Tuesday, October 30, 2012

Terkenang Yang Terbalap


oleh Hasan Al-Jaizy

Saya teringat salah satu kenangan masa remaja. Sebelum lulus sekolah menengah atas [I'dad Mu'alimiin], saya berdoa moga-moga pondok mengirim saya ke daerah terpencil untuk mengais pengalaman. Dan rupanya doa itu terkabul. Ust Ali Saman, ketika kami berkumpul bareng di sebuah pemandian kaki gunung mengumumkan nama santri dan tempat dakwahnya kelak. 

Gembira sangat hati ini ketika nama Kalimantan Barat disebut sebagai tempat tinggal saya untuk setahun ke depan. Bersama 4 sahabat yang akan selalu terkenang, Ust. Numair Mikail Al-Jamhuri [anak pontianak], Ali Aazad Sadad Safaraz [anak Bogor], Aziz Hadromi [anak Semarang], dan Taqiuddin [anak Makkah-sar], kami berkelana jauh ke Pontianak. Masa itu ada di tengah 2005. Dan hampir semua santri pondok kami belum begitu melek terhadap HP di kala itu.

Ust. Mikail, bersama beliau banyak sekali kenangan; karena kebetulan akhirnya kita berdua berduet di pondok yatim piatu dan faqir miskin warisan ayahnya -rahimahullah-. Dahulu pondok ini beraliran Sufi Tarekat, namun sekarang -alhamdulillah- kabarnya sudah berganti menjadi pondok salafi; berkat izin Allah yang mengirim kakaknya beliau [lulusan Madinah] untuk merenovasi pondok warisan bapak itu.

Di antara kenangan bersama beliau adalah ketika awal musim tahun ajaran. Saat itu musim kering dan terik matahari selalu menghujani bumi Pontianak. Jika ingin ke jalan aspal, kami harus menempuh perjalanan sejauh 4 kilo dari pedalaman [letak pondok]. Dan harus melewati rintangan2 seperti akar dan debu yang cukup membanjiri.

Jalan 4 kilo itu [saat itu] adalah jalan tanah yang teramat berdebu dan dihiasi akar-akar. Terkadang akarnya besar dan tajam; bekas pohon besar di masa lalu yang ditebang. Di samping jalan berlebar 2 meter itu, ada parit yang kadang sedalam 1 meter, kadang di beberapa situs bisa sedalam 2,5 meter. Parit itu berikan dan berair merah. Baunya cukup menyengat. Mengingat tanah yang ada adalah tanah gambut.

Sore itu, dengan sepeda butut, kami balapan. Adu cepat berdua. Namun, ketika itu sepeda yang saya pakai lebih jelek lagi, Terlebih stangnya abnormal; karena suka maju sendiri. Berdua dengan disaksikan alam, debu, akar dan angin kami saling meneriaki diri kami. Karena medan begitu penuh rintangan, maka jadilah terasa sangat seru. Yang mengerikan adalah ketika ban depan menabrak akar-akar. Kadang sepeda jadi berat sekali dikayuh karena terjebak dalam banjir debu. Jika lawan datang hendak menyalib, kita bisa menendang2 bumi sehingga debu beterbangan dan menghalangi laju lawan. Itu yang kami berdua lakukan.

Saat tiba di jalanan yang sudah tak bertanah lagi, kami semakin melaju. Tak peduli penduduk sekitar berkeliaran. Tapi, akhirnya saya yang kalah. Karena saya menabrak polisi tidur buatan orang desa yang terlalu tajam. Karena menabraknya cukup keras dan sepeda dalam keadaan melaju cepat, stang yang saya pegang nyosor ke depan-bawah. Hingga akhirnya saya setengah nyusruk di tengah jalan. Sayang saya tidak bawa bendera putih.

Hanya mengingat masa silam. Diary tertulis memang tidak ada. Namun rasanya ukiran kisah di alam fikir sudah mencukupi.

No comments:

Post a Comment