Friday, October 12, 2012

.... Suku-suku Agar Kalian Saling Kenal II


oleh Hasan Al-Jaizy

Ya, you know...saya suka dengan cerita teman-teman akan kampungnya. Meskipun seringkali detail dan globalnya terlupa, tapi itu kan bukan masalah buat loe. 

Di kampung seorang teman, tersebutlah legenda2 kampung yang menjadi cerita rakyat. Catatan: ketika masih SD saya suka sekali memakan buku-buku serial cerita rakyat yang ada di sekolah. Tapi, tetap saja, teman-teman kala itu lebih suka memakan bangku.

Kembali ke cerita kampung teman saya di Jateng ini. Dahulu dikenal di kampung seorang dukun sakti (baca: satanic) yang dilawan secara frontal oleh para kyai setempat. Jadi, jaman dulu itu, musuh kyai adalah dukun. Kalau sekarang, musuh kyai (dai-ustadz) lebih banyak lagi. Di antaranya, kaum sepilis, kuffar, teroris, Justin Habibers, dan lainnya. Tapi lucunya, justru beberapa calon kyai sedang sibuk memecahbelah

umat atau menambah perpecahan dengan cara tahdzir sana-sini, semua selainnya harus dilawan dan 'with us or against us'.

Para kyai di kampungnya bersatu melawan seorang dukun sakti yang disebut Mbah Muleno itu. Sebagai dukun sakti, ia tentunya punya ilmu ireng dan pelanggan. Jangan lupa khadam. Setelah meninggalnya dukun ini, konon kuburnya dianggap angker dan memiliki kelebihan tertentu. Makanya, beberapa orang suka mencari nomor di kuburan tersebut.

Juga di beberapa desa, mungkin juga di desa anda, ada budaya selametan ketika panen atau anaknya lulus dari perkuliahan atau sebab menggembirakan lainnya. Ya intinya mirip orang2 kota ketika terima gaji, syukuran dengan cara nraktir teman, pacar, kerabat atau hewan peliharaan. Atau di kota, kalau dinyatakan lulus seleksi masuk kampus, langsung syukuran. Intinya: syukuran. Hanya seringkali aau biasanya d desa ritual syukuran diselip-selipi 'ibadah' seperti wiridan, dzikir, yasinan dan lain2. Beda dengan tradisi kota, syukuran/nraktir dibumbui ngakak bareng, ghibah jama'i, nongkrong sambil cuci mata barangkali ada ayam semi-telanjang lewat di depan. Kalau di kampung, semua ayam memang telanjang sendiri. Jadi, ga perlu ditelanjangi.

Saya tidak sedang berbicara hukumnya dalam syariat. Ini hanya sebuah upaya pendekatan pada pembaa sekalian untuk mengingat bahwa medan kota dan desa berbeda. Tiap-tiap mempunyai scenery dan story yang khas.

Sebenarnya penyusupan dan penyelipan ritual ibadah dalam acara syukuran di desa-desa pun disebabkan faktor istihsan (menganggap baik) dan kepolosan. Kalau ditimbang dengan neraca nalar, niat mereka (orang2 desa) sangat baik dan tak ada cela seputik pun. Terlebih kita ketahui bahwa kepolosan mereka menjiwai tingkah laku. Mereka melakukan ritual tidak untuk menandingi syariat terlebih melawannya. Nah, itu dari segi nalar dan perasaan. Adapun tinjauan syariat, mizan dan kadar kaedahnya berbeda.

Kepolosan mereka itulah yang terkadang membuat mereka terjelembab ke fitnah syirik tanpa disadari. Karena mau apa lagi? Wong sedari awal sudah dianggap hasan/bagus. Susupan ritual syirik seperti memberi tumbal atau sajen atau hadiah untuk penunggu di suatu tempat masih membudaya di banyak desa.

Nah, melihat kengerian itu, apakah seorang dai di desa langsung nekat memporak-porandakan lapak setan dan menuding-nuding pelaku sebagai pelaku syirik dan lain-lain? Tidak mungkin. Yang pasti terjadi: gejolak baru yang keras sebagai tanggapan penentanan. Kalau perlu, darah pun bisa tumpah.

Karena itu kita perlu tahu: bangsa yang terlanjur polos akan menjadi super kasar jika ada pihak yang menghardik kepolosan mereka.

Jangankan polos, orang bodog pun seketika akan berubah menjadi pintar demi menanggapi hardikan orang yang membodoh-bodohinya.

bersambung

No comments:

Post a Comment