oleh Hasan Al-Jaizy
"Pemimpin mencerminkan rakyatnya. Jika buruk ia,berarti pula rakyatnya. Jika adil ia, pun begitu rakyatnya."
Kalau kita mau jujur dan melepas masker pura-pura ninja, kita akan katakan bahwa kalimat di atas hampir selalu benar dan tidak selalu benar. Atasan yang korup bisa mewakili korupnya bawahan tapi tak semua bawahan pasti korup,bukan? Cobalah tengok Suriah, bagaimana pemimpin mereka yang sungguh sadis dan tak lepas dari sifat kufur. Dan bagaimana rezimnya berusaha menguliti dan menyayat kulit warga bawahannya dengan sesadis-sadis bentuk. Apakah kekejaman itu dicerminkan oleh sifat dasar bangsa Suriah yang memang kejam? Siapa berani katakan 'ya'?
Saya pribadi tidak berani sebagaimNa tidak beraninya seseorang untuk mengatakan sesuatu yang menyelisihi kalimat dan rumusan pengajian karena takut diserang tahdzir atau ditendang dari gerbong. Kalau acuan dari Nabi kita : "Katakanlah kebenaran meskipun pahit". Nah, kalau memang yang diucapkan adalah benar dan nyata, meskipun pahit,apa kita mau menampik dan me-reject? Jika ternyata secara dzat itu kebenaran namun tinjauan mudharat dari ungkapan kebenaran tersebut melihat adanya konsekuensi buruk dari ungkapan,maka ini masih bisa ditolerir. Tapi kalau sampai level pura-pura, nah ini dia yang menjadi masalah.
Atau kaedah agung tersebut mau kita ubah menjadi : 'katakanlah yang manis meski itu tidak benar.'? Wah wah. Atau diconvert menjadi: 'katakanlah yang tidak benar meskipun itu pahit.'?
Dan ketika seorang warga mensifati Pak RT nya yang suka belanjai uang warga buat beli 'kosmetik' karena terbukti, bukan berarti warga tersebut menuding dirinya sendiri sebagai koruptor atau banci kosmetik. Karena kaedah ini toh tidak mutlak: 'Kalau ente nuduh bos/pemimpin ente korup, itu sama saja nuduh diri sendiri korup.' NAh nah...kalau misalnya Paijo menuduh pakRt Nya saleh padahal jelas jelas fasik, berarti sama saja Paijo menuding diri sendiri sebagai orang saleh? Remember Suriah.
Kalau kita mau jujur dan melepas masker pura-pura ninja, kita akan katakan bahwa kalimat di atas hampir selalu benar dan tidak selalu benar. Atasan yang korup bisa mewakili korupnya bawahan tapi tak semua bawahan pasti korup,bukan? Cobalah tengok Suriah, bagaimana pemimpin mereka yang sungguh sadis dan tak lepas dari sifat kufur. Dan bagaimana rezimnya berusaha menguliti dan menyayat kulit warga bawahannya dengan sesadis-sadis bentuk. Apakah kekejaman itu dicerminkan oleh sifat dasar bangsa Suriah yang memang kejam? Siapa berani katakan 'ya'?
Saya pribadi tidak berani sebagaimNa tidak beraninya seseorang untuk mengatakan sesuatu yang menyelisihi kalimat dan rumusan pengajian karena takut diserang tahdzir atau ditendang dari gerbong. Kalau acuan dari Nabi kita : "Katakanlah kebenaran meskipun pahit". Nah, kalau memang yang diucapkan adalah benar dan nyata, meskipun pahit,apa kita mau menampik dan me-reject? Jika ternyata secara dzat itu kebenaran namun tinjauan mudharat dari ungkapan kebenaran tersebut melihat adanya konsekuensi buruk dari ungkapan,maka ini masih bisa ditolerir. Tapi kalau sampai level pura-pura, nah ini dia yang menjadi masalah.
Atau kaedah agung tersebut mau kita ubah menjadi : 'katakanlah yang manis meski itu tidak benar.'? Wah wah. Atau diconvert menjadi: 'katakanlah yang tidak benar meskipun itu pahit.'?
Dan ketika seorang warga mensifati Pak RT nya yang suka belanjai uang warga buat beli 'kosmetik' karena terbukti, bukan berarti warga tersebut menuding dirinya sendiri sebagai koruptor atau banci kosmetik. Karena kaedah ini toh tidak mutlak: 'Kalau ente nuduh bos/pemimpin ente korup, itu sama saja nuduh diri sendiri korup.' NAh nah...kalau misalnya Paijo menuduh pakRt Nya saleh padahal jelas jelas fasik, berarti sama saja Paijo menuding diri sendiri sebagai orang saleh? Remember Suriah.
No comments:
Post a Comment