oleh Hasan Al-Jaizy
Anak-anak kucing beserta induknya di tengah pusat kota. Kardus AQUA di depan sebuah toko. Sore-sore berdebu untuk kota. Banyak sekali hewan berlalu lalang sebagaimana saban hari. Keramaian dan kebisingan.
Anak bertanya: "Mak, kenapa rumah kita di sini?"
Induk: "Emak sudah tak tahu lagi harus kemana. Kalian sudah emak bawa ke beberapa tempat. Selalu diusir."
Anak bertanya lagi: "Tidak adakah lorong di sekitar sini?"
Induk: "Lorong-lorong sering dijamahi preman-preman yang mengincar kamu dan ketiga saudaramu, sayang. Ibu tak sudi mereka mengintip kita semua dan mengintai setiap saat."
Sore-sore seperti saban sore. Anjing-anjing berlalu lalang. Banyak pula para tetikus got raksasa berdasi keluar masuk toko. Mereka semua bertaring dan masih ada sisa darah di tiap-tiap mulut mereka. Anak-anak kucing selalu ketakutan melihat mereka semua.
Di antara semuanya, ada beberapa makhluk putih yang beda. Jarang sekali lewat.
Biasanya mereka menunduk dan kalem. Di antara mereka ada yang berjenggot, ada pula yang rambutnya sengaja ditutupi.
Hari menjelang malam. Anjing-anjing makin banyak berkeliaran. Tak lupa, beberapa babi yang gemuk-gemuk cekakak-cekikik; biasanya mereka bersama anjing-anjing betina. Malam-malam selalu saja begitu; membuat induk khawatir keselamatan mereka. Namun, jika harus pindah ke lorong-lorong gelap, di sana banyak sekali preman-preman [tikus werok] yang mengintai. Serba salah!
"Emak, aku sudah tidak tahan lagi di sini. Pindahlah ke tempat sepi!"
Sang induk pun bingung juga. Ia ingin sekali pindah. Malam itu juga, ia harus menemukan tempat yang cocok untuk anak-anaknya selagi masa persusuan.
Ia pun beranjak pergi. Sebelumnya, ia berkata: "Kalian jangan kemana-mana. Emak akan mencari tempat bagus. Nanti kalau emak pulang, kalian akan kenyang."
Anak-anak pun menuruti kata-kata emak. Mereka diam di dalam kardus dalam keadaan saling menindih. Mereka sudah tidak bercanda lagi dan memang sulit untuk bercanda. Jika ingin bercanda dan saling main cakar, harus keluar kardus dan dilewati kaki-kaki hewan-hewan pejalan kaki. Sebagian mereka dengan arogan menendang tak sudi. Karena itulah, keceriaan masa kecil mereka tertunda...hingga emak mendapat tempat layak. Jika tidak dapat, keceriaan masa kecil mereka takkan tertunda....karena takkan ada.
Induk telah pergi cukup jauh. Ia menemukan sebuah rumah warga di belakang gedung-gedung. Rumah itu sederhana. Bukan sederhananya saja yang menarik perhatian si Induk. Tetapi alunan suara dari terasnya. Suara lantunan Al-Qur'an dari pemilik rumah.
'Aku ingin anakku besar di sekitar rumah ini'. Gumamnya. Ia pun mengeong, mencari perhatian pemilik rumah yang sedang mengaji di teras. Seorang bapak-bapak berpeci hitam dan bersarung. Ia sejenak berhenti mengaji dan menatap si Induk. Mata mereka beradu. Kucing Induk itu mengeong sekali lagi.
Si bapak melihat kucing itu kurus sekali dan sepertinya isi perut terkuras demi anak-anaknya. Ia sangat mengerti laparnya kucing itu. Bergegas menuju ke dalam rumah. Sekembalinya keluar, si bapak melemparkan satu ikan goreng. Seketika si Induk menyambarnya. Menggingit dan membawanya. Ia sempat mengeong sekali sebagai haturan rasa terima kasih. Lalu bergegas si Induk pergi kembali ke tempat anak-anaknya. Belum lama....hujan turun tiba-tiba dengan derasnya....
Sang Induk berjuang keras melawan deras. Ia berlari melompat kesana kemari, melewati jalan-jalan yang mulai sepi dan mulai digenangi air. Di mulutnya masih tergigit satu ikan. Ia ingin memakannya segera bersama anak-anaknya yang sudah cukup besar untuk mendapat makanan selain dari susu.
Masih berlari. Lalu sampailah ia di depan toko yang sudah tiada siapa-siapa. Tak ada makhluk hidup di sana. Perlahan si Induk melepas gigitan ikannya. Lalu ia mengeong tak henti-henti memanggil anak-anaknya. Kardus pun tak ditemukan. Ia terus mengeong.
Tak henti ia mengeong. Berjalan kesana kemari mengeong. Hingga tak pedulikan ikan yang ia taruh begitu saja. Saking bingungnya mencari anak-anak yang hilang tak sisakan jejak. Sementara hujan masih deras...hujan terus menderas...sederas tangisan induk di dalam...
Tangisan induk di dalam....yang ia sendirian terdiam di sana...ditinggal siapa-siapa...hanya hujan yang temani sementara...
Hujannya Kederasan
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/450939341614123
Anak-anak kucing beserta induknya di tengah pusat kota. Kardus AQUA di depan sebuah toko. Sore-sore berdebu untuk kota. Banyak sekali hewan berlalu lalang sebagaimana saban hari. Keramaian dan kebisingan.
Anak bertanya: "Mak, kenapa rumah kita di sini?"
Induk: "Emak sudah tak tahu lagi harus kemana. Kalian sudah emak bawa ke beberapa tempat. Selalu diusir."
Anak bertanya lagi: "Tidak adakah lorong di sekitar sini?"
Induk: "Lorong-lorong sering dijamahi preman-preman yang mengincar kamu dan ketiga saudaramu, sayang. Ibu tak sudi mereka mengintip kita semua dan mengintai setiap saat."
Sore-sore seperti saban sore. Anjing-anjing berlalu lalang. Banyak pula para tetikus got raksasa berdasi keluar masuk toko. Mereka semua bertaring dan masih ada sisa darah di tiap-tiap mulut mereka. Anak-anak kucing selalu ketakutan melihat mereka semua.
Di antara semuanya, ada beberapa makhluk putih yang beda. Jarang sekali lewat.
Biasanya mereka menunduk dan kalem. Di antara mereka ada yang berjenggot, ada pula yang rambutnya sengaja ditutupi.
Hari menjelang malam. Anjing-anjing makin banyak berkeliaran. Tak lupa, beberapa babi yang gemuk-gemuk cekakak-cekikik; biasanya mereka bersama anjing-anjing betina. Malam-malam selalu saja begitu; membuat induk khawatir keselamatan mereka. Namun, jika harus pindah ke lorong-lorong gelap, di sana banyak sekali preman-preman [tikus werok] yang mengintai. Serba salah!
"Emak, aku sudah tidak tahan lagi di sini. Pindahlah ke tempat sepi!"
Sang induk pun bingung juga. Ia ingin sekali pindah. Malam itu juga, ia harus menemukan tempat yang cocok untuk anak-anaknya selagi masa persusuan.
Ia pun beranjak pergi. Sebelumnya, ia berkata: "Kalian jangan kemana-mana. Emak akan mencari tempat bagus. Nanti kalau emak pulang, kalian akan kenyang."
Anak-anak pun menuruti kata-kata emak. Mereka diam di dalam kardus dalam keadaan saling menindih. Mereka sudah tidak bercanda lagi dan memang sulit untuk bercanda. Jika ingin bercanda dan saling main cakar, harus keluar kardus dan dilewati kaki-kaki hewan-hewan pejalan kaki. Sebagian mereka dengan arogan menendang tak sudi. Karena itulah, keceriaan masa kecil mereka tertunda...hingga emak mendapat tempat layak. Jika tidak dapat, keceriaan masa kecil mereka takkan tertunda....karena takkan ada.
Induk telah pergi cukup jauh. Ia menemukan sebuah rumah warga di belakang gedung-gedung. Rumah itu sederhana. Bukan sederhananya saja yang menarik perhatian si Induk. Tetapi alunan suara dari terasnya. Suara lantunan Al-Qur'an dari pemilik rumah.
'Aku ingin anakku besar di sekitar rumah ini'. Gumamnya. Ia pun mengeong, mencari perhatian pemilik rumah yang sedang mengaji di teras. Seorang bapak-bapak berpeci hitam dan bersarung. Ia sejenak berhenti mengaji dan menatap si Induk. Mata mereka beradu. Kucing Induk itu mengeong sekali lagi.
Si bapak melihat kucing itu kurus sekali dan sepertinya isi perut terkuras demi anak-anaknya. Ia sangat mengerti laparnya kucing itu. Bergegas menuju ke dalam rumah. Sekembalinya keluar, si bapak melemparkan satu ikan goreng. Seketika si Induk menyambarnya. Menggingit dan membawanya. Ia sempat mengeong sekali sebagai haturan rasa terima kasih. Lalu bergegas si Induk pergi kembali ke tempat anak-anaknya. Belum lama....hujan turun tiba-tiba dengan derasnya....
Sang Induk berjuang keras melawan deras. Ia berlari melompat kesana kemari, melewati jalan-jalan yang mulai sepi dan mulai digenangi air. Di mulutnya masih tergigit satu ikan. Ia ingin memakannya segera bersama anak-anaknya yang sudah cukup besar untuk mendapat makanan selain dari susu.
Masih berlari. Lalu sampailah ia di depan toko yang sudah tiada siapa-siapa. Tak ada makhluk hidup di sana. Perlahan si Induk melepas gigitan ikannya. Lalu ia mengeong tak henti-henti memanggil anak-anaknya. Kardus pun tak ditemukan. Ia terus mengeong.
Tak henti ia mengeong. Berjalan kesana kemari mengeong. Hingga tak pedulikan ikan yang ia taruh begitu saja. Saking bingungnya mencari anak-anak yang hilang tak sisakan jejak. Sementara hujan masih deras...hujan terus menderas...sederas tangisan induk di dalam...
Tangisan induk di dalam....yang ia sendirian terdiam di sana...ditinggal siapa-siapa...hanya hujan yang temani sementara...
Hujannya Kederasan
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/450939341614123
No comments:
Post a Comment