Friday, October 19, 2012

Mata Sipit Mendanau

oleh Hasan Al-Jaizy


[1] Anak-anak sedang bermain bola di jalanan beraspal dengan kaki telanjang. Di tengah kota Jakarta. Lapangan sudah penuh. Hanya jalan aspal satu-satunya lahan menuntaskan nafsu bermain bola. Sore itu, dia adalah anak yang dikenal mahir bermain, meski kecil. Ia berebut berkali-kali bersama anak-anak besar, para ABG. Di masa itu, mereka tak terbiasa dengan kata-kata busuk. Jika mencela, celaan mereka tak sengaja dikeras-keraskan seperti ABG sekarang. Dia sekali menendang bola. Oh, rupanya kakinya kesaruk aspal. Tersaruk hingga merobek sedikit dari kulit di dekat kuku jempolnya. Merah. Berdarah. Cukup deras. Lalu ia menekan luka itu. Berharap darah tak mengalir lagi. Kembali ia bermain dengan senang hati. Bergulat lagi dengan para ABG. Semua itu sudah biasa.

[2] ABG kemudian ia menjadi. Sore itu, ia hendak bermain bola di lapangan sekolahnya yang berdebu tebal. Jika kau injak tanah lapangan, kakimu akan tenggelam dalam debu. Lalu kau dapatkan warna coklat pekat memekati kakimu. Anak ABG itu pun berlari ke lapangan. Menyeruak ke dalam permainan yang asal serang. Dua gawang, tanpa kesebelasan. Semua boleh bermain. Semua boleh memilih mana yang dibela. Semua pasti akan tersiram debu-debu intan. Semua akan menghirup debu-debu itu. Semua senang. Yang penting semua senang. Semua itu sudah biasa.

[3] Ada beberapa anak kecil di sebuah desa pulang dari sekolahnya. Masing-masing menenteng tas. Mereka menyusuri sawah, yang berderetan dengan rel kereta api. Mereka berjalan berbaris. Dengan bahasa daerah, tiap-tiap mulut berkicau. Dari kejauhan, terdengar suara klakson kereta. Tiap-tiap mereka menoleh. Satu berteriak, diikuti teman-temannya. Kereta melaju mendekat dengan cepat. Dan ketika kereta melewati jasad-jasad mereka, mereka berteriak dan sebagian melompat-lompat. Kesenangan sementara. Mereka senang, meskipun belum merasakan naik kereta.

[4] Seorang pemuda dari pintu kereta melihat anak-anak itu. Ia sedari lama terduduk di sana. Sengaja. Ingin rasanya melahap pemandangan langsung dari pintu kereta yang terbuka. Kereta ekonomi antar kota antar provinsi. Pemuda itu membalikkan muka, selagi gerbong yang ia tumpangi mulai melewati jauh anak-anak itu. Lalu ia tersenyum sembari melambai tangan pada mereka. Mereka semakin bersorak. Kegirangan. Sementara hati pemuda memadu antara girang dan sedih. Gumamnya:

'Seandainya ketika itu aku bersekolah, memakai seragam seperti mereka...tentu tempatku bukan di sini.'

Tiba-tiba air matanya menetes, beberapa titiknya membentur kacang-kacang yang ia pegang di tangan kanannya.

==========================

Sekolah itu sudah biasa.
Mengharumkan nama sekolah itu luar biasa.
Mengingat mereka yang tidak bersekolah?
Itu bukan kebiasaan anak sekolah, atau lulusannya.

No comments:

Post a Comment