oleh Hasan Al-Jaizy
Cobalah mempraktekkan ini: segala yang menyelisihi pemikiranmu harus dikritisi segera. Maka kau akan temukan dirimu mengabaikan penyimpangan yang terjadi di dalam dirimu sendiri. Manusia tidak bisa melahap segalanya; karena itulah manusia jika tidak bisa meruntuhkan segalanya.
Cerita ini ada. Seorang guru ngaji yang bertahun-tahun dari masa mudanya [pra-30 tahun] hingga tua selain berprofesi sebagai petani di desa, ia juga tiap selepas maghrib mengajar ngaji untuk anak-anak, dan selepas isya untuk dewasa. Okelah, ia bukanlah guru ngaji modern yang menerapkan metode mengajar mutakhir menarik dan cepat sampai. Tapi, apresiasi harus mengalir untuk guru ngaji ini, yang mendedikasikan tenaganya untuk ilmu, meski [mungkin] ia sendiri kurang fasih dan punya kesalahan membaca. Bagaimana rasanya jika kemudian datang pemuda dari kota yang lulus kuliah dan pintar ngaji lalu memicingkan mata dan berkata, 'Salah...salah...salah!'?
Bayangkan kau tadinya adalah anak desa, belajar mengaji oleh seorang guru di desa. Ketika besar kau berpulang ke kampung dengan pemikiran beda dengan guru. Apakah lantas kau runcingkan kalimat untuk meluruskan pemikirannya yang [kau anggap] menyimpang? Tidak sekarang. Ingat saja, dahulu ia mengajarimu bertahun-tahun dengan sabar dan ikhlas. Dan apakah kini inginmu mencincang hatinya barang semenit dengan beberapa kalimat?
Telah kita praktekkan itu. Bersikap kritis pada apapun. Tapi justru itu bisa menjadi racun yang melenakan. Karena akan melupakan diri akan aib-aibnya. Dan jikalau terlintas ingatan akan aib sendiri, terabaikan. Yang ada adalah aib orang lain. Trust me. Kita tidak mungkin bicara dan membicarakan segalanya. Sebagian salaf pernah berkata yang maknanya: 'Hendaknya seorang muslim memiliki serpihan waktu dan bongkahan tempat khusus untuk ber-muhasabah. Bercermin dan menatap diri sendiri yang beraib.'
Ada masa-masanya kita mengaca. Waktu yang terbaik adalah malam; karena heningnya. Yang terbaik dari yang terbaik adalah sepertiga malam; karena terheningnya. Hanya untuk bagi yang masih memiliki 'hati'.
Cerita ini ada. Seorang guru ngaji yang bertahun-tahun dari masa mudanya [pra-30 tahun] hingga tua selain berprofesi sebagai petani di desa, ia juga tiap selepas maghrib mengajar ngaji untuk anak-anak, dan selepas isya untuk dewasa. Okelah, ia bukanlah guru ngaji modern yang menerapkan metode mengajar mutakhir menarik dan cepat sampai. Tapi, apresiasi harus mengalir untuk guru ngaji ini, yang mendedikasikan tenaganya untuk ilmu, meski [mungkin] ia sendiri kurang fasih dan punya kesalahan membaca. Bagaimana rasanya jika kemudian datang pemuda dari kota yang lulus kuliah dan pintar ngaji lalu memicingkan mata dan berkata, 'Salah...salah...salah!'?
Bayangkan kau tadinya adalah anak desa, belajar mengaji oleh seorang guru di desa. Ketika besar kau berpulang ke kampung dengan pemikiran beda dengan guru. Apakah lantas kau runcingkan kalimat untuk meluruskan pemikirannya yang [kau anggap] menyimpang? Tidak sekarang. Ingat saja, dahulu ia mengajarimu bertahun-tahun dengan sabar dan ikhlas. Dan apakah kini inginmu mencincang hatinya barang semenit dengan beberapa kalimat?
Telah kita praktekkan itu. Bersikap kritis pada apapun. Tapi justru itu bisa menjadi racun yang melenakan. Karena akan melupakan diri akan aib-aibnya. Dan jikalau terlintas ingatan akan aib sendiri, terabaikan. Yang ada adalah aib orang lain. Trust me. Kita tidak mungkin bicara dan membicarakan segalanya. Sebagian salaf pernah berkata yang maknanya: 'Hendaknya seorang muslim memiliki serpihan waktu dan bongkahan tempat khusus untuk ber-muhasabah. Bercermin dan menatap diri sendiri yang beraib.'
Ada masa-masanya kita mengaca. Waktu yang terbaik adalah malam; karena heningnya. Yang terbaik dari yang terbaik adalah sepertiga malam; karena terheningnya. Hanya untuk bagi yang masih memiliki 'hati'.
No comments:
Post a Comment