Saturday, October 6, 2012

Kenapa Margonda Depok Akan Selalu Dalam Kenangan?


oleh Hasan Al-Jaizy

Karena di sinilah daerah pertama secara resmi saya mengajar bahasa di tempat resmi. Setelah bertubi merasa pahit karena dianggap gagal untuk menjadi charming dalam tes microteaching di hadapan para academic managers, akhirnya mereka menerima jua. 

Lalu akhir 2009 kala itu, seorang dari mereka mengirim pesan singkat, 'In order. Could u teach at Margonda branch on Saturday?' yang sebelum menjawab oke saya berkilah dulu, 'No, I can't. Seems the place so far from home.'
Namun karena ternyata rutenya simple, sepakatlah saya. Murid formal pertama kali itu adalah Hafi, Rafi dan Naufal. Nama mereka melegenda dalam memori saya, dan saya pun berharap jua sebaliknya. Bukan karena faktor first time, tapi karena mereka memiliki kekuatan yang super untuk membuat every little thing they do becomes memorable.

Sekarang tentu mereka sudah besar, semacam ABG SMP lah. Terakhir saya temui Rafi tahun lalu sudah membesar badan dan jerawatnya, menunjukkan bahwa muka saya lebih mulus darinya.

Yang setelah mengajar mereka, saya pun bergegas pulang pukul stengah lima, tentu dengan kereta ekonomi. Masa-masa itu, belum ada istilah Commuter Line. Yang ada kereta pakuan ac express. Sembari menunggu kereta, acapkali saya mereguk mie rebus di warung orang Padang. Saya dulu berlangganan tiap sabtu sore di sana. Pemilik warung itu punya dua anak, laki dan perempuan. Yang laki sepertinya seumuran saya. Dan adiknya remaji perempuan. Saya terawang sedikit, rupanya pergerakannya menunjukkan bahwa ia agak malu-malu basah. Who cars? Who nose? Itu bukan urusan saya.

Di warung itu saya menikmati pula majalah2 Misteri yang isinya syirik blas tapi lagaknya melarang orang berbuat syirik. Sungguh teramat sontoloyo tingkat kecamatan. Who cars? Who nose?

Ketika kereta datang, saya pasti mencari kesempatan untuk mengisi celah kosong di pintu. Semi gelayutan. Itu kesukaan saya sejak masih sekolah dulu kala liburan di Jakarta. Karena saya bisa menantang angin yang sedianya jauh lebih berwibawa dan beguna dari saya. Pula ada mampunya saya merasakan gejolak sensasi kala tatapan mata ini bercumbu dengan dedaunan di pohon-pohon dekat rel. Hal itu terasa indah di saat yang tepat. Tidak akan ku temukan kecuali di Sabtu sore.

Banyak yang bisa kuukir dari kisah masa sendiri di Depok ini. Bukan kotaku, namun kota mereka. Namun, saya telah cukup beragam menusuk tanah ini sebagai jejak. Jejak itu meaki tak terlihat lahirnya, namun terkesan, termakna dan teringat bekasnya. Laksana prasasti-prasasti gaib untuk yang miliki enam indera.

Yang sabtu ini akan menjadi sabtu terakhir mengakhiri cerita semuanya.

Good fate but sad it should be. Warm it felt so by Hasan Al-Jaizy.

Who cars?
Who nose?


No comments:

Post a Comment