Sunday, September 2, 2012

Adat dan Sopan Dikit

oleh Hasan Al-Jaizy

Beberapa point tentang 'sopan dikit' dan 'adat':

[1] Jujur sejujurnya, saya pribadi jika lewat depan orang tua atau barisan orang umum di dalam masjid atau tempat sempit, tidak bisa untuk tidak sedikit membungkuk dan meluruskan tangan ke bawah. Jika itu tidak dilakukan, rasanya tidak enak, tidak sopan dan bersalah banget.

[2] Apakah ini akan dimirip-miripkan dengan ruku' atau penghormatan tidak semestinya atau bahkan akan disebut sebagai 'pengagungan-yang-tidak-disyariatkan'? Belum terjawab. Namun, sungguh aneh jika kita mengenyahkan adat/kebiasaan seperti ini.

[3] Jika melihat ada anak muda atau dianggap masih muda, lewat di depan orang2 tua dalam masjid atau tempat sempit, sementara ia berjalan 'nyelonong' tanpa menampakkan adanya rasa sungkan dan hormat sedikit, rasanya dongkol sekali. Mungkin si pemuda tersebut merasa biasa saja, tapi saya pribadi merasa itu luar biasa...sengaknya. Yeah, itu toh cuma perasaan saya aja. Mungkin orang2 tua yang diselonongi itu malah lebih dongkol lagi.

[4] Dahulu, sedari kecil, sudah terbiasa mencium tangan orang tua atau orang-orang yang dianggap tua. Lalu, ketika masuk pondok, terinfluence dengan adat pondok yang tidak mengenal tradisi itu. Salaman dengan ustadz biasa saja. Akhirnya, ketika pulang kampung [ke Jakarta], keluarga Betawi melihat perubahan tersebut. Tidak kenal cium tangan pada orang2 tua. Problem? Dulu, ketika masih masa sekolah, saya merasa masa bodoh dan biasa saja. Namun, setelah mengamati, melihat, merasakan dan berfikir, hal tersebut juga tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Oke, ditinggalkan mungkin terasa oke, tapi lihat juga mafsadatnya: mereka akan su'udzan dan menganggap saya tak beradab.

[5] Didikan pondok dulu, yang memang wajarnya tidak menganut paham tradisional 'rumah' dan lebih mengacu pada kitab-kitab Fiqh Hanbali, memberi influence terhadap tata cara dan sikap dalam bermuamalah. Dan sekarang juga bukan masanya main keras-kerasan dan main salah-menyalahkan. Kalau mau seperti itu, ya siap-siap saja dikerasi, dan disalah-salahi. Ujung-ujungnya: 'no one wants to hear you...or even nobody wants to see you'.

Well, ini cuma kicauan perasaan saja. Kalau Anda merasa kicauan ini kurang berkenan, ya itu juga merupakan perasaan Anda juga, kan? Berarti: Anda juga memakai perasaan untuk menilai kicauan perasaan saya.



No comments:

Post a Comment