oleh Hasan Al-Jaizy
Seseorang bertanya kepada seorang konsultan mengenai kelesuannya terhadap ilmu yang ia pelajari. Sebut saja namanya SKCK. Dan rupa-rupanya konsultan tersebut adalah saya sendiri. Tidak apa-apa menjadi konsultan dadakan; toh semua orang sebenarnya ada masanya menjadi konsultan.
SKCK: "Saya sudah setahunan belajar English di sebuah kursusan terkenal [dan mahal]. Tapi saya mengalami kelesuan dan merasa begitu-begitu saja. Saya juga berusaha belajar sendiri dengan giat, namun ternyata tidak merasuk"
Konsultan: "Apa tujuan dari kemampuanmu akan bahasa Inggris, anak muda?'
SKCK: "Untuk memperkaya kosakata, mampu melafalkan dll."
Konsultan: "Itu sekedar tujuan pembelajaran dan bukan tujuan final. Saya ubah bahasa pertanyaannya: "Kemampuanmu berbahasa Inggris kelak buat apa?"
SKCK: "Buat bekal kalau nanti dibutuhkan; insya Allah ada manfaatnya."
Konsultan: "Nah...dibutuhkan dalam bentuk apa? Sudah tergambar, belum? Semua orang awalnya juga beralasan seperti itu [bekal buat masa depan] dan rontok di tengah jalan karena masih saja mempertahankan alasan standar macam itu. Coba deh, gambaran tepat dan real yang menjadi acuan tujuanmu itu apa?"
SKCK: "Wah, belum ada. Ini cuma mau mempermampu skill saja dengan English."
Konsultan: "Nah...itu dia letak penyebabnya. Kalau kamu terus-terusan tidak punya gambaran jelas untuk tujuan, maka jangan salahkan kafilah menggonggong anjing pun berlalu. Kamu pasti akan lesu. Yang nantinya akan berakhir dengan putus asa, berhenti dan kembali menjadi 0."
Alasan Standar + Tujuan Standar = Tanda Tanya
Alasan global dan standar dalam menuntut ilmu atau mempelajari suatu skill itu cocok untuk pemula yang masih 0. Namun, kalau sudah mengenyam bulan berbulan mencari ilmu, harus di-upgrade lagi tujuannya, diperjelas gambarannya dan dikerucutkan lagi pengkhususannya.
Contoh:
Seseorang belajar ilmu Bahasa Arab sedari 0 karena memang melompong sekali otaknya akan Arabic. Alasan belajar: bahasa Al-Qur'an atau bahasa Surga atau sedang nge-trend atau mempermudah membaca AL-Qur'an atau mau nikah dengan orang Arab atau lainnya. Itu semua alasan global dan standar keabsahan saja.
Alasan-alasan di atas sah-sah saja diucapkan oleh pemula/newbie. Tapi kalau seseorang belajar Arabic sudah melewati 1,5 tahun, sangat aneh jika mengatakn: "Saya belajar Arabic karena itu bahasa Al-Qur'an." Yes...yes...? Lalu apa? Pasti ngambang....
Karena itu: Upgrade lagi dan perjelas juga kerucutkan. Seperti: "Saya belajar Arabic agar bisa memahami Al-Qur'an dengan jelas, sehingga ketika saya membacanya, saya memahami sebagaimana orang2 salaf memahami. Dan saya juga bisa kelak membaca kitab-kitab tafsir."
Nah, kalau sperti ini kan ada terasa nafas-nafas kemajuan dan sinar-sinar masa depan yang cerah?
Mem-balance Spirit
Kelesuan bisa datang karena standarnya tujuan. Bisa juga ia datang karena tidak ada panutan, 'pegangan', 'rabaan' dan 'rangsangan'. Lalu, bagaimana caranya agar tidak lesu dan mendapat rangsangan?
Salah satunya adalah dengan menentukan siapa figur yang dikagumi secara real. Bukan figur khayalan seperti Sailor Moon, Tuxedo Bertepung atau Shinto Gendheng. Tapi figur atau karakter yang menurut Anda 'gue banget gitu loch' atau yang secara alamiah Anda kagumi.
Contoh:
Anda belajar ceramah dengan tujuan agar dapat menyihir manusia dengan kalimat dan suara. Lalu carilah figur/karakter yang membuat Anda terkagum. Terkadang figur/karakter tertemu terlebih dahulu sebelum adanya cita-cita.
Nah, jika Pak Zainuddin MZ -rahimahullah- membuat Anda kagum dan ingin sebaik dirinya, maka pelajarilah style-nya. Jika karakter yang 'gue-banget' bagi Anda adalah Syaikh Al-Ariify, maka sering-sering tonton ceramahnya. Namun, bukan berarti Anda layak menjiplak segalanya dari mereka.
You have your own heart. Kalau Anda punya hati sendiri, untuk apa meminjam hati orang lain? Namun, mengertilah akan hati orang lain dan timbanglah dengan hati sendiri. Jadi, jadikan style mereka sebagai influence untuk membangun potensi dalam diri dan memperkaya kemampuan. Karena orang yang jelas terlihat 'menjiplak', ia cenderung akan dicibiri dan dikatakan, 'Ya elah, niru-niru'. Dan orang yang terlalu confident pada diri tak mau belajar dari orang lain, ia cenderung sombong, merasa paling bagus dan keras terhadap ambisi diri.
So, you are star...the way you are...You are not a fool...and anyone knows it!
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/436675189707205
Seseorang bertanya kepada seorang konsultan mengenai kelesuannya terhadap ilmu yang ia pelajari. Sebut saja namanya SKCK. Dan rupa-rupanya konsultan tersebut adalah saya sendiri. Tidak apa-apa menjadi konsultan dadakan; toh semua orang sebenarnya ada masanya menjadi konsultan.
SKCK: "Saya sudah setahunan belajar English di sebuah kursusan terkenal [dan mahal]. Tapi saya mengalami kelesuan dan merasa begitu-begitu saja. Saya juga berusaha belajar sendiri dengan giat, namun ternyata tidak merasuk"
Konsultan: "Apa tujuan dari kemampuanmu akan bahasa Inggris, anak muda?'
SKCK: "Untuk memperkaya kosakata, mampu melafalkan dll."
Konsultan: "Itu sekedar tujuan pembelajaran dan bukan tujuan final. Saya ubah bahasa pertanyaannya: "Kemampuanmu berbahasa Inggris kelak buat apa?"
SKCK: "Buat bekal kalau nanti dibutuhkan; insya Allah ada manfaatnya."
Konsultan: "Nah...dibutuhkan dalam bentuk apa? Sudah tergambar, belum? Semua orang awalnya juga beralasan seperti itu [bekal buat masa depan] dan rontok di tengah jalan karena masih saja mempertahankan alasan standar macam itu. Coba deh, gambaran tepat dan real yang menjadi acuan tujuanmu itu apa?"
SKCK: "Wah, belum ada. Ini cuma mau mempermampu skill saja dengan English."
Konsultan: "Nah...itu dia letak penyebabnya. Kalau kamu terus-terusan tidak punya gambaran jelas untuk tujuan, maka jangan salahkan kafilah menggonggong anjing pun berlalu. Kamu pasti akan lesu. Yang nantinya akan berakhir dengan putus asa, berhenti dan kembali menjadi 0."
Alasan Standar + Tujuan Standar = Tanda Tanya
Alasan global dan standar dalam menuntut ilmu atau mempelajari suatu skill itu cocok untuk pemula yang masih 0. Namun, kalau sudah mengenyam bulan berbulan mencari ilmu, harus di-upgrade lagi tujuannya, diperjelas gambarannya dan dikerucutkan lagi pengkhususannya.
Contoh:
Seseorang belajar ilmu Bahasa Arab sedari 0 karena memang melompong sekali otaknya akan Arabic. Alasan belajar: bahasa Al-Qur'an atau bahasa Surga atau sedang nge-trend atau mempermudah membaca AL-Qur'an atau mau nikah dengan orang Arab atau lainnya. Itu semua alasan global dan standar keabsahan saja.
Alasan-alasan di atas sah-sah saja diucapkan oleh pemula/newbie. Tapi kalau seseorang belajar Arabic sudah melewati 1,5 tahun, sangat aneh jika mengatakn: "Saya belajar Arabic karena itu bahasa Al-Qur'an." Yes...yes...? Lalu apa? Pasti ngambang....
Karena itu: Upgrade lagi dan perjelas juga kerucutkan. Seperti: "Saya belajar Arabic agar bisa memahami Al-Qur'an dengan jelas, sehingga ketika saya membacanya, saya memahami sebagaimana orang2 salaf memahami. Dan saya juga bisa kelak membaca kitab-kitab tafsir."
Nah, kalau sperti ini kan ada terasa nafas-nafas kemajuan dan sinar-sinar masa depan yang cerah?
Mem-balance Spirit
Kelesuan bisa datang karena standarnya tujuan. Bisa juga ia datang karena tidak ada panutan, 'pegangan', 'rabaan' dan 'rangsangan'. Lalu, bagaimana caranya agar tidak lesu dan mendapat rangsangan?
Salah satunya adalah dengan menentukan siapa figur yang dikagumi secara real. Bukan figur khayalan seperti Sailor Moon, Tuxedo Bertepung atau Shinto Gendheng. Tapi figur atau karakter yang menurut Anda 'gue banget gitu loch' atau yang secara alamiah Anda kagumi.
Contoh:
Anda belajar ceramah dengan tujuan agar dapat menyihir manusia dengan kalimat dan suara. Lalu carilah figur/karakter yang membuat Anda terkagum. Terkadang figur/karakter tertemu terlebih dahulu sebelum adanya cita-cita.
Nah, jika Pak Zainuddin MZ -rahimahullah- membuat Anda kagum dan ingin sebaik dirinya, maka pelajarilah style-nya. Jika karakter yang 'gue-banget' bagi Anda adalah Syaikh Al-Ariify, maka sering-sering tonton ceramahnya. Namun, bukan berarti Anda layak menjiplak segalanya dari mereka.
You have your own heart. Kalau Anda punya hati sendiri, untuk apa meminjam hati orang lain? Namun, mengertilah akan hati orang lain dan timbanglah dengan hati sendiri. Jadi, jadikan style mereka sebagai influence untuk membangun potensi dalam diri dan memperkaya kemampuan. Karena orang yang jelas terlihat 'menjiplak', ia cenderung akan dicibiri dan dikatakan, 'Ya elah, niru-niru'. Dan orang yang terlalu confident pada diri tak mau belajar dari orang lain, ia cenderung sombong, merasa paling bagus dan keras terhadap ambisi diri.
So, you are star...the way you are...You are not a fool...and anyone knows it!
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/436675189707205
No comments:
Post a Comment