Sunday, October 14, 2012

...Suku-suku Agar Kalian Saling Kenal IV


oleh Hasan Al-Jaizy

Ketika itu, ada beberapa orang sedang safar. Mereka berjalan jauh. Seorang dari mereka kemudian kepalanya terkena batu, entah bagaimana jadi dan caranya, batu itu pun melukai kepala. Namun hal tersebut tentu saja tak merubah situasi kaum yang sedang safar. Mereka berjalan sebagaimana lazimnya.

Orang yang terluka kepalanya pun ketika tertidur, bermimpi basah alias junub. Tentu saja kemudian ia wajib untuk mandi junub, agar terizinkan secara syar'i untuk menunaikan shalat wajib. Lalu ia bertanya pada kawan-kawannya, "Kepala saya sakit. Apakah saya mendapat rukhsah [keringanan] untuk ber-tayammum saja, tanpa mandi?"

Teman-temannya berkata, "Kami lihat engkau tak punya alasan kuat untuk mendapat keringanan, saudara. Kau mampu untuk mandi."

Maka ia pun mandi,

kemudian mati. Matinya disebabkan efek simbahan air ke kepala tersebut. Beberapa waktu kemudian mereka pun menghadap ke pemimpin kaum dan mengabarkan hal tersebut. Maka pemimpin kaum yang bernama Muhammad, anaknya Abdullah tersebut, berkata:

"Mereka telah membunuhnya!"

Lalu pemimpin yang berwibawa tersebut mengatakan: "Kenapa mereka tidak bertanya [pada yang mengetahui]?" [H.R. Abu Daud]

Dari cerita di atas, banyak sekali faedah terpetik. Yang mendekati dengan topik perbincangan kita adalah betapa pentingnya kita harus memahami kondisi dan perkara sebelum menghukumi atau menyelaminya. Ini terkadang sulit dilakukan. Saya sendiri mengakuinya. Karena kita pernah merasakan bagaimana menghukumi atau menyelami sesuatu yang tak kita fahami sebelumnya.

Nah, kisah di atas berkaitan dengan satu orang. Individu. Persona. Sekarang, bagaimana dengan satu suku? Lebih harus ditekankan lagi. Karena satu suku terdiri dari puluhan, ratusan, ribuan bahkan puluh ribuan anggota.

Satu keputusan saja bisa membunuh satu orang, padahal terkesan sepele: mandi atau tayammum. Dan akibatnya: kematian. Sekarang, bagaimana dengan pembunuhan karakter terhadap nama orang atau nama suku dan bangsa? Kita sudah melihat adanya kabar-kabar pertumpahan darah antara suku Dayak dan Madura di beberapa daerah di provinsi Kalimantan Barat hampir 10 tahun lalu. Atau kasus-kasus di daerah Ambon dan seterusnya. Hal-hal semacam itu bisa juga disebabkan oleh kesalahfahaman atau kekurangfahaman budaya ras atau suku lain.

Di beberapa sub-ras Dayak primitif, yang biasanya tinggal di daerah hutan bebukitan, masih berlaku norma-norma kuno, ekstrim, ultra-konservatif dan merimba. Sebagian mereka sangat fanatik pada ras, family-tree dan teritori [daerah]. Jika ada manusia dari suku atau kampung lain yang mengambil sebatang kayu di kebun dalam daerah suatu sub-ras Dayak, bisa berakibat fatal [jika ketahuan]. Bisa main nyawa dan perang. Meskipun hal semacam ini sudah jarang kini.

Namun, kita harus selalu ingat. Tiap bongkahan daerah punya karakteristik sendiri. Memang, dalam banyak bongkahan modern ini, ada banyak sekali karakter musyaarak [bersama] yang ditemukan dan disetujui. Tapi, pasti ada saja yang berbeda. Perbedaan itu perlu diperhatikan. Sehingga Anda tidak sembarangan bicara kata 'PE!' di daerah Bali, meskipun medok Sunda Anda terbiasa dipraktekkan dengan suara 'PE!' di tanah Sunda. Tanya orang-orang Bali tentang PE'.

bersambung

No comments:

Post a Comment