Thursday, September 6, 2012

Kenapa Ada Mereka?

oleh Hasan Al-Jaizy

Kenapa Ada Mereka? [tinjauan subjektif mengenai akar pencetus terrorisme]

Belum dingin kabar mengenai Tambora, daerah ditemukannya bom rakitan di rumah M Thoriq, mantan hansip kelurahan yang pendiam, jarang bergaul dan miskin teman. Beberapa keganjilan ditemukan dari fakta-fakta yang dipungut oleh media. Seperti: saban tengah malam banyak para pelayat mengunjungi rumahnya. Di situlah pergaulan dia. Dan hobinya main catur tiap malam cukup menjadi penguat bahwasanya ia kini 'pengangguran'.

Atau fakta ketika Thoriq keluar rumah dengan nyantainya seakan tak ada apa-apa ketika beberapa warga mulai panik akan kehadiran kepulan asap dari dalam rumahnya. Yang kemudian diketahui bahwa Thoriq pun kabur. Saksi mata mengatakan, ia kabur dengan bajaj.

Gambaran terroris seharusnya mengerikan juga dari segi tingkah laku. Bukan sekedar kepolosan yang tercermin atau hidup 'enjoy-aja'. Tapi, kenapa terroris-terroris sekarang tidak seperti itu? Gampangan, serampangan, pengangguran, berotak kosong dan tak tampak sikap-sikap ekstrimis.

Apakah Murni Salah Mereka?
Bagaimanapun, siapapun yang meneror apapun alasannya kesalahan tetap terjabat oleh pelaku. Wong mencuri demi kepulan dapur rumah saja tetap dianggap bersalah kok. Apalagi ini: meneror demi menegakkan apa yang dihalusinasikan sebagai realisasi syariat Islam atau mematikan kutu-kutu thaghut. Apa begitu caranya?

Dan apakah murni salah mereka, yaitu para teroris? Karena seharusnya ada faktor lain yang menjadi pemicu sikap tak benar. Bayangkan, jika seorang ayah menzalimi anaknya, lalu sang anak membalasnya dengan kedurhakaan. Apakah murni salah anak dan ayah tak bersalah? Secara nalar, kita bisa mendeteksi siapa yang menjadi akar dari kesalahan. Siapa yang mengawali kezaliman, ia akan mendapat bingkisan serupa namun tak sama.

 Faktor Kezaliman
Selain karena faktor 'salah-pergaulan' atau 'keracunan-doktrin' atau 'kejiwaan-yang-guncang', sebenarnya kita tidak perlu pura-pura tidak tahu bahwa faktor kezaliman, ketidakadilan dan pemerasan juga bermain. Jikalau sedari awal kita memakai sistem yang syar'i, lalu para penjabatnya juga nyar'i, secara natural dan netral saya pribadi merasa yakin permasalahan ekstrimisme dan radikalisme semacam ini tak muncul dan menjadi jamur segar bagi media. 

Tapi, kalau sedari awal sudah bobrok dan mematuhi bayangan-bayangan hitam dalang yang mengancam di balik layar, ya beginilah. Dan ketika adanya berita tentang 'salah tangkap', terlebih jika yang ditangkap adalah orang tua lalu dianiaya, maka hitunglah berapa hari kemudian asap radikal akan kembali mengepul.

Sedari awal memang sudah tidak profesional. Sistemnya tidak, pemeluknya tidak, calonnya tidak, penangkal ekstrimisme juga kelihatannya tidak [jika iya, kenapa sampai salah tangkap, kadang kedodoran dan terlalu mudah dipublikasikan?], warganya tidak, dan semuanya tidak. 

Warta-warta sedih selalu menghiasi pekiwan [page one] atau headline news nya dengan berita semacam ini, kadang ngambang, kadang fantastis, kadang histeris, dan kadang bokis. Nah, ini hanya pandangan subjektif dari seorang warga dunia nyata dan dunia maya. Terima tidak terima, status ini sudah tertulis.

No comments:

Post a Comment