Wednesday, October 17, 2012

Membongkar Kuburan Keramat

oleh Hasan Al-Jaizy

Jika melihat beberapa kasus negatif di sektor edukasi formal negeri ini, rasanya cukup mengiris hati. Terlebih apa yang tercerita tentang pendidikan banyak sekolah di kotaku ini. Menengok ke pasar, ada rasa sakit di hati dan keputusasaan tercetus, karena rupanya banyak sekali praktek riba, kecurangan takaran dan penipuan di sana. Menengok ke sekolah, rasa sakit itu bertambah. Trend LKS [Lembar 'Kerjaan' Sekolah, atau Lembar Kerjain Siswa] atau semacamnya malah berpotensi memperbodoh anak-anak dan adik-adik kita.

Saya beri satu contoh yang sudah jamak tersebar. Di bidang bahasa Inggris [English]. Guru-guru English di banyak sekolah, entah swasta atau negeri, justru menjadi pihak yang paling idle [offline/malas/lemah]. Kerjaan mereka di kelas hanya memberi lembar kerja pada siswa; tanpa menerangkan secara sistematis atau efektif pada anak akan materi-materi. Bahkan, buku panduan sekolah dianggurkan. Padahal para orang tua membelinya dengan anggaran bukan untuk dianggurkan. Harapan orang tua, buku itu untuk dipelajari, dibahas isinya.

Namun, rupanya guru-guru tersebut lebih suka menjadi seperti setan edukatif. Meski sudah tahu buku pegangan ada dan terbeli, tetap saja mereka mencari celah untuk dua hal: 1. Bagaimana supaya gue bisa nyantai dan ga perlu kerja keras, 2. Bagaimana supaya gue bisa membuat proyek bisnis di sini. Akhirnya, tercetuslah ide najis seperti: kita tarik anggaran dari para wali murid untuk membeli buku LKS atau buku latihan ekstra yang hanya berisikan soal-soal, lalu biarkan para murid tiap pertemuan mengerjakan itu semua. Sementara gue [guru] tidak usah capek menghabiskan waktu dan suara untuk menjelaskan ke para murid. Toh murid sekarang pintar2, sudah punya HP dan bisa browsing Internet.

Kegilaan ini sungguh terjadi. Dan dalam beberapa sekolah, kegilaan ini dianggap wajar dan menjadi rahasia umum yang tidak satu pun guru idealis diperkenankan untuk membahasnya. Ini gila. Murid dibiarkan tertetap dalam ketidaktahuannya, namun dipaksa mengerjakan soal-soal. Saya sudah melihat beberapa contoh buku, salah satunya adalah buku persiapan UAN untuk kelas 3 SMP. Sungguh kegilaan yang aktual! Soal-soal seperti itu tidak akan mungkin dikerjakan oleh murid-murid yang dibiarkan bodoh oleh guru-gurunya! Soal-soal tersebut membutuhkan kemahiran dan kursus bermasa.

Saya wawancarai seorang murid SMP pula. Ia katakan: Guru English SMP nya sekarang tidak seperti guru English SD dulu. Yang sekarang, guru masuk kelas, langsung membawa buku-buku soal dari perpus, yang kemudian dibagi-bagi ke para siswa untuk dikerjakan di bagian tertentu. Dalam seminggu, hal itu terjadi untuk 4 jam pelajaran full. Guru tersebut tidak menjelaskan sama sekali, semenjak dua tahun lalu. AKhirnya, para murid tetap dalam ketidaktahuannya akan English.

Ini sebenarnya adalah pengkhianatan. Dan sebenarnya para wali murid banyak mengetahui kegilaan ini. Namun, apa daya? Mereka tidak bisa menggugat semudah itu. Akhirnya, beberapa orang tua yang masih mempunyai uang, memasukkan anak-anaknya ke tempat kursus English, atau bimbel. Dan setelah itu, mereka [wali murid] menyerahkan pada guru-guru kursus dan membebani. Kalau di bimbel, terkadang ada sistem kejar target nilai. Saya sendiri, sebagai guru kursus bahasa asing, merasakan tekanan tersebut. Tekanan dari wali murid. Namun, ketika di pembagian report dan pertemuan antara saya dan wali murid, tentu harus dijelaskan bahwa: mengikuti kursus tidak memastikan kemampuan sempurna pada murid. Kasihan juga guru kursus; karena pertemuan mereka dengan murid cukup minim [normalnya 2x seminggu], mereka dibebani dan seakan bertanggung jawab pada kepastian progres murid2 sekolah.

Rupanya benar, sebenarnya banyak sekali pelajar-pelajar sekolah di kota ini bodo-bodo. Dan itu tidak berarti murni kesalahan mereka [para pelajar]. Ada dua pihak yang harus ditajamkan pandangan padanya:

1. Pihak Sekolah, terkhusus Guru bagi si murid. Apakah para guru di sekolah benar-benar mengajar dan mendidik, atau sekadar bertugas, isi absen, kasih LKS, menjelaskan asal jadi? Atau malah jadi guru pebisnis, yang suka memeras wali murid dengan pencanangan anggaran-anggaran baru? Atau malah senang dapat suapan ketika pembagian rapot?

2. Pihak Orang Tua. Saya merasakan dan sudah melihat sendiri macam-macam orang tua murid yang mengkursuskan anaknya. Di antara mereka, ada yang memang sebenarnya tidak peduli anaknya mau apa dan mau diapakan, yang penting bayar, masukkan kursus, hasilnya harus jadi dan awas. Orang tua semacam ini sedang menjamur sekarang. Anak pulang sekolah atau kursus, tidak ditanyai belajar apa tadi atau pertanyaan semacamnya yang meningkatkan kepekaan anak akan perasaan bahwa ia sebenarnya dipedulikan oleh orang tuanya dalam belajar. Anak-anak sekarang banyak begajulan dan jadi iblis junior karena mayoritas orang tua mereka sekadar kasih nafkah [makan/sandang/papan/biaya sekolah-kursus], sementara segi ruhaniyyah dan pendekatannya nihil.

Anak-anak muda sekarang banyak tahunya, namun pengetahuan yang banyak tersebut justru tidak memajukan mereka. Kenapa? Karena sekadar koleksi pengetahuan. Tahu kasus ini, berita itu, info ini, kabar itu, tapi aplikasi, pengambilan hikmah, penerapan dan pengamalannya minim. Inilah akibat dari freedom dan independensi kebangetan yang diberikan oleh orang tua mereka. Dan ketika sang anak jatuh dalam kasus parah, atau kenakalan tingkat tinggi, orang-orang yang pertama kali mencari-cari kambing hitam adalah orang-orang tua mereka sendiri. Seakan tidak bercermin bahwa merekalah penyebabnya.

Saya jadi berfikir begini:

--> Zaman sekarang, banyak dari orang tua tidak memberikan kasih sayang pada anaknya sebesar kasih orang-orang tua mereka pada mereka dahulu.
--> Zaman sekarang, banyak dari guru tidak mengerahkan jasa demi murid-muridnya sesungguh kerasnya jasa guru-guru mereka pada mereka dahulu.

No comments:

Post a Comment