Friday, September 21, 2012

Tus-Tus-Tus...Jut-Jut-Jut...Mil-Mil-Mil...Bisnis Deh

oleh Hasan Al-Jaizy

Kalimat tersebut saya dengar dari lisan seorang aktor sebuah sinetron di SCTV tadi selepas Isya. Kebetulan melirik sedikit pada TV yang sedang on di rumah teman. Kalimat tersebut seharusnya menjadi sindiran yang super sarkastik bagi ustadz-ustadz komersil yang ilmunya hanya dibayar oleh uang ataupun pamor. Tidak cukup untuk ustadz, tapi untuk seluruh artis yang memainkan peran saleh ataupun bejat di film, yang konon dianggap sebagai dakwah dan berhikmah, namun sebenarnya bertujuan cari duit.

Bapak saya pernah menyimpulkan sebuah kesimpulan setelah melihat beberapa kejadian di bumi ini: 'Seorang yang awalnya idealis, ketika disuguhi duit, atau pamoritas, idealisme nya akan teruji dahsyat. Dan rata-rata akan terkikis.' Benar saja, mungkin sample seperti itu berkali-kali terlihat oleh mata kita. Seseorang yang dulunya keras dalam melawan arus, namun akhirnya lemas ejakulatif setelah ditodong oleh tuntutan uang dan kemasyhuran.

Uang dan Kemasyhuran 
Kenapa Uang? Karena kita membeli apa yang dibutuhkan atau yang tidak dibutuhkan dengan uang, meskipun dalam beberapa kondisi, kebahagiaan dan rasa sayang tidak akan bisa dibeli dengan uang. Dan sifat manusia umumnya tidak cepat puas. Jikalau ia puas, maka itu kepuasan sementara yang dilanjutkan dengan keinginan lebih dan lebih. 

Kenapa Pamor? Karena kemasyhuran pasti akan mencetuskan bait-bait takjub, entah takjub pada diri sendiri ataupun takjub pada pemandangan sekitar. Bayangkan jika Anda sebelumnya adalah seorang ustadz pengajian yang kajiannya dihadiri hanya oleh 10 orang, lalu suatu saat Anda didaftarkan menjadi salah satu pemateri di kajian berantai atau daurah dengan jumlah audien 100 orang. Takjub? Wajar. Namun kewajaran pasti ada batasnya.

Jadi, bukan hanya tus-tus, jut-jut dan mil-mil yang menjadi fitnah bagi seorang ustadz, melainkan KUANTITAS penyimak juga bisa menjadi cikal bakal pengerogot keikhlasan. Namun bukan berarti jika sang ustadz memperhatikan kuantitas penyimak, langsung tertuduh sebagai dai yang tidak ikhlas. Tidak...tidak mesti.

Karena bisa jadi seorang guru atau pengajar mengamati jumlah murid yang semakin sedikit, lalu kemudian ia koreksi diri dan muhasabah, berfikir apakah itu disebabkan cara mengajarnya yang kurang menarik. Dan bisa jadi jumlah murid dan hadirin yang bertambah membuatnya senang. Kesenangan yang wajar dan manusiawi. Dan fakta tersebut bisa menjadi pendokrak dan motivasi untuk terus berpacu secara kualitas.

Makanya:

Pelajar ilmu agama, di fase belajarnya, harus memperhatikan hadits ini:

من تعلم علما مما يبتغي به وجه الله عز وجل لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضاً من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة

"Barangsiapa yang mempelajari ilmu, dari ilmu mencari wajah Allah, tidaklah ia mempelajarinya kecuali untuk mencari tujuaan duniawi, ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat, [yaitu harumnya surga]" [H.R. Abu Daud, dengan sanad hasan]

Ilmu yang dasarnya termaksud untuk mencari keridhaan Allah adalah:

1. Ilmu agama secara dzat atau sebagai alat untuk memahami agama, seperti Ilmu Aqidah, Al-Qur'an, Hadits, Mustalah, Ushul Fiqh, Fiqh, Adab/Akhlak dan cabang-cabangnya.
2. Ilmu alat yang [sengaja] termaksud untuk memahami agama, seperti Bahasa Arab.

Untuk point ke-2, dengan contoh Bahasa Arab; karena tidak semua pembelajar Bahasa Arab bertujuan untuk memahami agama. Ada yang disebabkan hobi, ketertarikan pribadi, tuntutan karir dan kerja, tugas akademik dan sebagainya. Nah, untuk yang didorong oleh faktor2 tersebut, tidak terkena ancaman.

Kembali ke hadits di atas, hal itu tentu saja sangat berlaku bagi dai/ustadz; ketika mereka menyampaikan ilmu yang sedianya dan seharusnya diperuntukkan demi keridhaan Allah namun niat di hati melenceng, maka terkena ancaman.

Makanya: mulai sekarang kita harus melatih diri untuk waspada pada dua hal:

--> Uang
--> Pamor

Tambah satu lagi: Wanita

No comments:

Post a Comment