oleh Hasan Al-Jaizy
Tiada akibat tanpa sebab. Tiada sebab tanpa akibat. Jika akibat tiada, maka pasti tiada pula sebab. Yaitu ketika saya lulus SD, ayah dan ibu ternyata punya rencana 'baik'. "Kamu akan dikirim ke pesantren!" tegas ayah-ibu. Sebagai manusia yang punya rencana, saya berontak. "Saya punya rencana sendiri! Saya mau masuk ke SMP 182 atau di sekolah lain bersama teman2!"
"Tidak bisa!" ayah menggebrak.
"Tidak tahu!" saya menimpali. Dalam kalimat dewasa, diterjemahkan, "Entahlah....". Setelah penegasan ayah saya itu, hari-hari terasa sendu dan beku. Karena jika dikirim ke pondok [Salatiga, Jawa Tengah], teman-teman lama, baik di sekolah atau teman bermain gundu dan bola akan saya tinggal jauh.
Tertekan. Ketika itu saya tertekan. Setelah era World Cup 1998 yang membuat saya mengenal sepakbola, permainan itu sangat addictive di hati. Dahulu, rela sekali tidak jajan demi beli koran untuk membaca isinya. Masa bodohlah biar tidak faham semuanya. Terutama halaman sepakbola. Bahkan jajaran penghuni tiap grup, dari grup A hingga H, sampai sekarang masih tahu. Dan tiap pertandingan masih teringat berapa skornya. Ketika itu, setiap ada siaran ulang sepakbola World Cup di TVRI, jika sempat, selalu dijabani. Hingga akhirnya kenal permainan bagus macam permainan Belanda, yang dari situ mulailah mengenal tim bernama Barcelona dan Arsenal. Keduanya dahulu mempunyai banyak pemain andalan dari Belanda. Dan karena era 90-an, yang sedang hebat adalah Lega Calcio [Serie A Liga Italia], maka tak henti pengamatan tertuju padanya. Jagoan ketika itu: AC Parma; karena saya melihat kelebihan mereka yaitu pemain2nya muda dan kuat meski bukan tim besar.
Dan dengan kepergian menuju pondok, semua itu harus dihilangkan dari hidup saya!
Berontak. Saya berfikir di pondok pasti akan dikurung. Tak bisa bemain bola lagi bersama manusia. Jikalau ada manusia nanti, pasti mereka tidak suka bola.
Galau sangat di masa-masa itu. Bahkan, pernah saking kalutnya fikiran, di kamar sendirian, saya menatap seekor kecoa. Lalu kecoa itu terbang, hampir mengenai saya. Panik. Kepanikan bertambah ketika kecoa itu lagi-lagi terbang seperti hendak menubruk saya yang sudah pindah tempat. Dan sekali lagi, itu terjadi. Ketika itu rasanya bergumam, 'Bahkan kecoa pun sepertinya tidak rela saya tinggal di rumah ini. Semua ingin mengusir kah?'
Atau pernah pula suatu malam tiba-tiba terbangun sudah ada di pangkuan ibu. Di kamarnya. Ada apa gerangan?
"Tadi kamu mengigau hingga teriak-teriak," jelas ibu.
Lalu ibu menasehati dan memberi masukan pelan-pelan. Ketika itu, memang penulis status ini bukan anak yang suka diam memojok di ujung ruangan. Tetapi ia adalah anak kecil yang suka ikut pergaulan teman-temannya. Masukan ibu saat itu cukup membekas. Yang masih teringat sampai sekarang adalah kalimat, "Bukan kau sahaja yang datang dari jauh daerah, bahkan anak serupamu ada pula yang datang dari Sulawesi dan lainnya."
Kalimat itu masih teringat hingga kini. Namun, hingga kini saya belum mengingatkan beliau akan kalimat itu. Kalimat itu, yang kemudian secara real membuat saya melihat benarnya. Banyak anak Sulawesi di sana...dan dari desa-desa jauh.
Ibu saya adalah turunan Betawi. Dan umumnya, ibu-ibu turunan Betawi paling takut jika anaknya pergi jauh. Itu salah satu sebab mengapa banyak anak Betawi hanya ingin tinggal di tanah kelahirannya saja. Tidak banyak yang berani berkelana ke tanah jiran atau seberang. Namun, ibu saya belajar dari pengalaman masa mudanya dahulu, yang sering ditinggal jauh dari orang tua. Pernah tinggal di kampung orang dan banyak pula bergaul dengan adik-adik ayah saya yang perantau dari Jawa.
Saudara-saudara saya yang Betawi pun begitu. Dicegah emak-emaknya agar tidak keluar kota. Jika ingin menyantri, nyantri lah di Jakarta saja. Karena itu, ada pula saudaraku yang nyantri di Jakarta, namun hasilnya tiada. Karena ikut pergaulan kota.
This is only a piece of beginning...to be continued insha Allah
"Tidak bisa!" ayah menggebrak.
"Tidak tahu!" saya menimpali. Dalam kalimat dewasa, diterjemahkan, "Entahlah....". Setelah penegasan ayah saya itu, hari-hari terasa sendu dan beku. Karena jika dikirim ke pondok [Salatiga, Jawa Tengah], teman-teman lama, baik di sekolah atau teman bermain gundu dan bola akan saya tinggal jauh.
Tertekan. Ketika itu saya tertekan. Setelah era World Cup 1998 yang membuat saya mengenal sepakbola, permainan itu sangat addictive di hati. Dahulu, rela sekali tidak jajan demi beli koran untuk membaca isinya. Masa bodohlah biar tidak faham semuanya. Terutama halaman sepakbola. Bahkan jajaran penghuni tiap grup, dari grup A hingga H, sampai sekarang masih tahu. Dan tiap pertandingan masih teringat berapa skornya. Ketika itu, setiap ada siaran ulang sepakbola World Cup di TVRI, jika sempat, selalu dijabani. Hingga akhirnya kenal permainan bagus macam permainan Belanda, yang dari situ mulailah mengenal tim bernama Barcelona dan Arsenal. Keduanya dahulu mempunyai banyak pemain andalan dari Belanda. Dan karena era 90-an, yang sedang hebat adalah Lega Calcio [Serie A Liga Italia], maka tak henti pengamatan tertuju padanya. Jagoan ketika itu: AC Parma; karena saya melihat kelebihan mereka yaitu pemain2nya muda dan kuat meski bukan tim besar.
Dan dengan kepergian menuju pondok, semua itu harus dihilangkan dari hidup saya!
Berontak. Saya berfikir di pondok pasti akan dikurung. Tak bisa bemain bola lagi bersama manusia. Jikalau ada manusia nanti, pasti mereka tidak suka bola.
Galau sangat di masa-masa itu. Bahkan, pernah saking kalutnya fikiran, di kamar sendirian, saya menatap seekor kecoa. Lalu kecoa itu terbang, hampir mengenai saya. Panik. Kepanikan bertambah ketika kecoa itu lagi-lagi terbang seperti hendak menubruk saya yang sudah pindah tempat. Dan sekali lagi, itu terjadi. Ketika itu rasanya bergumam, 'Bahkan kecoa pun sepertinya tidak rela saya tinggal di rumah ini. Semua ingin mengusir kah?'
Atau pernah pula suatu malam tiba-tiba terbangun sudah ada di pangkuan ibu. Di kamarnya. Ada apa gerangan?
"Tadi kamu mengigau hingga teriak-teriak," jelas ibu.
Lalu ibu menasehati dan memberi masukan pelan-pelan. Ketika itu, memang penulis status ini bukan anak yang suka diam memojok di ujung ruangan. Tetapi ia adalah anak kecil yang suka ikut pergaulan teman-temannya. Masukan ibu saat itu cukup membekas. Yang masih teringat sampai sekarang adalah kalimat, "Bukan kau sahaja yang datang dari jauh daerah, bahkan anak serupamu ada pula yang datang dari Sulawesi dan lainnya."
Kalimat itu masih teringat hingga kini. Namun, hingga kini saya belum mengingatkan beliau akan kalimat itu. Kalimat itu, yang kemudian secara real membuat saya melihat benarnya. Banyak anak Sulawesi di sana...dan dari desa-desa jauh.
Ibu saya adalah turunan Betawi. Dan umumnya, ibu-ibu turunan Betawi paling takut jika anaknya pergi jauh. Itu salah satu sebab mengapa banyak anak Betawi hanya ingin tinggal di tanah kelahirannya saja. Tidak banyak yang berani berkelana ke tanah jiran atau seberang. Namun, ibu saya belajar dari pengalaman masa mudanya dahulu, yang sering ditinggal jauh dari orang tua. Pernah tinggal di kampung orang dan banyak pula bergaul dengan adik-adik ayah saya yang perantau dari Jawa.
Saudara-saudara saya yang Betawi pun begitu. Dicegah emak-emaknya agar tidak keluar kota. Jika ingin menyantri, nyantri lah di Jakarta saja. Karena itu, ada pula saudaraku yang nyantri di Jakarta, namun hasilnya tiada. Karena ikut pergaulan kota.
This is only a piece of beginning...to be continued insha Allah
No comments:
Post a Comment