Wednesday, October 31, 2012

...dan Orang-orang Tua Pun Menangis II


oleh Hasan Al-Jaizy


3

Tentang seorang remaja berumur 18 tahun. Baru lulus sekolah rupanya. Sedari kecil tak dididik benar-benar meski dirawat benar-benar. Ia tinggal serumah seatap dengan kedua orang tua kandungnya di daerah seberang Volvo, dekat Kalibata. Ibunya, yang dahulu berletih penuh sejarah payah selama berbulan mengandung, sekian menit melahirkan, dan berpeluh tahun mengasihi, adalah seorang pekerja di sebuah rumah sakit daerah Salemba, Jakarta. Sementara bapaknya adalah teman lama ibu saya. Bapaknya bekerja sehari-hari menjadi tukang ojek.

Bukanlah keluarga kecil itu keluarga bergelimang rupiah dan benda diharta. Namun, serasa rumah hanyalah tempat singgah bermalam. Seakan ia adalah penginapan untuk satu keluarga. Pagi hingga menjelang matahari tutup umur hari, tiap penginap [ayah-ibu-anak] keluar rumah. Sibuk dengan kesibukan masing-masing. Sang ibu sibuk dengan kerjaan di Rumah Sakit. Bapak pun tak sempat banyak membelai hati si anak. Tentu ia lebih sering merawat motornya yang menghasilkan uang cukup dibanding merawat hati anak. Sementara si anak, tak mau peduli dengan siapa yang melahirkan dan siapa yang membiayai kehidupan. Yang ia tahu hanyalah, 'Segala yang kuhasratkan harus teradakan'.

Anak ini adalah anak muda yang hidupnya berlumuran sejarah setan. Budi pekerti terhadap orang tua tercabut hingga sirna tak berjejak. Atau memang sedari kecil tiada sama sekali. Karena tumbuhan takkan tumbuh jika tiada penumbuh atau penanamnya. Pernah dulu ia memaksa orang tua untuk membelikan motor.

Sehari-hari, jika ada saja yang salah dari orang tua, atau tidak diberi uang untuk melampiaskan syahwat duniawinya, ia tega mencaci maki orang tua. Berlakon-lakon sudah wayang setan berlidah api neraka ia peragai di rumah.

Hari itu bukanlah hari luar biasa. Si anak durhaka ini hendak keluar rumah, sepertinya selepas maghrib atau jam-jam setelahnya. Ia meminta sesuatu namun tiada terkabul dari pihak yang dipinta. Siapa lagi kalau bukan orang tua. Akhirnya terlafadzkan kalimat ini di depan muka mereka:

"Setan luh!"

Lalu ia bergegas keluar dan melaju bersama motornya menuju kegelapan dan kesuraman. Tak lama kemudian, terdengar dering telepon. Diangkat oleh salah satu dari kedua orang tua. Terkesiap tak berkejap-kejap mereka mendengar kabar. Anaknya kecelakaan di jalan. Terkirimlah jasad di sebuah rumah sakit. Dan kabar itu dipastkan benar.

Betapapun durhaka anak pada orang tua, masih ada beberapa bait kasih tersisa dalam hati mereka. Berdua bergegas ke rumah sakit yang dimaksud. Duhai malangnya nasib satu keluarga. Hati telah hancur. Tulang-tulang si anak remuk namun ia masih tetap hidup. Ia lumpuh. Lumpuh tak berdaya. Terbaring menghitung masa. Hingga kini, sudah berbulan lamanya, terkabari seperti itu adanya.

Apa yang kemudian bisa didapat jika tiada bertaubat dari durhaka terhadap kedua orang tua? Namun, orang tua pun bisa pula durhaka terhadap anaknya. Jika apa? Jika mereka tak mendidik keduanya adab dan agama....dan orang-orang tua pun menangis.

No comments:

Post a Comment