Tuesday, October 30, 2012

...dan Orang-orang Tua Pun Menangis I

oleh Hasan Al-Jaizy


1

Ada seorang anak muda [laki-laki] yang saya kenal. Kira-kira berusia 20 tahun kini. Kuliah di Gundar. Ia tinggal di sekitar pinggiran Kali Ciliwung. Ibunya penjaga warung yang juga merupakan rumahnya. Anak muda ini tidak terdidik religius dengan baik. Ayahnya adalah tukang ojek di stasiun. Pulang malam ke rumah itu dan kadang di malam lain ke rumah istri mudanya.

Anak ini memiliki kakak perempuan, 22 tahun. Berjilbab namun tidak begitu religius. At least: berjilbab. Keluarga ini bukan keluarga religius. Baiklah, kembali ke si anak laki-laki. Saya mengenal keluarga ini sejak masih mondok di pondok. Yaitu berawal ketika liburan dahulu, selepas shalat Jum'at, saya membeli sebuah minuman murah berasa jeruk, namanya Fruitang. Itu sekitar tahun 2004. Ketika saya sodorkan uang 1000 [harga normal Fruitang yang saya tahu di seantero Jakarta], pemilik warung ini memanggil saya setelah saya berpaling muka seolah-olah tiada apa. Saya pun berusaha bertanya sebab serta bertanya alasan, 'Kenapa, bu?'

"Ini, kembaliannya. 200." ujarnya.

Yang kemudian tentu saja saya tidak koprol sambil bilang o'ow. Tapi, saya takjub karena ibu-ibu gemuk lahiran Kendal, Jateng ini begitu jujur dan lain daripada yang lain. Terkesan sekali.

Kemudian, setelah saya sudah tidak sekolah lagi, sesekali jalan-jalan sekitar Ciliwung, mampir ke warung tersebut. Saya lalu mengenal anak lelakinya yang masih sekolah SMP. Bandel dan terlihat kasar. Sering cekcok dengan emaknya. Saya menilai seperti itu karena beberapa kali mereka cekcok di depan saya. Karena memang anak ini bengal sekali [saat itu]. Suka mengucapkan kata-kata tidak sopan dan melawan emaknya sendiri.

Lumayan tidak tahan kalau ibu tersebut sudah berkata lirih, 'Ya Allah, gustiiiiiii....'. Rasanya terasa sakit seperti teriris gergaji saja. Hal itu terus berlangsung hingga ia masuk ke sebuah sekolah yang konon rendahan. Isinya anak-anak tidak tidak bandel. Saya melihat sendiri pernah ia 'memalak' ibunya di dalam warung sambil marah-marah. Posisi sebagai orang luar yang sedang kebetulan melihat, tentu tidak memungkinkan saya berbuat sesuatu. Karena jika tiba-tiba saya pasang petasan di dalam warung, suasana akan semakin buruk.

Ibu-ibu menangis...Anak-anak tak mengiba...

Tapi, anak itu kini tidak sebringas dulu. Justru saya melihat berkali-kali dia mencium tangan emaknya, entah baru datang atau mau pergi dari rumah. Kadang selepas shalat di masjid, ia salam lalu mencium tangan emaknya. Malah saya pernah melihatnya sekilas mencium kening emaknya di dalam warung sambil ngakak berduaan. Saya sendiri tidak bisa seperti itu [sampai mencium kening]. Hebat.

2

Seorang ibu, mendengar radio. Malam telah menjelang. Radio yang ia dengar adalah program Islami. Konsultasi keluarga bersama ustadz fulan. Ia mengenali radio itu begitu bagus dan sopan dalam mengalirkan dakwahnya.

Tergerak hatinya untuk mengangkat telepon rumah. Ia ingin menyampaikan sesuatu atau bertanya pada sang ustadz. Bukan karena ia terkesan dengan ustadz bersangkutan. Tetapi karena ia memiliki satu hati, namun isinya sebesar gunung-gunung dan memberatkan. Gumpalan-gumpalan itu terasa menghujam ketika ia mengingat kejadian-kejadian.

Ternyata berhasil tersambung. Salam menyalam, dan sapa menyapa selesai sudah. Kini ibu bertugas mengutarakan pertanyaannya.

'Ustadz, bagaimana mendidik anak supaya benar dan saleh. Saya punya anak. Ia sudah besar. Tapi, ..tapi...ia...' lalu pecah tangisannya...

tangisan itu bagaikan curahan hujan di atas bumi gersang setelah berabad-abad disiksa kemarau. Tangisan itu bersuara gemuruh-gemuruh perih dan sedih tak tertata. Tangisan itu mendiamkan banyak manusia yang mendengar. Tangisan itu kemudian mewariskan pula linangan air mata bagi para pendengar.

Ibu tersebut belum menceritakan sebait pun dari puisi pilu tentang anaknya; tapi hujan dan badai melalui telepon sudah mewakili seluruh isi dari musim kemarau berpanjangan. Hingga kemudian telepon terputus, seolah-olah hujan tersebut mengakhiri kehidupan dunia. Ustadz terdiam sejenak. Sebagian pendengar menyeka sungai yang berlinang di pipi. Sebagian pendengar bergetar tubuhnya begitu dahsyat; karena mereka benar-benar merasakan apa yang terasa....karena mereka juga punya anak-anak yang memuncak murka durhaka...

No comments:

Post a Comment