Wednesday, October 31, 2012

...dan Orang-orang Tua Pun Menangis III


oleh Hasan Al-Jaizy


4

Ada seorang ayah yang hidup tak berkecukupan dan terlilit hutang. Ia hanya memiliki harta hayati, yaitu seorang anak laki-laki. Keduanya tinggal serumah dan tiada siapa-siapa lagi. 

Suatu hari, terdengar suara gedoran dari pintu depan. Sang putra pun bukakan pintu menjawabnya. Tiba-tiba, penggedor itu, seorang laki-laki, mendorong pintu dan langsung merasuk ke rumah tanpa salam ataupun penghormatan wajar. Lalu menghampiri sang ayah dan memegang kerahnya keras-keras.

"Bayarlah hutang-hutangmu. Tidak malukah engkau!? Aku sudah menunggu di luar batas kewajaran! Habis sudah kesabaran! Apa kamu sedang menunggu apa yang akan aku perbuat padamu???"

Anaknya pun tak bisa menahan gejolak hati melihat ayahnya dihinakan di depannya seperti itu. Ia berkata, "Jangan! Jangan! Tenanglah. Mohon...mohon lepaskan ayah. Aku bersedia membayar yang terbutuhkan. Moga bisa memuaskan Anda! Berapa hutang yang harus terbayar?" Ia pun tak bisa menahan linangan air mata.

Lelaki itu menjawab sekian. Jumlahnya sangat besar.

"Kumohon lepaskan ayah. Aku akan mengambil tabunganku di kamar."

Lalu ia pun bergegas ke kamar. Merogoh semua uang yang ada di dalam lemari. Itu adalah uang gaji simpanannya dari masa ke masa. Sengaja ia simpan demi pernikahan yang berkurun zaman ia idamkan dan igaukan. Namun, rupanya jauh dari harapan. Ia hanya punya kurang lebih setengah dari yang terminta.

"Aku hanya mampu memberimu sekian untuk saat ini. Insya Allah, kelak di masa aku dirizkikan lebih, kami akan memberimu hingga semua terpenuhi."

Sang ayah pun menangis dan meminta pada lelaki itu, "Kumohon, janganlah kau terima uang anakku itu. Sesungguhnya ini salahku. Ia tak punya turut dosa di perkara ini. Biarkan ia menabung!"

Namun sang putra menyangkal. "Tidak, wahai ayah. Uang ini untuknya." Ia memaksa lelaki itu untuk mengambil uangnya.

Setelah berlalunya lelaki itu keluar, sang putra berkata, "Aku tidak bisa menahan melihat ayah diinjak seperti itu. Kehormatan ayah di hadapku lebih berharga dari semua uang itu."

Tidak bisa tidak, ayahnya pun segera memeluk putranya sambil menangis sesegukan dengan keharuan yang terlalu membiru. "Mudah-mudahan Allah membalas baktimu, memberimu taufiq dan membumikan mimpi-mimpimu, anakku."

Esoknya, ketika sedang melaksanakan tugas pekerjaannya, datanglah seorang rekan kerja padanya. "Kemarin, salah seorang manajer perusahaan memintaku mencarikan seorang pemuda muslim yang berakahlak baik, terpercaya dan mampu menjalani pekerjaan di bidang tertentu. Aku tidak mendapatkan kriteria-kriteria itu di antara pemuda yang kukenal kecuali pada dirimu. Hendakkah kiranya sore ini kau ikut bersamaku untuk menemuinya sore ini?"

Ia pun langsung teringat pada ayahnya. "Ya Rabb...mudah-mudahan ini berkat doa ayah..." Matanya berbinar dan lisannya tak luput dari memuji Sang Pemberi Rizki.

Namun, kepastian belum terjadi. Hanya, terbitan harapan itu sudah tercurah, meski tak begitu besar. Sorenya pun putra berbakti itu bertemu dengan sang manajer. Rupanya ia merasa tenang melihat sorotan wajahnya dan yakin bahwa, 'Inilah pemuda yang selama ini aku cari-cari.'

"Berapa gajimu, anak muda?"

"5 ribu real."

"Sampaikan surat pengunduranmu esok-esok. Kerjalah bersama saya. Gajimu 45 ribu Real. Dan kau masih terberi bonus sekian persen dari keuntungan. Kau saya beri tempat layak dan mobil. Dan enam bulan gaji akan dibayar tuk perbaiki keadaanmu."

Terbuncah kemudian tangisan tak terbendung.

"Gerangan apa yang buatmu menangis?"

Maka ia pun bercerita perihal kejadian 2 hari sebelumnya. Manajer itu pun memutuskan untuk melunasi hutang-hutangnya.

...dan hasil keuntungan [bonus] yang ia dapatkan di tahun pertama rupanya adalah sekitar setengah miliyar real.

[cerita ini terdapat di sebuah edisi majalah Qiblati; dengan pengalihan dan perubahan bahasa]

No comments:

Post a Comment