Saturday, October 6, 2012

Klowor-klowor [Cerita Sedih]


oleh Hasan Al-Jaizy

Kucing Betina itu...ketika hadir masa berkawin, jantan-jantan memangsa. Ada 2 jantan berebut. Untuk tentukan siapa yang berhak meniduri, keduanya beradu, bergulat, saling cakar dan terkam. Oh, rupanya si Garong Kuning kalah. Lihatlah cakaran-cakaran itu di kepalanya.

Si hitam abu-abu menang. 2 hari ia mendekati si betina. Namun betina selalu melawan. Selalu....selalu...selalu melawan. Begitulah sejatinya perkawinan kucing. Complicated dan urusan tidak cepat beres. Betina pula mikir-mikir. Tak mudah enaknya jantan dapat menyuntik tubuhnya. Ia pun punya antibodi dan firewall. Adakah ia berbeda dengan manusia pelacur, atau mucikari ataupun germo?

Jantan Hitam Abu-abu tak kunjung berhasil. Datang jantan lain. Warnanya mirip. Ia datang untuk menjadi pemenang. JHA pun minder karena 2 hari hasratnya tak kunjung terpenuhi. Serahkan kepada jagoan yang baru datang.

==============================

Perkawinan selesai. Tak perlu kulukis dengan kalimat atas apa yang terjadi. Cukup bayangan di benakmu yang memfitnah bibirmu untuk tersenyum. Tak perlu pula ku-pasang foto mesra kenangan perkawinan. Cukup fikiranmu saja yang menjadi mesiu senyuman bibirmu.

Beberapa minggu kemudian si Betina Hitam melahirkan berekor-ekor. Konon, induk kucing takkan menaruh anak-anaknya di satu tempat saja, melainkan di berbagai tempat. Mungkin hingga 7 kali. Silahkan kau cek sendiri. Atau biar tidak repot, tanyakan saja langsung pada dia, 'Hei, si manis jembatan ambrol. Berapa kali kau pindahkan anak-anak?'

Itu tak penting. Tapi lihatlah, kawan. Lihat kulit tempat di mana [maaf] 6 hingga 8 puting susu andalan anak-anak itu. Kulitnya kelowor-kelowor, alias gontai menjorok ke bawah. Seperti kulit leher sapi yang berlemak, klowor-klowor ke bawah, goncang kanan luncang kiri ketika empunya berjalan. Sejenak kau pasti tertawa melihatnya, namun seabadi kau mendapat pelajaran darinya.

Dan si betina tampak begitu kurus. Jantan yang dahulu menjadi seorang Renegade atau Hercules ketika menyuntik asmara di asrama pembuahan, kini pergi entah ke mana. Hanya betina yang merawat dan menghidupi anak-anak.

=============================

Hingga kemudian, suatu saat si induk [si betina] berjalan gontai mencari serpihan makanan di jalanan. Berharap tentu ia mendapat, sebagai modal untuk menyusui anak-anak. Namun, apa daya, takdir telah tertera. Justru ketika ia menyebrang, satu roda mobil melindas kepalanya.

Tak cukup satu roda mobil depat. Roda mobil belakang pun bersedia menambah ronde lindasan. Kau dengar itu, kawan? Suara 'krak' dua kali? Kau dengar itu, kawan? Kau dengar?

Pengemudi tak mendengar....

Ia sibuk dengan pandangan melalui kacamata hitamnya, dengan telinga mengacung demi hingar bingar music disco yang tergema dari audio system mobil.....

Di tengah sekarat...sekarat si betina...dengan kepala hancur, dan kaki yang bergerak kesana-kemari. Menandakan sekaratnya ia...dalam kekalutan sekarat, kaki refleks mencari jalan pelarian. Namun tubuh sudah bergeletak.

Di tengah sekarat...sekarat si betina...datang satu anaknya mengeong. Anaknya mendekat. Lalu mulutnya merogoh-rogoh payudara si induk. Ia menemukan satu puting dan mengisapnya erat-erat. Haus dahaga. Melepas haus di tengah sekarat ibunda.

===========================

Ketika hentakanmu pada ibumu....
Ketika cacianmu pada ibumu....
Ketika teriakanmu pada ibumu....

itu berpuluh kali lebih menyedihkan dibading akhir cerita di atas. Mereka hewan, sementara ibumu manusia.

Masih adakah yang hendak menghentak di kala sekaratnya hati ibu?

Cerita di atas untuk semua mengambil bijaknya.

Terutama untuk bujangan yang katanya 'sepi' di malam minggu; diejek oleh mereka yang sudah punya teman tidur. Galau...galau...galau...kata mereka. 

Mereka fikir, galau itu hanya milik bujang. Sungguh aneh rupanya. Galau adalah hak milik tiap jiwa. Tiada jiwa tanpa pernah galau, entah bujang atau menikahnya.

Maka bagi bujang, habiskan malammu tuk fikirkan ibu ayahmu. Siapa tahu ada silaf yang belum termaaf.

No comments:

Post a Comment