Monday, October 15, 2012

MOHON MANGAP, SAYA BUKAN USTADZ!!!


oleh Hasan Al-Jaizy


Terserah. Anda mau bilang 'wow' atau sekedar mangap karena kalimat itu. Sebenarnya sudah berzaman-zaman ingin menulis ini, namun selalu terlupa. Akhirnya, berangkat dari status Pak Aris, saya angkat tema kalimat di atas.

Jarang, kadang atau terbilang sering di dunia maya ini kita dapati beberapa manusia yang menulis banyak tentang agama dan memberi pemahaman religius pada orang. Romannya selayak ustadz atau guru agama. Kalau kata teman saya, 'Ente khotbah Jum'at malah di pesbuk!' Bahkan ada yang spesialis di bidang-bidang sensitif, tidak akan mengupas sesuatu kecuali yang keras-keras, menjadi ahli-legitimator manhaj, stempel bid'ah dan segerbong-gerbongnya. Lalu, ketika manusia menyebut mereka 'ustadz', 'stadz', 'tad', mereka menyangkal:

"Ngafwan, akh. Ana bukan ustadz"
Beberapa kalimat yang mewujudkan tanggapan untuk sangkalan itu:



--> [kagum] "Wah, dia bukan ustadz, tapi sudah bisa sehebat para ustadz!"
--> [kagum] "Tawadhu' sangat. Salut."
--> [curiga] "Halah. Ngakunya bukan ustadz, tapi kok lagaknya kayak ustadz? Cari aman?"
--> [kecewa] "Halah. Ngakunya bukan ustadz, tapi banyak bicara agama, ngejelekin ustadz orang dst."

Ketahuilah, bahwa kalimat 'Saya bukan ustadz' memiliki beberapa pendorong [factor/cause] dan maksud [intention]. Anda tidak bisa berburuk sangka begitu saja. Tapi kalaupun Anda berusaha berbaik sangka, belum tentu juga sangkaan Anda benar. Teraman dan baiknya, berbaik sangkalah saja dulu, selama tidak ada faktor kuat yang zahir untuk berburuk sangka.

Ini dia, beberapa ihtimal pendorong dan maksud dari kalimat 'Saya bukan ustadz':

[1] [POSITIF] "Memandang Kondisi Diri dan Berusaha Tawadhu [Tanpa Harus Berdusta]"
Contoh:
Suyuthi itu pintar. Dia diangkat menjadi guru pengabdi setelah lulus pondok. Ia pun ditugasi mengajar anak-anak SMP. Otomatis mereka akan memanggilnya 'ustadz'. Itu wajar dan memang harus, bagaimanapun juga. Anda tidak usah protes! Wong yang bikin cerita saja tidak protes kok!?
Kembali ke Suyuthi. Tapi dia tidak ingin dipanggil Ustadz Suyuthi jika berpapasan guru-guru lain atau orang-orang luar pondok. Bahkan ketika Purnomo memanggilnya 'ustadz', ia menampik.

Nah, mungkin saja 'ustadz-ustadz' di FB itu menyangkal pemanggilan ustadz karena merasa tidak atau belum pantas dikenal atau dipanggil sebagai ustadz untuk kalangan umum.

[2] [RELATIF] "Menginginkan LEPAS Dari Tuntutan, Pandangan Khusus Atau Tanggung Jawab"
Terbagi menjadi A dan B:

(a) [POSITIF] Karena tidak ingin orang-orang bertanya, berkonsultasi dan curhat padanya, sembari memandang diri yang belum punya ilmu mencukupi [kafaa'ah ilmiyyah].

Contoh:
Karso ahli di bidang IT, dan lemah di bidang agama. Namun semangat thalabul ilm dan dakwahnya tinggi. Akhirnya ia pun sering membuat status atau note hasil copas ataupun untaian ilmu sederhana. Karena terlihat ihtimam [perhatian] nya akan agama, orang-orang memanggilnya ustadz. Ia pun menolak karena merasa tidak cocok. Ia melihat kejahilan dirinya dan takut jika manusia akan bertanya atau bersandar padanya dalam beberapa perkara.

(b) [NEGATIF] Karena sekadar ingin bergerak bebas dan bicara bebas.

Contoh:
Purnomo tiap hari berangsur-angsur mencicil kritik pada siapapun manusia, terutama atasan atau kaum-kaum penguasa. Semua makhluk dikritik dan diejek. Kalau sudah tidak ada makhluk tersisa untuk dikritik, ia mengkritik dirinya sendiri. Nah, seringkali kritikannya ditulis di FB atau Twitter, sembari menyertai ayat2 atau hadits2 sebagai penguat dan pembenaran kalimatnya. Banyak orang kagum pada sikap kritisnya, yang diseimbangkan dengan ilmu agama. Mereka mulai memanggilnya 'ustadz'. Tapi dia menyangkal karena berfikir kalau mereka menyebutnya 'ustadz', itu akan mengikat dan menyempitkan ruang bebasnya dalam ngoceh. Ia ingin bebas tanpa ikatan dalam menjelek-jelekkan.

[3] [NEGATIF] "MERENDAH untuk MENINGGI"
Contoh:
Pak De Su'aid adalah orang jenius dan punya banyak hafalan. Ketika ia masih muda dulu, sekiranya baru lulus pondok, sudah bisa mengajar Aliyah dan membuat karya-karya yang menakjubkan. Padahal ia saat itu masih belia. Lalu masyarakat pun mulai memanggilnya 'Ustadz'. Pak De Su'aid pun menyangkal, 'Jangan panggil saya ustadz. Saya masih 'belajar' kok.' dengan adanya bisikan hatinya yang buruk.

'Gue harus kelihatan tawadhu dan merendah supaya mereka terkesima dan berkata: 'Masya Allah, biar pintar namun rendah hati!''

Zahirnya merendah hati, namun hatinya mengharap ketinggian.

============================

Tulisan di atas hanya sebatas pengamatan dan opini subjektif. Yang tidak terima, silahkan. Yang tidak rela, silahkan. Yang tidak tega, silahkan. Yang mau kritik, silahkan.

Yang 'merasa', jangan marah-marah di komentar atau memalsukan kemarahan dengan wujud kritikan. Karena bahasamu bisa saja menelanjangi hati.

============================

Kalau untuk pemilik status:

'Saya adalah seorang ustadz bagi murid-murid kajian saya, namun cukuplah mereka yang menyebut begitu. Sementara untuk kalangan umum di maya maupun nyata, saya belumlah pantas disebut sebagaimana mereka menyebut ustadz-ustadz saya dengan sebutan sama. Karena yang banyak berbicara agama untuk zaman sekarang tidak berarti ia seorang ustadz. Dan seorang yang dipanggil ustadz pun, tidak semuanya mengajar agama.'

So, mohon mangap. Meskipun kadang saya adalah atau seperti seorang ustadz, tapi saya belum layak disebut ustadz.

Note: "Guru English di pondok pesantren juga dipanggil 'ustadz'."
Note: "Beberapa dosen di kampus saya menyebut semua mahasiswa di jenjang/level kelas saya dengan sebutan 'ustadz' tanpa kecuali"
Note: "Guru Ngaji TK, juga layak disebut 'ustadz'"

Memang baiknya, kita tidak usah melempar tudingan 'ustadz' pada kita. Tapi baik pula, Anda-anda tidak sembarangan menuding kita-kita sebagai 'ustadz-ustadz'.

No comments:

Post a Comment