oleh Hasan Al-Jaizy
Ada seseorang murid Imam Al-Bukhary sedang duduk bermajelis di masjid bersama para manusia. Mereka berguru padanya. Murid ini dengan kebiasaannya mengelus atau memegang jenggotnya sendiri. Lalu, ia mendapatkan semacam kotoran di jenggotnya dan melemparnya ke dasar masjid. Al-Bukhary melihat hal tersebut, yakni: kotoran kecil yang terlempar.
Majelis pun usai dan para murid berpaling pulang menuju kediaman masing-masing, kecuali murid yang satu ini. Ia mengamati sang guru dari suatu celah. Ketika tiada siapapun, beliau menoleh kanan kiri. Memastikan tiada siapapun di sekitarnya. Lalu beliau mengambil kotoran kecil itu dan memasukkannya ke kantong bajunya. Keluarlah kemudian beliau dari masjid dan memandang sekitar. Setelah yakin dan memastikan tiada siapapun melihat, beliau keluarkan kotoran tersebut dan membuangnya di luar masjid.
Perawi kisah kecil ini mengisahkan kisah, sedangkah AL-Bukhary tidak tahu dan tidak akan pernah tahu. Namun, justru Allah membuat manusia tahu akan sebuah cerminan keikhlasan sang imam dalam beramal di dalam ketidak tahuan beliau. Dan inilah salah satu 'akibat' dari keikhlasan, menyembunyikan amalan shalih dan mengesakan Allah dalam beramal.
Bukankah pernah kita membaca beberapa kisah tentang amalan sirr [tersembunyi] SYaikh Bin Baaz yang ketika hidupnya, Allah merahasiakannya!? Namun setelah wafat beliau, Allah membuka dan menyingkap rahasia-rahasia itu. Yang kemudian sebagian manusia yang membaca cerita-cerita itu, semakin besar kagum mereka akan beliau dan semakin banyak yang doakan kebaikan setelah wafatnya.
Boleh jadi seorang manusia dipuji selagi beramal baiknya. Khalayak ramai ketahui amalan terpujinya. Namun, hambar bernilai kemudian. Pujian itu hanya sementara. Ridha manusia terhadapnya rupanya hanya berdetik usia. Dan di akhir hayat atau setelahnya, segala yang terpuji terlupa. Dan segala kalimat pujian sirna. Apalah sebab?
Adakah kita yang pernah menyadari?
Bahwa jika kita berhasrat menjadi hebat agar terkenal semata, maka kita akan dikenal sementara, lalu dilupakan selamanya.
Bahwa jika kita berhasrat menjadi hebat agar dikenal amalnya oleh Allah, maka boleh jadi kita tidak dikenal sementara, namun suatu saat dikenang selamanya.
Lihat karya-karya ulama...semakin sering nama dan karya mereka disebut dan ditelaah, semakin terasa bahwa betapa tingginya keikhlasan mereka dahulu dan betapa kerasnya upaya mereka ketika itu.
Jika engkau benar-benar ikhlas:
Amalanmu berawal kecil bagai DEBU
Amalanmu bergulir tak tampak namun terasa ibarat ANGIN
Amalanmu berakhir di ketinggian dan kemuliaan laksana ANGKASA
Debu ketika orang lain tak memandangnya
Angin ketika orang lain tak memandang namun merasakannya
Angkasa ketika orang lain memandang dan melihat ketinggian jua kebesarannya
Majelis pun usai dan para murid berpaling pulang menuju kediaman masing-masing, kecuali murid yang satu ini. Ia mengamati sang guru dari suatu celah. Ketika tiada siapapun, beliau menoleh kanan kiri. Memastikan tiada siapapun di sekitarnya. Lalu beliau mengambil kotoran kecil itu dan memasukkannya ke kantong bajunya. Keluarlah kemudian beliau dari masjid dan memandang sekitar. Setelah yakin dan memastikan tiada siapapun melihat, beliau keluarkan kotoran tersebut dan membuangnya di luar masjid.
Perawi kisah kecil ini mengisahkan kisah, sedangkah AL-Bukhary tidak tahu dan tidak akan pernah tahu. Namun, justru Allah membuat manusia tahu akan sebuah cerminan keikhlasan sang imam dalam beramal di dalam ketidak tahuan beliau. Dan inilah salah satu 'akibat' dari keikhlasan, menyembunyikan amalan shalih dan mengesakan Allah dalam beramal.
Bukankah pernah kita membaca beberapa kisah tentang amalan sirr [tersembunyi] SYaikh Bin Baaz yang ketika hidupnya, Allah merahasiakannya!? Namun setelah wafat beliau, Allah membuka dan menyingkap rahasia-rahasia itu. Yang kemudian sebagian manusia yang membaca cerita-cerita itu, semakin besar kagum mereka akan beliau dan semakin banyak yang doakan kebaikan setelah wafatnya.
Boleh jadi seorang manusia dipuji selagi beramal baiknya. Khalayak ramai ketahui amalan terpujinya. Namun, hambar bernilai kemudian. Pujian itu hanya sementara. Ridha manusia terhadapnya rupanya hanya berdetik usia. Dan di akhir hayat atau setelahnya, segala yang terpuji terlupa. Dan segala kalimat pujian sirna. Apalah sebab?
Adakah kita yang pernah menyadari?
Bahwa jika kita berhasrat menjadi hebat agar terkenal semata, maka kita akan dikenal sementara, lalu dilupakan selamanya.
Bahwa jika kita berhasrat menjadi hebat agar dikenal amalnya oleh Allah, maka boleh jadi kita tidak dikenal sementara, namun suatu saat dikenang selamanya.
Lihat karya-karya ulama...semakin sering nama dan karya mereka disebut dan ditelaah, semakin terasa bahwa betapa tingginya keikhlasan mereka dahulu dan betapa kerasnya upaya mereka ketika itu.
Jika engkau benar-benar ikhlas:
Amalanmu berawal kecil bagai DEBU
Amalanmu bergulir tak tampak namun terasa ibarat ANGIN
Amalanmu berakhir di ketinggian dan kemuliaan laksana ANGKASA
Debu ketika orang lain tak memandangnya
Angin ketika orang lain tak memandang namun merasakannya
Angkasa ketika orang lain memandang dan melihat ketinggian jua kebesarannya
No comments:
Post a Comment