Sunday, October 7, 2012

Buku Bajakan, Mahasiswa dan Pulsa

oleh Hasan Al-Jaizy

Mahasiswa tidak punya buku? Jadi mahosiswo sajo. Maka jadilah mahasiswa masa kini, biarpun tidak berprestasi, yang penting punya pulsa dan buku. Pulsa harus yang seminim-minim pengeluaran untuknya, namun semax-max penggunaan dengannya. Adapun buku, biar aspal [asli palsu: asli tulisannya, palsu cetakannya] yang penting ada dan 'gue-punya'. Jadi, masalah buat lo?

Fenomena bajak-membajak buku demi kebajikan dan kemaslahatan bersama itu sangat ada. Semakin subur beranjak sepadannya kesuburan artikel dan dokumentasi online. Faktor itu banyak. Salah satunya adalah keinginan keluar modal sedikit, namun bisa meraih intinya. Salah duanya adalah harga buku original yang kelihatannya sengaja 'dinaikkan' sehingga mahasiswa mengatakan 'eman-eman, gan...ada gak yang lebih murah dari Hit? Yang lebih aspal banyak!'.

Kita kupas satu-persatu faktor-faktor itu:



[1] Modal Boleh Sedikit, Tapi Substans-nya Dapat 
Ada positif dan negatifnya juga sih, gan. Untuk zaman sekarang, terlebih di perkotaan, prinsip 'modal-dikit-intinye-dapet' sangat berlaku. Tapi tentu saja tidak berlaku untuk semua hal. Dan prinsip tersebut pun jikalau sah di mata sosial, belum tentu menghasilkan hasil yang maksimal.

Anak-anak sekarang [termasuk juga saya, karena saya anak di antara anak-anak bapak-ibu saya] yang duduk di bangku perkuliahan berprinsip seperti itu. Dan ngekehnya, prinsip itu menjadi nomor wahid jika terkait dengan 'buku'. Umumnya, buku-buku adalah permintaan dari para dosen. Dosen berkata, 'Pokoknya saya ga mau tau! Kalian harus punya dan selalu bawa 3 buku ini di setiap jadwal saya hadir di depan muka kalian! Saya ga mau tau! Memangnya apa urusan saya mau tau urusan kalian? Urusan saya kan cuma hadir di depan kalian, presentasi dan kasih tugas kemudian menilai!'

Maka, para mahasiswa pun saling bahu membahu untuk membajak 3 buku tersebut. Atau, ada yang mengais-ngais di toko buku klonengan-bajakan-aspalan dekat kampus. 'Pak, ada buku ini ga? Kalo ada, berapa diskonnya? Kalo ga ada, saya mau pesen. Kalo pesennya selusin, berapa potongannya?'

Ah, great. Itulah mahasiswa sekarang. Tercela? Belum tentu.


Bapak: "Mahasiswa Sekarang = Mahasiswa Pulsa!"
Itu inti dari pembicaraan bapak saya, sekiranya beliau ucapkan semua itu tahun 2006 atau sekitarnya. Beginilah jabarannya:

"Saya sudah berkumpul di tengah para mahasiswa, sehingga kesimpulan ini hasil pengamatan dan perbandingan antara generasi mahasiswa sekarang dan zaman saya doeloe. Dulu kami rela jalan kemana-mana demi menemukan satu buku original. Mau berapapun harganya. Yang penting, harus dapat. Kadang harga pengorbanan mendapatkan buku tersebut lebih besar dari harga buku. 

Kalau zaman sekarang, mahasiswa boro-boro seperti itu. Eman-eman lah buat beli buku. Mending buat beli pulsa. Kalau buku, sudah banyak kok terbitan percetakan bajak laut. Harganya jauh lebih murah. Isinya sama. Covernya sama. Lha, ngapain ngabisin duit buat beli yang asli? Mending sisanya buat beli pulsa. Ya, kan? Itulah mahasiswa sekarang."

Mau geleng-geleng terus-menerus melihat fenomena ini ya tidak bisa juga. Kita juga harus angguk-angguk kadang-kadang, tanda mengerti. Lho, apanya yang harus dimengerti? Ini yang juga harus dimengerti:


[2] "Berat di Harga"
Nah, itu dia. Mahasiswa-mahasiswa umum secara umum juga beralasan demikian. Seandainya buku original dihargai sama dengan buku bajakan sekarang, yakin deh....mahasiswa akan beli yang original. Yang kemudian, jangan heran, banyak percetakan resmi gulung tikar dan mungkin pegawai-pegawainya akan memesan lapak kuburan plus nisan segera. 

Kesannya, buku-buku dipermahal. Cover ditebalkan, dihias warna-warni dengan alasan menarik. Padahal, isinya kalau di-foto-copy dengan kertas koran, ya intinya dan isinya sama. Tulisan yang terbaca. Padahal negara kita ini kaya akan kayu. Kok bisa-bisanya buku-buku di sini lebih mahal dibading Mesir. Di Mesir, buku-buku konon murah sekali, lho. Walau sebagian besar bukan cetakan terbaik, namun itu sudah berlabel 'original'. 

Irfan Rackhman, seorang mahasiswa UI yang berkonsentrasi di PA Public Administration] pernah melakukan komparasi harga buku yang dijual secara online dengan yang dijual di toko buku. Ia berkata:

"Untuk amazon.com, harga (belum termasuk shipping) untuk buku pengantar management adalah 200 dollar alias sekitar 1,9 juta dan untuk di toko buku ilegal [tidak resmi] semisal di senen berkisar 400 ribuan dan lebih parahnya harga buku bajakannya tidak sampai sepersepuluhnya yaitu 85 ribu saja. Hal ini membuat para mahasiswa atau pembeli buku berpikir 100 kali untuk membeli buku asli dengan bugdet yang pas pasan."

Dia juga mengatakan:

"Katakanlah buku Pengantar Ilmu Politik karya Prof. Miriam budihardjo yang dijual di toko buku semisal Gramedia berkisar antara 60 ribu rupiah (soft cover) hingga 80 ribu (hard cover).untuk mahasiswa pintar berkantong tebal, harga demikian bukanlah jumlah yang terlalu besar,namun untuk sebagian yang lain mungkin harga sekian berarti potong uang makan (pengalaman). Belum lagi harga text book luar yang berkisar antara 400-900 ribu (buku kedokteran,management dll)"


Jadi Siapa Yang ENAK?
Yang enak itu pelajar Syari'ah dan faham Arabic, gan. Kalau dia mau beli buku berkenaan Islam, ga perlu menoleh ke buku terjemahan Indonesia. Cukup beli kitab asli versi Arabic saja. Misal kitab Tafsir Taysiir Al-Kariim Ar-Rahmaan karya Syaikh As-Sa'dy, kalau mencari cetakan Arabic, beragam adanya. Ada yang satu jilid tebal, seharga 50 ribu hingga 70 ribu. Ada yang mungkin dua hingga berjilid-jilid namun kisaran harganya tidak melebihi 300 ribu lah.

Dan coba lihat terjemahan Indonesianya. Hard Cover pastinya. Contoh: Terjemahan kitab tersebut cetakan Pustaka Sahifa, berjilid-jilid tebal hingga 7 jilid. Berapa harganya? Di atas 500 ribu.

Enakan mana? 50 ribu versi Arabic original? Atau
500 ribu versi Indonesia original?

Dan itu terjadi di semua kitab Arabic yang juga ada terjemahannya. Mungkin ada penyebab lain, yakni kitab terjemahan pasti kalimatnya lebih banyak. Itu benar. Sayangnya, selain dalam bahasa Indonesia terkesan 'kebanyakan' huruf dalam kata hingga mempengaruhi harga, itupun belum bisa mewakili maksud dari teks asli sepenuhnya pula. 

Atau, tidak usah beli buku? Karena ada Maktabah Syamilah atau kitab hasil scan berformat PDF yang equivalent dengan originalnya? Mantab! Tapi, kalau ini saya pribadi kurang begitu mendukung. Karen MS dan PDF tujuannya mempermudah dan bukan bertujuan untuk menjadikannya sebagai sumber pertama. Tetap, buku asli/original itu berharga di atas harga buku elektronik kemana-mana.

Dan dosen pintar, atau syaikh-syaikh yang berwibawa, selalu menganjurkan muridnya begini:

"Belilah oleh kalian buku asli bercetakan bagus MESKI HARGANYA MEMBERATKAN kalian. Karena kalian akan menghargai yang kalian beli dan mendapat kenyamanan membacanya."

Trust me. It works for me.


http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/448588805182510

No comments:

Post a Comment