Teman-teman di sampingnya tersenyum-senyum. Saya punya terkaan berdasar: preman cilik yang berdiri di belakang saya tadi sedang berusaha membuka salah satu ruang tas saya. Tapi, alhamdulillah...Allah melindungi saya dengan menyematkan perasaan harus pergi tiba-tiba. Suasana dan tingkah mereka saat itu sulit digambarkan dengan huruf-huruf terjamak.

Sebenarnya sudah beberapa bulan ini ingin memuntahkan beberapa hal mengenai mereka, para preman, pengamen2 cilik yang lusuh, dan semacamnya. Terutama yang beroperasi di kereta ekonomi Jabodetabek. Mereka semua adalah komplotan pencopet yang terorganisir. Mereka punya trik-trik dan isyarat-isyarat khusus. Saya pernah selalu memperhatikan dan mengamati gerakan mata, tangan mereka dan kemana mereka berjalan. Tapi, data dan keterangan belum lengkap.

No comments:

Post a Comment