Thursday, October 11, 2012

Bahagia


oleh Hasan Al-Jaizy

Bahagia, jika ditinjau dari asalnya, berasal dari bahasa Arab, yaitu 'bahjah'atau 'bahjatun' [بهجة]. Semua orang akan mengatakan bahwa semua orang ingin bahagia. Namun semua orang tidak bisa mengatakan bahwa semua orang berbahagia. Jikalau ada seseorang berbahagia, maka kebahagiaan tersebut belum bisa dipastikan hakiki atau tidak.

Kebahagiaan hakiki bermakna sebenar-benar kebahagiaan. Jika ditanya: 'hakiki menurut apa atau siapa?' Jawabnya: 'Hakiki menurut Yang Menciptakan kebahagiaan, yaitu Allah Ta'ala.' Karena Dia-lah Maha Pemberi Nikmat [Al-Mun'im], entah itu kenikmatan duniawi yang bersifat sementara, ataupun kenikmatan ukhrowy. Kenikmatan duniawi dirasakan semua orang, sebagai bukti akan rahmat dan kasih-Nya yang luas menyeluruh. Namun sebagaimana kehidupan duniawi yang fana [tidak baka], maka kenikmatan tersebut pasti ada masa tercabutnya. Adapun kenikmatan ukhrowy, maka ia bersifat khusus di tempat khusus. Kenikmatan tersebut hanyalah untuk hamba-Nya yang beriman serta beramal shalih, seperti yang Allah wartakan di banyak tempat dalam Al-Qur'an. Hamba-hamba tersebut adalah dari bangsa jin dan manusia.

Kita sedang membicarakan sedikit perihal kebahagiaan duniawi yang hakiki. Dr Salman Al-Audah -hafidzahullah- memberi keterangan tentang kebahagiaan:

إنها معنى لا يرى بالعين، ولا يقاس بالكم، ولا تحويه الخزائن
إنها صفاء نفس، وطمأنينة قلب، وانشراح صدر، وراحة ضمير

"Sesungguhnya kebahagiaan itu adalah sebuah makna yang tak terlihat oleh mata, tak terkias oleh kuantitas dan tak tercakup oleh penyimpanan-penyimpanan.
Sesungguhnya ia adalah kejernihan jiwa, ketenangan hati, kelapangan dada dan kerehatan sukma" [Shinaa'atu As-Sa'aadah, Dr. Salman Al-Audah]

Zahirnya kebahagiaan bolehlah terlukis dalam pandangan. Ketika Anda melihat seseorang tersenyum, tertawa dan ceria, maka akal akan menghakimi bahwa ia sedang bahagia. Atau ketika Anda bertemu kawan lama, yang kini tampak gemuk, padahal dulu ia hanyalah seutas lidi di tengah halaman hayat, akal akan menghakimi ia selama ini telah hidup penuh bahagia. Justifikasi itu benar, wajar dan sah.

Namun itu hanyalah justifikasi yang tak mendefiniskan hakikat kebahagiaan. Karena sejatinya kebahagiaan adalah perasaan. Sedangkan bentuk fisik dan perbuatan anggota tubuh adalah efek darinya. Kebahagiaan sejatinya ada di batin, dan zahir itu hanyalah terjemahan batin, bukan hakikat.

Karenanya, jangan menjadikan sebuah judgment sebagai final. Karena kita lihat artis-artis selalu menebar senyum. Sementara beberapa senyuman mereka adalah tuntunan jiwa untuk menutupi kegelisahan dan kebingungan. Juga senyuman dan untaian kata manis dari seorang pacar terhadap kekasihnya, seakan ia bahagia...namun balutan kepalsuan termaklumi demi maslahat syahwat. Padahal senyuman dan untaian kata manis terdasarkan oleh hati yang sakit. Masyhur bagi semua manusia bahwa hati yang sakit menunjukkan ketidakbahagiaan. Jikalau bahagia yang dirasa, itu hanyalah tipuan yang dihias-hias oleh pemilik hati, atau oleh setan.

Kau tahu apa bahagia yang sebenar-benar di dunia ini?

Yaitu ketika imanmu meninggi dengan kecintaanmu pada Allah, tanpa mempermasalahkan kuantitas harta, materi, teman, pekerjaan atau nasib dari segala yang zahir. Karena cinta ini akan melahirkan rasa ridha pada takdir-Nya di setiap lembaran dan langkah hidup.

Bayangkan orang beriman ketika dilimpahi nikmat, ia bersyukur pada Sang Pemberi Nikmat, yaitu Allah. Itu adalah kebaikan baginya.
Bayangkan orang beriman ketika diuji dengan cobaan, kesulitan atau musibah, ia bersabar, rela dan ridha pada Sang Pemberi cobaan, yaitu Allah. Itu adalah kebaikan baginya.

Tidak akan terbayang sikap semacam itu, kecuali terjadi pada orang beriman setinggi-tinggi keimanan. Takkan terbayang orang munafik atau kafir seperti itu. Tak terbayang, tak tergambar, karena memang mustahil terjadi.

Maka, kebahagiaan sejati dan sebenar hanya milik orang beriman. Kini, tanyakan pada diri kita masing-masing....'seberapa iman aku?'

No comments:

Post a Comment