Saturday, September 22, 2012

At Least Jangan Direndahkan


oleh Hasan Al-Jaizy

Setidaknya, DIAM atau HARGAI Selama Itu Positif

Cobalah Anda baca buku atau suatu artikel baik-baik. Setelah selesai, cobalah mempresentasikan kepada teman atau siapapun secara oral. Bincangkan apa yang Anda baca dan hembuskan opini Anda. Susah atau mudah? Bagi Anda yang terbiasa membaca asal-asalan atau yang memang sedianya jarang membaca, pasti bakal menemukan kesulitan atau bisa bicara namun point penjabaran Anda begitu miskin.

Sekarang yang kedua, cobalah Anda baca 4 buku yang bersatu genre-nya. Anggaplah itu semua buku antropologi. Ambil bab-bab yang berkaitan dengan pengaruh kultur terhadap kemajuan peradaban suatu bangsa. Setelah melahap semuanya yang terkait, coba susun dan tuangkan segala yang Anda fahami lewat tulisan. Susah atau mudah? Tidak mudah. Susah. Bahkan bagi sebagian orang yang memang sedianya malas membaca dan malas memegang pensil/pena, hal tersebut bagaikan memindahkan gunung ke tengah samudera.

Karena itu, ketika Anda mendengar presentasi seseorang, baik itu menjabarkan suatu tema hasil pemahaman tekstual atau opini semata, SELAMA tidak negatif, maka usahakan beri apresiasi dengan menyimak, memahami dan jika mampu, beri masukan, kritikan atau pujian. Begitu juga dengan karya tulis seseorang, yang bisa saja untuk menuangkannya, dia membutuhkan full-battery dan masa tak singkat. SELAMA karya tulis itu tidak negatif, maka usahakan untuk tidak merendahkan.

Saya Teringat Ini:

Teman sekelas saya di kampus menulis sebuah artikel ilmiah, semacam studi kritis terhadap penggunaan istilah Qubury. "Qubury" adalah term yang acap digunakan oleh para masyaayikh salafiyyiin terlebih anak-anak pengajian [entah pengajian offline atau online]. Sebagai mahasiswa yang tidak cuma bersandar pada karya orang dan berusaha untuk membangun kekuatan tulisan ilmiah, dia membuka-buka banyak kitab. Dari kitab-kitab tersebut dia menyusun faedah-faedah yang saya yakin sekali banyak dosen agama di kampus-kampus Indonesia ini juga 'malas' melakukannya.

Lalu, jadilah karya tersebut. Sebuah karya ilmiah kritis, meninjau dari segi bahasa, dampak penggunaan term, pembahasan hukum kuburan dan seterusnya. Ilmiah namun independen. Karena itu, saya merasa wajar sekali jika ada kesan tendensius dan sensitif dalam beberapa kalimatnya di Muqaddimah dan Kesimpulan.

Nah, kemudian ada seorang komentator Salafy [yang juga teman di FB ini dan mungkin itu Anda] mengomentari secara emosional. Dia hanya melihat sisi tendensius di karya tersebut, tanpa mau membahas belasan bahkan puluhan dari banyak sekali kitab referensi. Untuk itu, dia hanya mengatakan: 'Saya tidak peduli dengan susunan ilmiah tulisan antum, selama saya menangkap tendensi tulisan antum. Masih banyak tulisan para ulama yang layak dibaca, tidak seperti tulisan antum ini.'

Mual

Sejujurnya komentar tersebut membuat saya secara alamiah merasa harus ikut serta berkomentar. Bukan karena penulis adalah teman sekelas yang saya kenal semenjak 2007; melainkan karena upaya mahasiswa untuk menulis karya ilmiah WAJIB diapresiasi selama bukan pembelaan terhadap kebatilan. Kalau masalah kritis terhadap istilah 'Qubury', apakah salah? Dari situ justru saya menangkap, saudara yang bermanhaj salaf ini tidak mau ada kritisasi terhadap 'istilah' yang menyebar di golongannya.

Dan memang banyak seperti itulah yang terjadi: 'Selalu mengkritik golongan lain, tapi ketika dikritisi sedikit, sensitifnya sungguh-sungguh'.

Hanya saja, itu terjadi pada thullab, bukan pada ulama-nya. Dan ingin sekali saya katakan waktu itu: 'Cobalah antum buat bantahan ilmiah sepadan dan sebanding. Jangan cuma mahir merendahkan di komentar, sementara secuil pun kritikan Anda tidak berdasarkan ilmu.'

Maka, di mana letak apresiasi?
Apakah apresiasi hanya boleh ditujukan pada ikhwan se-manhaj saja?
Apakah apresiasi hanya boleh diperuntukkan karya yang kita setujui saja?

Atau intinya: 'Kenapa senang mengkritik dan ketika dikritik secara ilmiah justru marah?'

Ask yourself then...!

No comments:

Post a Comment