oleh Hasan Al-Jaizy
Yaitu ikhlas. Memurnikan pengesaan Allah dalam beramal adalah bentuk jihad amalan hati, yang di beberapa kesempatan justru lebih berat dibanding amalan tangan, kaki dan lisan. Setiap manusia muslim memiliki ujian semacam ini. Tidak ada satu pun yang selamat dari godaan ketidakikhlasan dalam beramal.
Bahkan seorang alim di zaman dahulu kala, yang dikenal beratus tahun hingga kini sebagai seorang alim rabbany pernah mengakui bahwa:
ما جاهدت نفسي على شيء مجاهدتها على الإخلاص
"Tidaklah ada sesuatu yang aku bermujahadah [mengerahkan upaya terkeras] atas diriku sebanding dengan upayaku untuk ikhlas."
Atau dalam arti kalimat lain: "Upaya terbesarku dalam beramal adalah ikhlas."
Itu adalah perkataan Imam Sufyan Ats-Tsaury, di zaman tanpa internet. Di zaman tanpa ormas, partai, klaim-klaim politik dan seterusnya.
Ikhlas adalah perkara yang sulit sekali, bukanlah perkara mudah. Bukan pula perkara remeh. Karena sekali kau ikhlas, maka ridha Allah terhadapmu hadir untukmu. Dan sekali tercorengnya keikhlasan, balasan neraka adalah ancaman. Bagaimana bisa diremehkan jika kemudian kita masing-masing tahu bahwa hati itu mudah bolak-balik dan senang akan kelenaan!?
Syaikh ibn Al-Utsaimiin menggambarkan sesuatu yang harus diketahui semua penyeru:
أن الإنسان لا يفرحه أن يقبل الناس قوله لأنه قوله، لكن يفرحه أن يقبل الناس قوله إذا رأى أنه الحق لأنه الحق، لا أنه قوله، وكذا لا يحزنه أن يرفض الناس قوله لأنه قوله; لأنه حينئذ يكون قد دعا لنفسه، لكن يحزنه أن يرفضوه لأنه الحق، وبهذا يتحقق الإخلاص
"Bahwasanya janganlah penerimaan manusia terhadap ucapan dia membuatnya senang dikarenakan itu adalah perkataannya; melainkan ia senang karena manusia menerimanya jika tampak bagi mereka kebenaran karena itu adalah kebenaran.
Begitu juga janganlah penolakan manusia terhadap ucapan dia membuatnya sedih dikarenakan itu adalah perkataannya; karena itu berarti ia berdakwah demi dirinya [bukan demi Allah]. Tetapi hendaklah ia sedih ditolaknya perkataan karena isinya adalah kebenaran.
Dan dengan itulah ikhlas terhakekatkan." [Al-Qaul Al-Mufiid: 1/123]
Sulit...
Bahkan seorang alim di zaman dahulu kala, yang dikenal beratus tahun hingga kini sebagai seorang alim rabbany pernah mengakui bahwa:
ما جاهدت نفسي على شيء مجاهدتها على الإخلاص
"Tidaklah ada sesuatu yang aku bermujahadah [mengerahkan upaya terkeras] atas diriku sebanding dengan upayaku untuk ikhlas."
Atau dalam arti kalimat lain: "Upaya terbesarku dalam beramal adalah ikhlas."
Itu adalah perkataan Imam Sufyan Ats-Tsaury, di zaman tanpa internet. Di zaman tanpa ormas, partai, klaim-klaim politik dan seterusnya.
Ikhlas adalah perkara yang sulit sekali, bukanlah perkara mudah. Bukan pula perkara remeh. Karena sekali kau ikhlas, maka ridha Allah terhadapmu hadir untukmu. Dan sekali tercorengnya keikhlasan, balasan neraka adalah ancaman. Bagaimana bisa diremehkan jika kemudian kita masing-masing tahu bahwa hati itu mudah bolak-balik dan senang akan kelenaan!?
Syaikh ibn Al-Utsaimiin menggambarkan sesuatu yang harus diketahui semua penyeru:
أن الإنسان لا يفرحه أن يقبل الناس قوله لأنه قوله، لكن يفرحه أن يقبل الناس قوله إذا رأى أنه الحق لأنه الحق، لا أنه قوله، وكذا لا يحزنه أن يرفض الناس قوله لأنه قوله; لأنه حينئذ يكون قد دعا لنفسه، لكن يحزنه أن يرفضوه لأنه الحق، وبهذا يتحقق الإخلاص
"Bahwasanya janganlah penerimaan manusia terhadap ucapan dia membuatnya senang dikarenakan itu adalah perkataannya; melainkan ia senang karena manusia menerimanya jika tampak bagi mereka kebenaran karena itu adalah kebenaran.
Begitu juga janganlah penolakan manusia terhadap ucapan dia membuatnya sedih dikarenakan itu adalah perkataannya; karena itu berarti ia berdakwah demi dirinya [bukan demi Allah]. Tetapi hendaklah ia sedih ditolaknya perkataan karena isinya adalah kebenaran.
Dan dengan itulah ikhlas terhakekatkan." [Al-Qaul Al-Mufiid: 1/123]
Sulit...
No comments:
Post a Comment