oleh Hasan Al-Jaizy
Kemarin siang adalah guyuran terik matahari yang sebabkan banyak manusia di kotaku mencari perlindungan dari sengatannya. Benar-benar panas. Karena itu, pukul 2 siang, saya sempatkan diri 'nongkrong' di sebuah warkop dekat palang pintu kereta api stasiun Kalibata. Sekadar duduk mendinginkan badan dengan menghisap es teh manis seharga 2.500.
Ada dua orang lain duduk di samping saya kala itu. Keduanya berusia 40 ke atas. Berparas dan ber-style menengah. Artinya: tidak kelihatan kaya, tapi kelihatan miskin pun iya. Tapi, itu tidak masalah. Toh, bisa saja mereka berdua zahirnya tampak miskin, tapi aslinya: siapa tahu lebih miskin dari yang tersangka!? Wah wah...rupanya saya kurang nyadar bahwa betapa miskinnya pula saya ini. Kata cicak: ckckckck
Satu dari keduanya mengatakan, kira-kira: 'Panas banget di luar. Wah, gimana di Arab ya?' Dimulai dari dua kalimat itu, mereka berdua saling bergumul berguling-guling keasyikan ngobrol. Sementara saya malah bengong sendiri. Bergumam dengan kalimat-kalimat bisu dalam kepala. Terbayang zaman-zaman ketika onta adalah kendaraan pokok manusia di Arab sana. Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang pergi demi melengkapi kesempurnaan Islam mereka? Betapa panasnya di sana, bukan? Betapa berdesaknya mereka berjalan di beberapa tempat. Duhai, betapa besar pengorbanannya.
Dan rupanya pengorbanan itu berawal dari Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim alaihissalam, manusia-manusia mulia yang dimuliakan oleh Rabb semesta. Bagaimana mungkin seorang ibu berlari mulai dari kejauhan hingga kejauhan berikutnya tanpa kejenuhan demi mendapatkan air untuk buah hatinya. Duhai, rupanya banyak sekali hikmah agung di balik syariat Allah.
Lalu, saya pun beranjak pergi menuju ke kantor. Tentu saja saya sudah membayar es teh tersebut. Jangan su'udzan lah. Kata cicak: ckckckckck. Sebelum memulai pekerjaan, saya menyempatkan ngobrol dengan OB setempat. Rupanya ia membahas masalah panasnya siang itu. "Siang ini panas banget, bro. Ane bangun tidur tadi, terus ke kamar mandi. Airnya bukannya dingin atau anget, malah panas. Jadinya ane kepanasan deh. Makanya ane kemari, buat ngadem deket AC."
Mungkin 2 kejadian 'biasa' tersebut sifatnya 'biasa', remeh dan tidak ada artinya. Tapi, bagi saya pribadi, inspirasi dan mesiu fikiran bisa datang dari manapun, meskipun kecil dan remehnya ia. Buktinya, sekarang jadi sebuah muntahan tulisan, bukan?
Dan ketika saya menulis ini, saya teringat sebuah singgungan menarik dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid -hafidzahullah- dalam salah satu kajian lamanya. Beliau berkata, yang maknanya:
"Coba kalian perhatikan saudara-saudara kita dari Indonesia di zaman dahulu, mereka pergi menunaikan haji di zaman belum berpesawat terbang. Mereka beramai menaiki kapal laut. Jumlah mereka melampaui batas kelaziman untuk kapal-kapal itu. Hingga sebagian dari mereka hilang kesadaran, kelaparan, tenggelam, dan mati di tengah perjalanan berbulan-bulan. Merekalah para syuhada' di jalan Allah. Rahimahumullahu ajma'iin."
Berbait doa kita untuk kaum muslimin seluruhnya....
Ada dua orang lain duduk di samping saya kala itu. Keduanya berusia 40 ke atas. Berparas dan ber-style menengah. Artinya: tidak kelihatan kaya, tapi kelihatan miskin pun iya. Tapi, itu tidak masalah. Toh, bisa saja mereka berdua zahirnya tampak miskin, tapi aslinya: siapa tahu lebih miskin dari yang tersangka!? Wah wah...rupanya saya kurang nyadar bahwa betapa miskinnya pula saya ini. Kata cicak: ckckckck
Satu dari keduanya mengatakan, kira-kira: 'Panas banget di luar. Wah, gimana di Arab ya?' Dimulai dari dua kalimat itu, mereka berdua saling bergumul berguling-guling keasyikan ngobrol. Sementara saya malah bengong sendiri. Bergumam dengan kalimat-kalimat bisu dalam kepala. Terbayang zaman-zaman ketika onta adalah kendaraan pokok manusia di Arab sana. Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang pergi demi melengkapi kesempurnaan Islam mereka? Betapa panasnya di sana, bukan? Betapa berdesaknya mereka berjalan di beberapa tempat. Duhai, betapa besar pengorbanannya.
Dan rupanya pengorbanan itu berawal dari Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim alaihissalam, manusia-manusia mulia yang dimuliakan oleh Rabb semesta. Bagaimana mungkin seorang ibu berlari mulai dari kejauhan hingga kejauhan berikutnya tanpa kejenuhan demi mendapatkan air untuk buah hatinya. Duhai, rupanya banyak sekali hikmah agung di balik syariat Allah.
Lalu, saya pun beranjak pergi menuju ke kantor. Tentu saja saya sudah membayar es teh tersebut. Jangan su'udzan lah. Kata cicak: ckckckckck. Sebelum memulai pekerjaan, saya menyempatkan ngobrol dengan OB setempat. Rupanya ia membahas masalah panasnya siang itu. "Siang ini panas banget, bro. Ane bangun tidur tadi, terus ke kamar mandi. Airnya bukannya dingin atau anget, malah panas. Jadinya ane kepanasan deh. Makanya ane kemari, buat ngadem deket AC."
Mungkin 2 kejadian 'biasa' tersebut sifatnya 'biasa', remeh dan tidak ada artinya. Tapi, bagi saya pribadi, inspirasi dan mesiu fikiran bisa datang dari manapun, meskipun kecil dan remehnya ia. Buktinya, sekarang jadi sebuah muntahan tulisan, bukan?
Dan ketika saya menulis ini, saya teringat sebuah singgungan menarik dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid -hafidzahullah- dalam salah satu kajian lamanya. Beliau berkata, yang maknanya:
"Coba kalian perhatikan saudara-saudara kita dari Indonesia di zaman dahulu, mereka pergi menunaikan haji di zaman belum berpesawat terbang. Mereka beramai menaiki kapal laut. Jumlah mereka melampaui batas kelaziman untuk kapal-kapal itu. Hingga sebagian dari mereka hilang kesadaran, kelaparan, tenggelam, dan mati di tengah perjalanan berbulan-bulan. Merekalah para syuhada' di jalan Allah. Rahimahumullahu ajma'iin."
Berbait doa kita untuk kaum muslimin seluruhnya....
No comments:
Post a Comment