oleh Hasan Al-Jaizy
Para calon santri baru gelombang pertama, harus tinggal di dalam pondok berhari-hari. Hampir seminggu. Syukurlah, mudahnya little Hasan bergaul pada manusia semenjak masih es de, menjadikan ia mudah mendapat teman-teman baru. Tanpa harus canggung dan main gunung es dulu.
Kami, para calon santri baru, ditempatkan di sebuah ruangan yang normalnya atau aslinya adalah kelas ITQ [sebuah jenjang untuk anak SD yang dipesantrenkan]. Ruangan itu terletak di depan pondok, dekat dengan pos satpam dan gerbangnya. Ia juga berada di depan lapangan bola takraw. Lapangan itu bisa dijadikan tempat bermain takraw. Bisa pula tempat bermain badminton. Kadang, malah bisa dijadikan tempat bermain bola [dengan bola plastik]. Jadi, flexible...connected to anyone's will.
Mas Boy, adalah seorang pria Jawa berperawakan tinggi. Usianya ketika itu di atas 20, menurut perkiraan penulis. Beliau adalah orang pertama yang kami [calon santri baru] kenal. Ramahnya
minta ampun. Rahmahnya minta maaf. Beliau sebenarnya juga santri di masa itu, namun belajar di jenjang I'dad Diny. I'dad Diny biasanya berisikan bapak-bapak, atau anak lulusan SMA umum yang baru ingin mengenal ilmu syar'i. Begitu pula dengan Mas Boy.
Nama asli Mas Boy adalah Tafqurrahman. Nama panjangnya saya tidak tahu. Itu pun sebenarnya sudah panjang. Asbabun Nuzul mengapa dijuluki Mas Boy pun saya tidak tahu. Bubur kajang ijo Kembangsari yang hangat dimakan pagi hari pun tak menjawab. Karena beliau memperkenalkan diri pada kami dengan panggilan Mas Boy.
Dahulu, kami mengandalkan beliau. Jika ada beliau, maka hati rasanya senang. Kamu tahu kenapa, anak-anak? Karena kami kala itu masih anak-anak...ya, anak-anak yang ditinggal atau meninggalkan jauh bapak-ibunya. Padahal sebelumnya kami adalah anak-anak yang tinggal bersama mereka. Karena itulah, figur orang tua yang bisa mengayomi benar-benar kami butuhkan. Dan di hati kami kala itu tentu masih ada semacam luka dan tanda tanya, 'Mengapa aku dibuang? Mengapa aku disekolahkan di sini?' Anak sekecil itu berkelahi dengan perasaannya kadangkala; sehingga membutuhkan wajah, sandaran dan rangkulan pengganti orang tua.
Anak lulusan SD tahun 1999 tidak seperti versi 2010 dan seterusnya. Terlebih versi 2010 cap kota Jakarta. Kau di Jakarta kini rutin temukan anak lulusan SD sudah berlagak laksana anak SMA era 90-an. Ada yang berkata kotor, kasar dan tidak melambangkan kepolosan hati. Berbeda dengan masa itu. Kami masih suka berlarian berkicauan di lapangan dan kamar dengan kalimat-kalimat yang mewakilkan kepolosan kami.
Dan Mas Boy lah yang menyeimbangkan pergaulan kami. Bayangkan, lebih dari 20 anak berasal dari daerah berbeda. Awalnya berbahasa daerah berbeda. Sebelumnya tidak saling kenal. Namun, Mas Boy bisa mengumpulkan kami dan menyatukan nada-nada tawa yang berbeda. Beliau sungguh pembimbing yang kami semua tidak sempat memberikan haturan terima kasih dan piagam balasan jasa...ketika beliau menghilang di tahun setelahnya...pergi dari pondok setelah lulusnya.
Pernah suatu pagi, saya diajak Mas Boy ke pasar Kembangsari yang jaraknya hanya sekilo dari pondok. Ketika itu, saya juga pergi bersama Aminullah Yasin. Amin, adalah orang yang kelak setelah itu menjadi salah satu teman dekat saya hingga lulus SMA. Ada banyak cerita bersamanya. Juga ketika itu, kalau tidak salah, bersama seorang teman berasal dari Martapura, Kalimantan Selatan. Saya lupa namanya. Karena saya bertemu anak ini hanya saat pendaftaran itu saja. Rupanya ia tidak lulus kemudian.
Ya, pagi itu terasa sejuk sekali. Kami berjalan riang bersama Mas Boy ke pasar Kembangsari; sebuah pasar yang [ketika itu] tradisional terletak sekitar 3 kilo dari Terminal Tingkir Salatiga. Sebuah pasar yang tepat di utaranya ada sebuah sungai. Sungai itu dahulu membuat saya penasaran dari mana berasal. Kita ke sana untuk membeli bubur. Bubur kacang hijau yang sangat murah. Kalau tidak salah, harganya saat itu 200 rupiah. Kami pun memborongnya. Lalu membawa pulang banyak bubur ke pondok. Di pondok kemudian, pagi itu, dalam kesejukan dan kebersamaan anak-anak yang ditinggal-meninggalkan orang tuanya, kami menyantap bubur kacang hijau.
Mas Boy, seseorang sederhana yang melegenda. Selalu mengenakan peci putih dan berjenggot. Wajahnya berbolong-bolong jejak jerawat masa remajanya. Namun, ketika itu beliau bukanlah remaja. Ia pantas disebut bapak kami di pondok untuk sementara. Ketika saya menjadi santri beberapa masa kemudian, saya bertanya kepada senior, "Kenapa Mas Boy dulu dekat sekali dengan kami?" Senior menjawab, "Itu memang ciri khas Mas Boy. Sangat sayang pada anak-anak."
Pelajaran begitu banyak dalam kehidupan. Guru-guru dan para pemimbing yang menyayangi anak-anak kecil. Kasih mereka selalu dikenang. Jika anak-anak kecil sudah menyukainya, kelak saat mereka besar dan dewasa, mereka masih ingat siapa guru dan pembimbing itu.
Mas Boy bukanlah orang pintar yang mudah menghafal dan memahami. Namun, kesadaran akan kekurangan itulah yang membuatnya selalu rajin menulis dan menghafal. Setelah saya sudah menjadi santri, saya sering mendapati beliau terduduk di shaf terdepan masjid, di depan rak Al-Qur'an, tidak jauh dari mimbar. Saya sering mendapati pemandangan itu sebelum adzan shalat fardhu. Beliau dengan tekun rupanya belajar dan mengulang-ulang.
Kadang pula saya duduk di dekat beliau, di shaf terdepan. Saya mengaji. Kemudian beliau terdiam mendengarkan. Ingat sekali momen-momen bersama Mas Boy, manusia biasa yang bagi kami luar biasa. Pernah ketika Mas Boy sedang pergi ke kamar kecil atau wudhu, saya langsung mengambil buku catatannya yang ia taruh sementara di rak Al-Qur'an. Saya melihat sendiri itu adalah tulisan beliau....ringkasan panjang sebuku...yang saya lihat adalah ringkasan kaedah-kaedah Nahwu dari kitab An-Nahwu Al-Waadhih di tiap bab. Saya tahu itu karena memang kami ketika 1 SMP dituntut menghafal kaedah-kaedah Nahwu tiap bab. Tentu saja berbahasa Arab.
Pernah pula saya perhatikan diam-diam. Mas Boy mengulang-ulang sebuah kalimat dalam kaedah. Terbata-bata. Saya pun merasa iba. Rupanya memang di sana kekurangan beliau. Namun, doa kami untukmu semoga melampaui kekuranganmu itu. Mas Boy, seorang legenda yang semoga diingat oleh para legenda generasi berikutnya.
Kami, para calon santri baru, ditempatkan di sebuah ruangan yang normalnya atau aslinya adalah kelas ITQ [sebuah jenjang untuk anak SD yang dipesantrenkan]. Ruangan itu terletak di depan pondok, dekat dengan pos satpam dan gerbangnya. Ia juga berada di depan lapangan bola takraw. Lapangan itu bisa dijadikan tempat bermain takraw. Bisa pula tempat bermain badminton. Kadang, malah bisa dijadikan tempat bermain bola [dengan bola plastik]. Jadi, flexible...connected to anyone's will.
Mas Boy, adalah seorang pria Jawa berperawakan tinggi. Usianya ketika itu di atas 20, menurut perkiraan penulis. Beliau adalah orang pertama yang kami [calon santri baru] kenal. Ramahnya
minta ampun. Rahmahnya minta maaf. Beliau sebenarnya juga santri di masa itu, namun belajar di jenjang I'dad Diny. I'dad Diny biasanya berisikan bapak-bapak, atau anak lulusan SMA umum yang baru ingin mengenal ilmu syar'i. Begitu pula dengan Mas Boy.
Nama asli Mas Boy adalah Tafqurrahman. Nama panjangnya saya tidak tahu. Itu pun sebenarnya sudah panjang. Asbabun Nuzul mengapa dijuluki Mas Boy pun saya tidak tahu. Bubur kajang ijo Kembangsari yang hangat dimakan pagi hari pun tak menjawab. Karena beliau memperkenalkan diri pada kami dengan panggilan Mas Boy.
Dahulu, kami mengandalkan beliau. Jika ada beliau, maka hati rasanya senang. Kamu tahu kenapa, anak-anak? Karena kami kala itu masih anak-anak...ya, anak-anak yang ditinggal atau meninggalkan jauh bapak-ibunya. Padahal sebelumnya kami adalah anak-anak yang tinggal bersama mereka. Karena itulah, figur orang tua yang bisa mengayomi benar-benar kami butuhkan. Dan di hati kami kala itu tentu masih ada semacam luka dan tanda tanya, 'Mengapa aku dibuang? Mengapa aku disekolahkan di sini?' Anak sekecil itu berkelahi dengan perasaannya kadangkala; sehingga membutuhkan wajah, sandaran dan rangkulan pengganti orang tua.
Anak lulusan SD tahun 1999 tidak seperti versi 2010 dan seterusnya. Terlebih versi 2010 cap kota Jakarta. Kau di Jakarta kini rutin temukan anak lulusan SD sudah berlagak laksana anak SMA era 90-an. Ada yang berkata kotor, kasar dan tidak melambangkan kepolosan hati. Berbeda dengan masa itu. Kami masih suka berlarian berkicauan di lapangan dan kamar dengan kalimat-kalimat yang mewakilkan kepolosan kami.
Dan Mas Boy lah yang menyeimbangkan pergaulan kami. Bayangkan, lebih dari 20 anak berasal dari daerah berbeda. Awalnya berbahasa daerah berbeda. Sebelumnya tidak saling kenal. Namun, Mas Boy bisa mengumpulkan kami dan menyatukan nada-nada tawa yang berbeda. Beliau sungguh pembimbing yang kami semua tidak sempat memberikan haturan terima kasih dan piagam balasan jasa...ketika beliau menghilang di tahun setelahnya...pergi dari pondok setelah lulusnya.
Pernah suatu pagi, saya diajak Mas Boy ke pasar Kembangsari yang jaraknya hanya sekilo dari pondok. Ketika itu, saya juga pergi bersama Aminullah Yasin. Amin, adalah orang yang kelak setelah itu menjadi salah satu teman dekat saya hingga lulus SMA. Ada banyak cerita bersamanya. Juga ketika itu, kalau tidak salah, bersama seorang teman berasal dari Martapura, Kalimantan Selatan. Saya lupa namanya. Karena saya bertemu anak ini hanya saat pendaftaran itu saja. Rupanya ia tidak lulus kemudian.
Ya, pagi itu terasa sejuk sekali. Kami berjalan riang bersama Mas Boy ke pasar Kembangsari; sebuah pasar yang [ketika itu] tradisional terletak sekitar 3 kilo dari Terminal Tingkir Salatiga. Sebuah pasar yang tepat di utaranya ada sebuah sungai. Sungai itu dahulu membuat saya penasaran dari mana berasal. Kita ke sana untuk membeli bubur. Bubur kacang hijau yang sangat murah. Kalau tidak salah, harganya saat itu 200 rupiah. Kami pun memborongnya. Lalu membawa pulang banyak bubur ke pondok. Di pondok kemudian, pagi itu, dalam kesejukan dan kebersamaan anak-anak yang ditinggal-meninggalkan orang tuanya, kami menyantap bubur kacang hijau.
Mas Boy, seseorang sederhana yang melegenda. Selalu mengenakan peci putih dan berjenggot. Wajahnya berbolong-bolong jejak jerawat masa remajanya. Namun, ketika itu beliau bukanlah remaja. Ia pantas disebut bapak kami di pondok untuk sementara. Ketika saya menjadi santri beberapa masa kemudian, saya bertanya kepada senior, "Kenapa Mas Boy dulu dekat sekali dengan kami?" Senior menjawab, "Itu memang ciri khas Mas Boy. Sangat sayang pada anak-anak."
Pelajaran begitu banyak dalam kehidupan. Guru-guru dan para pemimbing yang menyayangi anak-anak kecil. Kasih mereka selalu dikenang. Jika anak-anak kecil sudah menyukainya, kelak saat mereka besar dan dewasa, mereka masih ingat siapa guru dan pembimbing itu.
Mas Boy bukanlah orang pintar yang mudah menghafal dan memahami. Namun, kesadaran akan kekurangan itulah yang membuatnya selalu rajin menulis dan menghafal. Setelah saya sudah menjadi santri, saya sering mendapati beliau terduduk di shaf terdepan masjid, di depan rak Al-Qur'an, tidak jauh dari mimbar. Saya sering mendapati pemandangan itu sebelum adzan shalat fardhu. Beliau dengan tekun rupanya belajar dan mengulang-ulang.
Kadang pula saya duduk di dekat beliau, di shaf terdepan. Saya mengaji. Kemudian beliau terdiam mendengarkan. Ingat sekali momen-momen bersama Mas Boy, manusia biasa yang bagi kami luar biasa. Pernah ketika Mas Boy sedang pergi ke kamar kecil atau wudhu, saya langsung mengambil buku catatannya yang ia taruh sementara di rak Al-Qur'an. Saya melihat sendiri itu adalah tulisan beliau....ringkasan panjang sebuku...yang saya lihat adalah ringkasan kaedah-kaedah Nahwu dari kitab An-Nahwu Al-Waadhih di tiap bab. Saya tahu itu karena memang kami ketika 1 SMP dituntut menghafal kaedah-kaedah Nahwu tiap bab. Tentu saja berbahasa Arab.
Pernah pula saya perhatikan diam-diam. Mas Boy mengulang-ulang sebuah kalimat dalam kaedah. Terbata-bata. Saya pun merasa iba. Rupanya memang di sana kekurangan beliau. Namun, doa kami untukmu semoga melampaui kekuranganmu itu. Mas Boy, seorang legenda yang semoga diingat oleh para legenda generasi berikutnya.
Yaa.... saya kenal Pasar Kembangsari- Tengaran..
ReplyDelete